Konsekuensi Kebijakan Pengendalian BBM
Sunarsip, Ekonom The Indonesia Economic Intelligence,
Pemilik Situs WWW.SUNARSIP.COM
SUMBER
: KORAN TEMPO, 30 April 2012
Kebijakan pengendalian konsumsi bahan bakar
minyak bersubsidi adalah mandat yang diberikan Undang-Undang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara kepada pemerintah dalam rangka menjaga agar
subsidi BBM tidak melebihi anggaran yang telah ditetapkan. Mandat tersebut
antara lain dapat dilihat dalam UU APBN 2010 hingga UU APBN Perubahan 2012. Dan
menurut UU Nomor 4 Tahun 2012, kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi
tersebut harus dilakukan secara bertahap, tentunya dengan harapan
implementasinya dapat dilakukan secara tepat.
Berdasarkan UU APBN, kebijakan pengendalian
antara lain dilakukan melalui: (a) optimalisasi program konversi minyak tanah
ke LPG tabung 3 kilogram; (b) peningkatan pemanfaatan energi alternatif seperti
bahan bakar nabati yang dicampurkan ke dalam BBM bersubsidi; (c) pembatasan
kategori pengguna BBM bersubsidi serta pembatasan volume secara bertahap; dan
(d) pengendalian penggunaan BBM bersubsidi melalui sistem distribusi serta
penyempurnaan regulasi.
Karena mandat UU, semestinya pemerintah
menjalankan kebijakan ini, baik dalam situasi harga minyak sedang tinggi maupun
sedang turun. Sayangnya, pemerintah (Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral) terlihat tidak konsisten menjalankannya. Akibatnya, realisasi subsidi
BBM mengalami pembengkakan, karena tingginya harga minyak dan tingginya realisasi
volume konsumsi BBM bersubsidi. Pada APBN 2011, misalnya, subsidi BBM
dianggarkan Rp 95,9 triliun (untuk 37 juta kiloliter), tapi realisasinya
mencapai Rp 129,7 triliun (untuk 39 juta kl). Dengan kata lain, membengkaknya
anggaran subsidi BBM sejatinya karena faktor pemerintah yang tidak menjalankan
pengendalian konsumsi BBM bersubsidi.
Pada 2012, anggaran subsidi BBM (melalui UU
APBN-P 2012) mencapai Rp 137,4 triliun dengan asumsi volume konsumsi BBM
bersubsidi 40 juta kl dan harga minyak ICP US$ 105 per barel. Seiring dengan
tingginya harga minyak, diperkirakan subsidi BBM akan membengkak hingga Rp 230
triliun (untuk 47 juta kl). Mengingat ancaman yang serius ini, pemerintah
berkeinginan menjalankan kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi. Sayangnya,
pemerintah tidak begitu yakin dengan langkah ini. Padahal kajian mengenai
berbagai opsi pengendalian BBM bersubsidi telah ada sejak 2008.
Konsekuensinya
Banyak hal yang perlu dilakukan pemerintah
dalam konteks pengendalian konsumsi BBM bersubsidi ini, mulai masalah
pengawasan hingga infrastrukturnya. Namun itu hanyalah masalah teknis yang
dapat dipecahkan dan semestinya tidak dijadikan alasan untuk menggagalkan
kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi ini. Terlebih lagi kebijakan ini
juga tidak dilakukan secara serentak, melainkan secara bertahap.
Saya melihat ada problem makro yang harus
diantisipasi dari kebijakan pengendalian konsumsi BBM ini. Pertama, kebijakan
pengendalian konsumsi BBM ini yang pasti akan meningkatkan kebutuhan BBM non-subsidi.
Saat ini kebutuhan BBM non-subsidi dihasilkan oleh kilang Pertamina, juga dari
impor. Untuk memenuhi pasokan BBM Pertamax, Pertamina kini harus impor karena
kapasitas kilangnya tidak mampu menghasilkan sesuai dengan permintaan. Di sisi
lain, pasokan stasiun pengisian bahan bakar umum asing yang menjual BBM
non-subsidi sebagian besar dari impor, khususnya dari kilang Singapura.
Kebijakan pengendalian konsumsi BBM ini berpotensi meningkatkan impor BBM kita
yang akan menekan neraca pembayaran Indonesia (NPI).
Tekanan akibat konsumsi BBM terhadap NPI ini
antara lain dapat dibaca dari sinyalemen Bank Indonesia. BI dalam laporan
terbarunya (April 2012) menyebutkan kinerja NPI pada 2012 diperkirakan akan
mencatat surplus yang lebih kecil dibanding tahun lalu. Penyebabnya adalah
defisit transaksi berjalan yang lebih besar akibat melambatnya ekspor di tengah
impor yang terus meningkat, yang antara lain disebabkan oleh tingginya konsumsi
BBM.
Kedua, kebijakan pengendalian ini pasti akan
menguntungkan SBPU asing. SPBU asing akan memperoleh limpahan konsumen yang
tadinya menggunakan BBM bersubsidi ke produk mereka. Sebab, pasokan BBM milik
SPBU asing berasal dari impor yang harganya lebih rendah, sehingga harga BBM
mereka menjadi lebih kompetitif. Perlu diketahui BBM yang dihasilkan Pertamina
sebagian besar diolah dari minyak mentah yang menjadi hak pemerintah dari KPS.
Pertamina membeli minyak mentah hak pemerintah dengan harga ICP yang saat ini
harganya sekitar US$ 15 per barel di atas harga minyak WTI (NYMEX). Hal inilah
yang mungkin menjadi salah satu penyebab tingginya biaya produksi BBM
Pertamina, sehingga harga jualnya menjadi kurang kompetitif. Kondisi ini
tentunya tidak fair bagi Pertamina.
Kebijakan Antisipasi
Kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi
ini memang harus dijalankan. Namun kebijakan pengendalian konsumsi BBM
bersubsidi ini semestinya tidak hanya dilakukan sebatas mengalihkan konsumsi
BBM bersubsidi ke BBM non-subsidi. Pengembangan energi alternatif (termasuk biofuel)
juga penting, karena itu juga mandat dari UU APBN.
Selain itu, kebijakan pengendalian konsumsi
BBM bersubsidi juga jangan menimbulkan kerugian bagi perekonomian kita dari
aspek yang lain, khususnya bagi NPI dan Pertamina sebagai perusahaan negara.
Karena itu, regulasi tambahan yang mengikuti kebijakan pengendalian konsumsi
BBM bersubsidi ini juga harus disempurnakan. Pertanyaannya, regulasi apa yang
perlu disempurnakan.
Pertama, pemerintah perlu mewajibkan SPBU
asing membangun dan memiliki kilang sendiri di Indonesia. Kebijakan ini sangat
strategis untuk menekan impor BBM kita. Tentunya memang perlu diberi tenggang
waktu sesuai dengan masa konstruksi (sekitar tiga tahun) bagi SPBU asing untuk
memenuhi kewajiban ini. Konsekuensinya, Kementerian ESDM harus memberikan
kemudahan perizinan bagi pendirian kilang di Indonesia.
Kedua, perlu diberlakukan kebijakan
resiprokal bagi setiap pendirian SPBU asing di Indonesia. Selama ini SPBU asing
didirikan di daerah-daerah dengan pasar yang "gemuk". Di sisi lain,
kita memiliki keterbatasan SPBU, khususnya di daerah remote (sulit
terjangkau). Maka perlu dikeluarkan kebijakan yang mewajibkan pihak asing yang
mendirikan SPBU di daerah-daerah kaya sekaligus juga harus mendirikan SPBU di
daerah remote. Kebijakan resiprokal ini juga akan membantu menjaga
ketersediaan BBM di seluruh Indonesia. Sekaligus untuk menciptakan kompetisi
yang sehat antara SPBU Pertamina dan SPBU asing.
Kebijakan pengendalian konsumsi BBM
bersubsidi adalah suatu keharusan. Karena itu, pemerintah (Kementerian ESDM)
tidak boleh mundur. Bila mundur, konsekuensinya beban subsidi APBN akan
membengkak dan akan membebani rakyat. Selain itu, kebijakan pengendalian ini
dapat menjadi external factor untuk menciptakan kompetisi bagi
Pertamina, khususnya di sektor hilir. Dengan dibukanya kompetisi ini, SPBU
Pertamina harus meningkatkan kualitas layanan dan menekan pricing-nya
bila tidak ingin ditinggal konsumennya. Namun, karena kebijakan ini juga membawa
konsekuensi terhadap NPI dan Pertamina sebagai perusahaan negara, kebijakan
jaring pengamannya harus disiapkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar