Jumat, 25 Mei 2012

Korupsi Si Perut Kosong


Korupsi Si Perut Kosong
Nugroho Suksmanto ; Pengusaha dan Pengamat Sosial, Tinggal di Jakarta
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 25 Mei 2012



KORUPSI ibarat pohon benalu besar. Ada yang nyata terlihat hingga dapat dipilih untuk ditebang. Tetapi menebang batang, bisa berakhir percuma selama akarnya masih ada, ranting okulasinya menyebar atau benihnya beterbangan. Ia akan tumbuh lagi.

Ironisnya, tebang pilih inilah yang lebih terlihat dilakukan oleh KPK. Padahal ada beberapa kunci yang sebenarnya harus dipahami sebagai penyebab korupsi. Salah satunya adalah alasan perut.
Pernah, saat akan mengawali perbincangan di Konsulat RI di Los Angeles, Ali Moertopo tidak langsung membuka tetapi mengajak makan dulu. ”Stomach issue is the key for corruption,” katanya bercanda.

Tetapi itulah realitas kemunculan korupsi di segala lini. Selama penghasilan tak mencukupi, seorang akan mencari peluang memperoleh penerimaan tambahan. Dari menciptakan peraturan tanpa kejelasan, kebijakan tak berkeadilan, menyusun anggaran fiktif, mencuri waktu untuk kerja sambilan, hingga perilaku apa saja agar mampu bertahan hidup di tengah kehidupan yang keras, terutama di kota-kota besar.
Tetapi menaikkan gaji tak akan serta-merta menyelesaikan masalah. Selama produktivitas manusia rendah, kenaikan upah akan berdampak inflatoir dan secara riil pendapatan akan kembali seperti sediakala. Inilah lingkaran setan yang harus diputus. Kuncinya, pembenahan birokrasi.

Untuk ini Jepang berbeda dari China. Menunjang pengembangan industri dan perdagangan, China meninggalkan birokrasi lama, yang hanya diberi kesempatan mengelola pelayanan standar dengan sedikit sekali kesempatan untuk korupsi. Birokrasi ini nantinya akan ditinggalkan, atau dibiarkan mati sendiri. Sementara, birokrasi baru diciptakan berdasarkan prinsip-prinsip kerja wirausaha, secara profesional dengan remunerasi layak. Terutama di pusat-pusat kawasan ekonomi terpadu seperti Shenzhen, Nanjing, Fengpu Shanghay, dan kawasan atau kota industri besar lainnya. Untuk ini siapa yang korupsi ancamannya hukuman mati. Terbukti birokrasi berjalan efektif mendukung pertumbuhan ekonomi

”Melegalisasi” Korupsi

Setelah Restorasi Meiji, Jepang pernah dilanda wabah korupsi di segala bidang. Saat itu para Samurai yang berkuasa, dengan leluasa menjarah kekayaan negara. Penyakit ini menurun ke segala sudut dan relung birokrasi.
Kondisi yang dihadapi, memangkasnya, selain tak mungkin dilakukan, berdampak terjadinya kekacauan yang dapat menghancurkan perekonomian. Apalagi bila hasil korupsi kemudian dilarikan ke luar negeri maka kekayaan tak menetas ke rakyat, karena tak menghasilkan investasi atau tabungan.

Di tiap instansi kemudian diperkenankan memungut biaya siluman tetapi secara transparan, yang kemudian akan dibagikan secara proporsional, merata. Makin lama biaya siluman makin dikurangi, hingga berhasil dihapus ketika birokrasi telah meningkat produktivitasnya dan tercipta pengawasan melekat. Ini dapat terjadi karena moralitas dibina dan tetap terjaga. Dalam proses ”legalisasi” dan pengendalian korupsi tersebut, kesadaran pengabdian kepada negara terus-menerus ditingkatkan. Dua kebijakan itu membuahkan hasil mengagumkan.

Adapun di Indonesia, mungkin dua praktik itu dapat diadopsi. Minimal, ”legalisasi” korupsi seperti di Jepang telah dilakukan di beberapa intansi secara diam-diam, seperti di Departemen Imigrasi misalnya. Kita tahu biaya resmi pengurusan paspor tidaklah sebesar biaya yang dikenakan calo-calo imgrasi. Tetapi masyarakat tak ada yang berkeberatan, karena pelayanannya memuaskan.

Yang membuat Indonesia terpuruk adalah tidak adanya kejelasan program pemberantasan korupsi dan membiarkan kekayaan Indonesia dibawa lari ke luar negeri. Karena itu, yang sejahtera adalah masyarakat Singapura yang negaranya merupakan tempat aman parkir uang jarahan. Adapun rakyat Indonesia tetap miskin, yang hanya bisa teriak antikorupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar