Selasa, 22 Mei 2012

Jangan Pecat Gubernur Korupsi?


Jangan Pecat Gubernur Korupsi?
Denny Indrayana ; Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
SUMBER :  SINDO, 22 Mei 2012


Tidak boleh ada toleransi terhadap korupsi. Karena itu, terpidana korupsi berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap harus berhenti menjadi pejabat negara.Itu logika dasar. Itu aturan normal.

Itu cara berpikir sehat. Dengan begitu, aturan perundangan pasca-Era Reformasi rata-rata mengatur: jika pejabat negara menjadi terdakwa korupsi, dia diberhentikan sementara. Selanjutnya, jika sang pejabat dinyatakan korupsi dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap, ia diberhentikan permanen. Begitu berkekuatan hukum tetap, vonis itu dieksekusi. Artinya sang pejabat akan menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan.

Logika sehat mengatakan, tidak patut, tidak pantas, dan tidak normal jika ada terpidana korupsi masih menjadi pejabat negara dari penjara. UU Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 6/2005 tentang pemberhentian kepala daerah mengatur prinsip hukum yang sama. Jika gubernur, bupati, dan wali kota menjadi terdakwa kasus korupsi, dia diberhentikan sementara. Sedangkan ketika yang bersangkutan menjadi terpidana korupsi, dengan keputusan yang berkekuatan hukum tetap, dia diberhentikan tetap selaku kepala daerah.

Pikiran normal akan menolak, gubernur, bupati, dan wali kota masih menjabat (meskipun nonaktif) dari penjara. Hasrat ingin tetap menjadi gubernur (meskipun nonaktif) dari penjara itulah yang disampaikan Agusrin M Najamuddin melalui kuasa hukumnya, Profesor Yusril Ihza Mahendra.

Paling tidak ada tiga argumen yang dikemukakan: karena masih mengajukan peninjauan kembali; karena ancaman hukumannya tidak minimal lima tahun; dan karena pemberhentian tetap gubernur tidak diatur dalam UU, tetapi di dalam PP yang bertentangan dengan UU Pemda. Atas ketiga argumen tersebut, berikut saya sampaikan penjelasan, agar publik lebih mengerti, kenapa pemerintah memutuskan memberhentikan Agusrin selaku gubernur Bengkulu.

Peninjauan Kembali Tidak Menunda Eksekusi

Argumen bahwa Agusrin tidak boleh diberhentikan tetap, karena masih mengajukan peninjauan kembali, bertentangan dengan UU Pemda dan KUHAP. UU Pemda dan PP terkait mengatur gubernur diberhentikan tetap ketika telah divonis korupsi dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Dalam kasus Agusrin, dengan vonis kasasi di MA, yang mengatakan dia terbukti korupsi, putusan sudah berkekuatan hukum tetap dan karena itu Agusrin diberhentikan.

Saat berkoordinasi dengan MA,Kemendagri mendapatkan penjelasan (lagi) bahwa kepala daerah yang telah diputus kasasi bersalah segera diberhentikan karena proses PK tidak dapat dijadikan dasar untuk menunda eksekusi. Hal mana telah secara jelas diatur dalam Pasal 268 ayat (1) KUHAP bahwa, ”Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.”

Ancaman Hukuman Minimal Lima Tahun

Diargumenkan bahwa Agusrin tidak dapat diberhentikan tetap karena ancaman hukumannya tidak memenuhi syarat paling sedikit lima tahun penjara. Argumen demikian adalah pemahaman yang keliru dan menyesatkan. Saya sudah berkonsultasi dengan para pakar dan guru besar pidana yang dengan jelas mengatakan bahwa ancaman hukuman pidana dalam kasus korupsi telah memenuhi syarat minimal pemberhentian kepala daerah yang terbukti melakukan korupsi.

Interpretasi yang dibangun Agusrin dan kuasa hukumnya bukan saja keliru, melainkan juga sangat berbahaya. Jika pemahaman mereka yang diikuti, tidak ada satu pun kepala daerah yang terbukti korupsi yang dapat diberhentikan. Semua masih akan menjadi kepala daerah aktif dari balik penjara. UU Tipikor memang menjelaskan ancaman hukuman minimal paling tingginya adalah empat tahun penjara. Maka itu, pemaknaan yang menyesatkan, dan membiarkan kepala daerah korup tetap menjabat dari balik terali besi, tentu saja wajib ditolak.

Terlebih jika membaca UU Pemda dan PP terkaitnya,pemberhentian kepala daerah sebenarnya dengan jelas diatur, dan tidak terkait dengan ancaman hukuman paling sedikit lima tahun.Pasal 127 PP 6/2005 dengan jelas mengatur bahwa kepala daerah diberhentikan oleh presiden karena melakukan korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

PP Tidak Bertentangan dengan UU

Terkait dengan Pasal 127 tersebut,Agusrin dan Profesor Yusril mengatakan, PP itu bertentangan dengan UU Pemda sehingga tidak berlaku. Pendapat demikian sekali lagi keliru. PP 6/2005 tidak bertentangan dengan UU Pemda.PP demikian justru saling mengisi dan melengkapi UU Pemda.Kalaupun benar PP itu bertentangan— padahal tidak, tidak serta-merta pendapat Profesor Yusril bisa menyebabkan PP tersebut menjadi tidak berlaku.

Ketidakberlakuan suatu norma dalam PP hanya dapat dibatalkan berdasarkan putusan MA, yang mempunyai kewenangan pengujian PP atas UU.Maka itu, selama PP itu tidak pernah dibatalkan oleh MA, PP 6/2005 tetap sah sebagai sumber hukum yang mengikat. Apalagi, PP 6/2005 itu dikeluarkan di masa Profesor Yusril menjabat selaku menteri sekretaris negara, yang semestinya ikut terlibat dan ikut menyetujui proses penyusunan dan pemberlakuan PP tersebut.

PTUN Bukan Benteng Pertahanan

Saya menghormati PTUN. Saya juga menyarankan penetapan PTUN terkait penundaan pelantikan wagub menjadi gubernur definitif untuk dilaksanakan. Meskipun penetapan itu dilakukan superkilat karena gugatan tanggal 14 dan penetapan pada hari yang sama. Meskipun penetapan tersebut tanpa pemberitahuan yang sah kepada para tergugat. Namun, saya tetap menyarankan penetapan itu dihormati dan dilaksanakan.

Penghormatan itu pula yang menyebabkan saya tidak rela kewibawaan PTUN dimanfaatkan untuk menjadi benteng pertahanan kepala daerah korup yang telah dipenjara untuk mempertahankan posisinya sebagai gubernur,bupati,atau wali kota. Saya meyakini, majelis hakim PTUN yang terhormat tentu paham bahwa keppres pemberhentian Agusrin selaku gubernur Bengkulu dan keppres pengangkatan wagubnya menjadi gubernur adalah pelaksanaan dari UU Pemda dan PP 6/2005.

Menjadi aneh, dan menimbulkan komplikasi serius, jika putusan pidana yang sudah dijatuhkan MA, dan dilaksanakan oleh Presiden SBY dengan pemberhentian sesuai UU Pemda, justru dibatalkan oleh PTUN yang berada dibawah MA.Masing-masing wilayah peradilan mestinya saling menghargai dan menghormati.Artinya, putusan peradilan pidana korupsi sebaiknya tidak dinihilkan oleh peradilan tata usaha negara.

Untuk itu, saya masih menaruh harapan tinggi kepada majelis hakim PTUN yang terhormat, untuk pada akhirnya tetap memutuskan sesuai dengan vonis peradilan pidana korupsi di MA, yang telah berkekuatan hukum tetap. Akhirnya, tentu saja ada yang berpendapat, adalah hak setiap orang untuk memperjuangkan kepentingan hukumnya. Tetapi, menurut saya, kepentingan itu tetap harus dinilai secara nurani dan akal sehat. Jika kepentingan itu berupa memperjuangkan posisi gubernur, padahal sudah divonis korupsi,padahal sudah dipenjara, tentu saja perjuangan kepentingan demikian patut dilawan.

Akal sehat tidak akan menoleransi gubernur korupsi tetap menjabat dari balik terali besi. Jangan pecat gubernur korupsi? No way! Terus berjuang untuk Indonesia yang lebih bersih dari korupsi. Doa and do the best. Keep on fighting for the better Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar