Selasa, 22 Mei 2012

Langkah Alternatif Turunkan Subsidi Energi

Langkah Alternatif Turunkan Subsidi Energi
Mudi Kasmudi ; Praktisi Industri Energi
SUMBER :  SINDO, 22 Mei 2012


Indonesia adalah negara berpenduduk keempat terbesar dunia,jumlahnya 240 juta jiwa. Pertumbuhan penduduknya 1,49% per tahun, lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan penduduk dunia sebesar 1,1%.

Ekonomi dan PDB per kapitanya terus tumbuh—yang mempunyai konsekuensi meningkatnya konsumsi energi listrik dan BBM. Pertumbuhan penduduk dan ekonomi meningkatkan pertumbuhan kendaraan bermotor— sekaligus meningkatkan konsumsi BBM. Laju pertumbuhan kendaraan bermotor dari tahun 2007–2011 rata-rata 12,3%, sedangkan laju pertumbuhan konsumsi BBM sebesar 8,9%.

Konsumsi BBM bersubsidi porsi terbesar adalah premium 61%, solar 35% dan minyak tanah 4%.Adapun konsumen terbesar premium adalah mobil pribadi dan sepeda motor sebesar 93% dan Jawa-Bali merupakan wilayah yang terbesar mengonsumsi premium (60%). Demikian data Kementerian ESDM 2011. Setelah pemerintah menunda kenaikan harga BBM dan pembatasan BBM bersubsidi, isu tentang BBM mulai mereda.

Akan tetapi secara alamiah pemerintah sekarang dan yang akan datang akan dihantui oleh subsidi energi yang membebani APBN. Dalam APBN-P 2012, subsidi energi sebesar Rp225 triliun dengan rincian subsidi BBM Rp137 triliun, subsidi listrik Rp65 triliun, dan cadangan risiko fiskal energi Rp23 triliun. Di samping masalah subsidi energi, pemerintah juga menghadapi masalah keamanan pasokan energi nasional untuk memenuhi kebutuhan energi masa datang—dengan ekonomi dan populasi penduduknya terus tumbuh.

 Langkah Alternatif

Pertumbuhan konsumsi BBM dan listrik tidak bisa dihindari, sebagai konsekuensi negara dengan penduduk besar yang ekonominya terus tumbuh. Hal yang bisa dilakukan adalah bagaimana mengurangi konsumsi BBM untuk kendaraan bermotor maupun pembangkit listrik. Beberapa langkah alternatif untuk mengurangi subsidi BBM dan listrik adalah sebagai berikut.

Pertama, pembangunan infrastruktur jaringan transmisi listrik di luar Jawa. Jaringan transmisi listrik di luar Jawa- Bali, masih terisolasi dan tersebar, terutama Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia timur. Tidak tersedianya transmisi listrik menyulitkan untuk membangun pembangkit listrik di dekat sumber energi yang ekonomis.

Untuk menyalurkan listrik dari daerah satu ke daerah lain yang tersebar dan berjauhan memerlukan jaringan transmisi listrik yang terinterkoneksi satu wilayah dengan wilayah lain.Padahal banyak pembangkit listrik di luar Jawa dan Bali yang pembangkitnya masih menggunakan BBM,hal ini yang membebani subsidi listrik. Komposisi bahan bakar untuk pembangkit PLN, batu bara 49,27%, BBM 26,4% dan gas 24,33% (PLN,2010).

Kedua, penyediaan dan perluasan infrastruktur transportasi publik berbasis listrik. Kurangnya transportasi publik dalam kota maupun luar kota yang nyaman membuat orang lebih suka membawa kendaraan pribadi dan sepeda motor untuk aktivitas sehari-hari.Transportasi publik seperti kereta api listrik lebih mudah untuk disiapkan khususnya Jawa-Bali dan Sumatra, karena pulau tersebut memiliki infrastruktur interkoneksi jaringan transmisi listrik yang jauh lebih baik dibandingkan wilayah Indonesia lain.

 Apabila masyarakat mengurangi pemakaian kendaraan pribadi dengan memilih kereta api listrik, maka akan mengurangi subsidi BBM, karena kendaraan pribadi maupun sepeda motor mengonsumsi premium sebesar 93% dari total premium bersubsidi.

Ketiga, insentif kendaraan hibrida dan listrik.Pertumbuhan kendaraan bermotor tidak bisa dihindari, sebagai konsekuensi pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Untuk mengurangi konsumsi BBM, hal yang harus dilakukan pemerintah adalah memberikan insentif kepada produsen otomotif untuk membangun kendaraan berbasis listrik di dalam negeri,seperti hybrid electric vehicle (HEV), plug-in hybrid battery electric vehicle (PHEV) dan battery electric vehicle (BEV).

Insentif diberikan agar harganya terjangkau dan masyarakat tertarik untuk membelinya. Negara yang sudah memulai adalah Amerika Serikat (AS), beberapa negara Eropa, sedangkan di Asia sudah dipelopori oleh China dan Jepang.

Keempat, penyediaan dan perluasan infrastruktur gas. Indonesia telah mengoperasikan Floating Storage Regasification Unit (FSRU) Muara Karang yang ditandai dengan pengapalan pertama kali kapal tanker LNG Aquarius pada 25 April 2012 dari Bontang. Kapasitas FSRU tersebut mampu menampung LNG sebanyak 3 MTPA (3 juta ton per tahun) dengan gas hasil regasifikasi 500 mmscfd.

Akan tetapi,dari total kapasitas baru terpenuhi 50% yaitu 1,5 MTPA. Kalaupun kapasitasnya terpenuhi semua, hampir semuanya akan terserap oleh PLN. Sesuai head of agreement (HOA), perjanjian jual beli gas antara PT Nusantara Regas (pemilik FSRU) dengan PLN, pada 12 Oktober 2010, volume gas yang dibutuhkan PLN saat ini untuk pembangkit Muara Karang dan Tanjung Priok mencapai 400 mmscfd.

Program konversi BBM ke BBG sulit terealisasi apabila tidak tersedia fasilitas FSRU lain di Jawa-Bali, di mana wilayah ini yang paling besar mengonsumsi BBM. Sekalipun Indonesia adalah salah satu negara produsen LNG terbesar dunia, karena kurangnya infrastruktur gas maka masih sulit memanfaatkan gas alam secara maksimal untuk keperluan domestik. Selain FSRU, infrastruktur gas yang harus disiapkan adalah transmisi pipa gas, stasiun kompresi gas dan SPBG.

Di samping masalah infrastruktur, hal lain yang harus dilakukan pemerintah adalah negosiasi kontrak kuota ekspor LNG ke AS,China, Taiwan, Korea, dan Jepang. Produk gas alam dalam bentuk LNG, 42% diekspor ke negaranegara tersebut. Konsumsi energi secara alamiah akan terus meningkat.

Karena itu, untuk mengurangi subsidi energi di masa datang, langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah sekarang dan yang akan datang adalah membangun infrastruktur transmisi energi, baik transmisi listrik maupun transmisi gas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar