Lingkar Sesat Republik
Ikrar Nusa Bhakti; Profesor
Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
SUMBER : KOMPAS, 07
Mei 2012
Masa
pemerintahan SBY-Boediono masih tersisa 29 bulan lagi. Pada akhir masa jabatan
pemerintahan nasional ini, kita berharap ada warisan positif yang ditinggalkan.
Namun,
hasil jajak pendapat harian Kompas tentang 30 bulan pemerintahan SBY, yang
menyimpulkan bahwa ketidakpuasan cenderung membesar (Kompas, 23/4/2012),
membuat kita pilu.
Dari
hasil jajak pendapat itu, ketidakpuasan meningkat hampir di semua bidang
penting. Bahkan, di bidang hukum yang kita harapkan hasilnya akan baik,
ketidakpuasan mencapai 76,9 persen.
Bidang
ekonomi—dengan angka makro positif dalam pertumbuhan ekonomi (6,5 persen) dan
cadangan devisa meningkat tajam—ketidakpuasan justru mencapai 72,2 persen.
Bidang kesejahteraan, ketidakpuasan publik juga meningkat secara drastis, dari
53,9 persen pada periode tiga bulan lalu menjadi 72,1 persen pada periode
terkini. Mungkin ini ditunjang oleh rasa kecewa mayoritas responden (82,3
persen) yang tidak puas pada upaya pemerintah mengurangi pengangguran.
Hal
yang mengejutkan adalah hampir tiga perempat responden (64,4 persen) menyatakan
tidak puas terhadap upaya pemerintah memberikan rasa aman kepada warga. Ironi
lain adalah 69,2 persen responden tidak puas pada kepemimpinan SBY di kabinet!
Namun,
ada juga nilai positif SBY di mata responden yang melegakan hati. Separuh
responden (50 persen) masih memandang positif citra Ketua Dewan Pembina Partai
Demokrat itu walau citranya terus menurun hampir 25 persen dibandingkan dengan
awal masa pemerintahannya. Hal positif lain, 58,8 persen responden masih
memiliki rasa bangga pada sosok Presiden SBY dan 63,8 persen masih puas
terhadap kinerja pemerintah yang menjamin kebebasan berpendapat.
Analogi Labirin dan Minotaur
Meminjam
pemikiran teman penulis, dosen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI, Dr Andi
Widjajanto, apa yang terjadi di pemerintahan saat ini dapat dianalogikan dengan
labirin dan minotaur. Untuk menangani persoalan ekonomi, politik dan keamanan,
kesejahteraan sosial, penegakan hukum, serta memimpin kabinet, pemerintah
menempuh jalan berliku-liku nyaris tanpa pintu keluar (labirin). Ini terjadi
karena penguasa begitu takut menghadapi monster (minotaur, manusia berkepala angkara
murka) yang seakan sembunyi di inti labirin.
Tengok,
misalnya, kebijakan untuk mengurangi subsidi BBM yang gagal dilaksanakan pada 1
April 2012 akibat tidak disetujui DPR. Padahal, sebagai Presiden dan Ketua
Sekretariat Gabungan Koalisi Partai-partai Pendukung Pemerintah, SBY memiliki
kekuasaan untuk melakukan manuver politik dan menggunakan smart power (gabungan
soft power dan hard power) agar partai-partai pendukung pemerintah seiring
sejalan dengan kebijakan pemerintah. Ini sesuai code of conduct yang telah
ditandatangani para pimpinan partai-partai koalisi. Namun, kenyataannya SBY
sebagai pemimpin koalisi justru tidak berdaya dan tidak berani memberikan
sanksi politik terhadap Partai Keadilan Sejahtera yang jelas-jelas bersikap
seolah partai oposisi. Entah minotaur apa yang ditakuti SBY sehingga jalan
keluar atas persoalan itu seakan tertutup.
Hal
yang sama juga terjadi pada penentuan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi.
Pemerintah kembali limbung dan ragu-ragu menetapkan secara cepat dan pasti. Meski
sudah ada pemikiran untuk dilaksanakan pada 1 Mei 2012 dan beberapa menteri
kabinet sudah memberi isyarat mengenai hal itu, Presiden SBY tetap tidak
memutuskan secara cepat.
Kita
memberi apresiasi kepada Presiden SBY yang masih memikirkan dampak kebijakan
kenaikan harga BBM bersubsidi terhadap rakyat kecil dan bagaimana pula dampak
dari pembatasan penggunaan BBM bersubsidi. Namun, wacana itu sudah ada sejak
akhir tahun lalu, sehingga harusnya tidak perlu dikaji lagi agar tidak
menimbulkan ketidakpastian.
Kasus Korupsi
Menurunnya
apresiasi responden atas persoalan penegakan hukum sebagian tentunya disebabkan
oleh adanya kader-kader Partai Demokrat yang terkena kasus korupsi. Kemarahan
publik muncul karena pada Pemilu 2009 Partai Demokrat sesumbar dengan slogan
”katakan tidak pada korupsi”. Ternyata, bukan saja anggota partai penguasa itu
terlibat korupsi. Salah seorang kader partai yang ikut membintangi iklan
antikorupsi tersebut bahkan kini berada dalam tahanan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Persoalan
keamanan juga menyeruak karena meski secara umum baik, tidak sedikit
rakyat—terutama dari golongan minoritas agama atau etnik—yang masih merasa
terancam keamanannya.
Kita
juga masih mencatat bagaimana keluhan Presiden SBY mengenai kinerja para
menterinya. Pertanyaannya, daripada mengeluh kepada rakyat, mengapa Presiden
tidak menindak langsung para menteri yang kinerjanya kurang baik atau yang
citranya di mata publik buruk.
Sebagai
seorang jenderal purnawirawan, tentu Presiden SBY tahu persis model masa depan
Indonesia yang ingin ia wariskan kepada bangsa dan negara, medan perang politik
yang sedang dihadapi, serta strategi dan taktik perang seperti apa yang harus
diterapkan. Masa depan memang selalu mengandung ketidakpastian, tetapi
sekaligus peluang yang bisa diraih.
Sebagai
seorang doktor, Presiden SBY tentunya juga menguasai berbagai teori, model,
atau pendekatan yang dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk mengurai
permasalahan yang ada. Dua kapasitas tersebut, militer dan akademik, sepatutnya
dapat digunakan dalam menjalankan tugas-tugas beratnya sebagai Presiden
Republik Indonesia.
Jalan
berliku-liku yang pemerintah ciptakan, tanpa adanya pintu keluar, seakan
menjebak penguasa (dan menyeret rakyat) ke dalam lingkaran sesat dalam republik
yang kita cintai ini. Pemerintah harus berani mengambil jalan yang tepat dan
pasti serta menghilangkan ketakutan terhadap minotaur yang jangan-jangan justru
disimpan oleh penguasa itu sendiri di inti labirin.
Ini
semua menjadi pelajaran bagi kita dalam memilih pemimpin bangsa ke depan yang
bukan hanya dicintai rakyat, disegani lawan, melainkan juga secara tegas berani
mengambil arah untuk memotong lingkaran yang mengurung republik ke depan.
Semboyan Alexander the Great ”Vini, Vidi, Vici” (Saya datang, saya
lihat, dan saya menang) dapat menjadi semboyan pemimpin bangsa ke depan untuk
menyelesaikan persoalan bangsa dan membawa bangsa Indonesia ke gerbang
kejayaan, keadilan, dan kemakmuran. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar