Senin, 21 Mei 2012

Sepak Bola dan Imoralitas Pasar


Sepak Bola dan Imoralitas Pasar
Ahmad Erani Yustika ;  Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya dan Direktur Eksekutif Indef
SUMBER :  JAWA POS, 21 Mei 2012


SETELAH begadang sampai lewat subuh untuk mengikuti pertandingan panjang Bayern Munchen versus Chelsea, mari sedikit merenung.

Jika perusahaan sedang stabil, bolehkah seorang eksekutif menerima gaji sampai Rp 2 miliar per bulan? Apabila korporasi keuangan sedang tidak mengalami krisis, bisakah karyawan dan bos menerima upah hingga sebanyak 30 bulan gaji dalam setahun? Andaikan badan usaha memperoleh laba yang menggiurkan, layakkah pemilik membagi bonus yang luar biasa tinggi kepada eksekutif dan staf perusahaan? Seluruh pertanyaan itu pasti mendapat jawaban positif dalam sistem ekonomi berbasis pasar.

Pertanyaan berikutnya: Apakah pasar punya batas moral (the moral limits of markets) dalam pemberian kompensasi? Jawabannya: negatif. Praktik itulah yang selama ini terjadi di lapangan ekonomi, baik sektor jasa/keuangan maupun produksi. Bahkan, ketika korporasi bangkrut sekalipun sehingga pemerintah terpaksa menomboki (bail out), mereka tetap merasa sah memakai dana tersebut untuk membagi bonus.

Kultur Taipan

Isu moral itulah yang telah lama menggelisahkan Michel Platini, presiden Union of European Football Association (UEFA). Salah seorang legenda sepak bola Eropa itu miris dengan tingkah para pemilik klub sepak bola elite Eropa yang terus mengumbar uang untuk memburu pemain-pemain hebat sehingga harga pemain melambung. Krisis ekonomi tak kuasa pula menekan harga pemain karena para tycoon (taipan) di balik klub itu hanya punya satu ambisi: menyabet gelar juara.

Inilah anomali Eropa hari ini: Tiap pemerintah berupaya mengetatkan anggaran negara, klub sepak bola terus mencetak "defisit anggaran" baru. Tengok saja pendarahan keuangan klub yang dialami Manchester City, yang memenangi Premier League Inggris secara dramatis dua minggu lalu, yang mengalami defisit sekitar USD 45 juta (dengan kurs Rp 9.300 setara Rp 418,5 miliar) akibat belanja pemain secara membabi buta. Platini juga mengamuk saat Madrid membeli Ronaldo seharga USD 131 juta (lebih dari Rp 1,2 triliun) kala krisis ekonomi global.

Kasus itu menarik karena dua hal pokok. Pertama, bagaimana menjelaskan krisis ekonomi tak jua berpengaruh terhadap harga transfer pemain sepak bola? Banyak sudut pandang untuk menjawab pertanyaan itu, namun yang paling kuat rasanya adalah perubahan kepemilikan klub dari yang semula bertumpu pada kepemilikan kolektif (pemegang saham tersebar) ke model kepemilikan saham mayoritas.

Taipan kakap dari negara Timur Tengah, Rusia, dan India yang tidak memiliki sejarah dengan sepak bola membeli klub sekadar untuk membuang "bunga deposito". Itulah yang melatari Lakshmi Mittal (raja baja) membeli Queens Park Rangers, Roman Abramovich (konglomerat Rusia) memiliki Chelsea, dan Sheikh Mansour (bohir UEA) mengantongi Manchester City. Nama-nama itulah yang menjadi aktor di balik kultur baru klub Eropa dengan gemerincing dolar.

Kedua, apakah secara moral pasar tidak dapat membatasi perilaku absurd tersebut? Pasar bekerja berdasar prinsip berikut: Harga terbentuk akibat pertemuan antara permintaan dan penawaran. Jika permintaan meningkat, sementara pasokan tetap/turun, harga melambung; demikian pula sebaliknya. Tapi, prinsip itu hanya bekerja bila faktor-faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus). Misalnya, selera dan pendapatan.

Jadi, jika pendapatan klub turun atau ekonomi sedang krisis, secara teoretis mestinya harga pasar pemain sepak bola itu turun/jatuh. Itulah satu-satunya batas moral pasar. Namun, hukum pasar tersebut tak berkutik dalam kasus itu karena asumsi ceteris paribus tidak bekerja (aspek ambisi ataupun selera meruntuhkan tembok prinsip permintaan-penawaran). Kinerja keuangan klub boleh saja buntung, tapi pemilik bisa mengambil uang dari kantong lain untuk menginjeksi hasratnya.

Imoralitas Pasar

Hanya itukah yang menjadi sebab bisnis sepak bola kebal krisis? Opsi lain yang bisa dikembangkan adalah kemungkinan soal praktik pencucian uang (money laundering) dalam indus­tri sepak bola. Riset yang dipublikasikan oleh Financial Action Task Force/FATF (2009) membuat skema betapa industri bola mudah disusupi praktik cuci uang karena aliran dana transfer pemain di luar kontrol negara dan supranasional organisasi sepak bola.

Pola itu menjadi makin mulus karena ditopang komersialisasi sepak bola sejak dekade 1990-an (hak penyiaran dan sponsorship) serta pasar pemain bola yang difasilitasi globalisasi tenaga kerja. Modus cuci uang itu sedemikian beragam. Misalnya, investasi ke klub yang mengalami kesulitan keuangan, jalur bisnis obat terlarang, dan kerja sama dengan agen sepak bola yang tidak berlisensi. Akibatnya, gemerlap dunia sepak bola nyaris tidak pernah padam meski gelombang krisis ekonomi menyapu Eropa.

Fenomena tersebut tentu tidak berdiri sendiri, namun kukuh akibat desain ekonomi yang memberikan tempat terhadap segala bentuk "keliaran". Jika transfer pemain dianggap melebihi batas moral akibat hiper-realitas yang dibentuk media, kejadian yang sama sudah dimulai di sektor swasta, khu­susnya sektor keuangan/perbankan.

Bila betul sebagian geliat industri sepak bola dihidupi praktik pencucian uang dan parkir dana dari bisnis lain, semacam minyak, pola yang sama juga diadopsi industri lainnya, seperti fashion. Gaji pemain bola yang dibanderol USD 50 juta semusim sama absurdnya dengan nilai tas tangan perempuan merek tertentu yang menembus Rp 2 miliar per biji.

Platini dan peraih Nobel Ekonomi Stiglitz, saya rasa, benar ketika berpikir bahwa pasar tidak adil. Pada titik itulah regulasi harus hadir: bukan sekadar untuk mengatasi krisis, tapi melumpuhkan imoralitas pasar. Selebihnya adalah pilihan ideologi, yang mampu menggerakkan Hollande (presiden Prancis yang baru) dan kabinetnya memotong 30 persen gaji karena krisis ekonomi!

1 komentar:

  1. pasar selalu berubah gan. apalagi bila mendapatkan pemain2 berbakat.

    BalasHapus