Selasa, 01 Mei 2012

Konsekuensi Kebijakan Pengendalian BBM


Konsekuensi Kebijakan Pengendalian BBM
Sunarsip, Ekonom The Indonesia Economic Intelligence,
Pemilik Situs WWW.SUNARSIP.COM
SUMBER : KORAN TEMPO, 30 April 2012


Kebijakan pengendalian konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi adalah mandat yang diberikan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada pemerintah dalam rangka menjaga agar subsidi BBM tidak melebihi anggaran yang telah ditetapkan. Mandat tersebut antara lain dapat dilihat dalam UU APBN 2010 hingga UU APBN Perubahan 2012. Dan menurut UU Nomor 4 Tahun 2012, kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi tersebut harus dilakukan secara bertahap, tentunya dengan harapan implementasinya dapat dilakukan secara tepat.

Berdasarkan UU APBN, kebijakan pengendalian antara lain dilakukan melalui: (a) optimalisasi program konversi minyak tanah ke LPG tabung 3 kilogram; (b) peningkatan pemanfaatan energi alternatif seperti bahan bakar nabati yang dicampurkan ke dalam BBM bersubsidi; (c) pembatasan kategori pengguna BBM bersubsidi serta pembatasan volume secara bertahap; dan (d) pengendalian penggunaan BBM bersubsidi melalui sistem distribusi serta penyempurnaan regulasi.

Karena mandat UU, semestinya pemerintah menjalankan kebijakan ini, baik dalam situasi harga minyak sedang tinggi maupun sedang turun. Sayangnya, pemerintah (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral) terlihat tidak konsisten menjalankannya. Akibatnya, realisasi subsidi BBM mengalami pembengkakan, karena tingginya harga minyak dan tingginya realisasi volume konsumsi BBM bersubsidi. Pada APBN 2011, misalnya, subsidi BBM dianggarkan Rp 95,9 triliun (untuk 37 juta kiloliter), tapi realisasinya mencapai Rp 129,7 triliun (untuk 39 juta kl). Dengan kata lain, membengkaknya anggaran subsidi BBM sejatinya karena faktor pemerintah yang tidak menjalankan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi.

Pada 2012, anggaran subsidi BBM (melalui UU APBN-P 2012) mencapai Rp 137,4 triliun dengan asumsi volume konsumsi BBM bersubsidi 40 juta kl dan harga minyak ICP US$ 105 per barel. Seiring dengan tingginya harga minyak, diperkirakan subsidi BBM akan membengkak hingga Rp 230 triliun (untuk 47 juta kl). Mengingat ancaman yang serius ini, pemerintah berkeinginan menjalankan kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi. Sayangnya, pemerintah tidak begitu yakin dengan langkah ini. Padahal kajian mengenai berbagai opsi pengendalian BBM bersubsidi telah ada sejak 2008.

Konsekuensinya

Banyak hal yang perlu dilakukan pemerintah dalam konteks pengendalian konsumsi BBM bersubsidi ini, mulai masalah pengawasan hingga infrastrukturnya. Namun itu hanyalah masalah teknis yang dapat dipecahkan dan semestinya tidak dijadikan alasan untuk menggagalkan kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi ini. Terlebih lagi kebijakan ini juga tidak dilakukan secara serentak, melainkan secara bertahap.

Saya melihat ada problem makro yang harus diantisipasi dari kebijakan pengendalian konsumsi BBM ini. Pertama, kebijakan pengendalian konsumsi BBM ini yang pasti akan meningkatkan kebutuhan BBM non-subsidi. Saat ini kebutuhan BBM non-subsidi dihasilkan oleh kilang Pertamina, juga dari impor. Untuk memenuhi pasokan BBM Pertamax, Pertamina kini harus impor karena kapasitas kilangnya tidak mampu menghasilkan sesuai dengan permintaan. Di sisi lain, pasokan stasiun pengisian bahan bakar umum asing yang menjual BBM non-subsidi sebagian besar dari impor, khususnya dari kilang Singapura. Kebijakan pengendalian konsumsi BBM ini berpotensi meningkatkan impor BBM kita yang akan menekan neraca pembayaran Indonesia (NPI).

Tekanan akibat konsumsi BBM terhadap NPI ini antara lain dapat dibaca dari sinyalemen Bank Indonesia. BI dalam laporan terbarunya (April 2012) menyebutkan kinerja NPI pada 2012 diperkirakan akan mencatat surplus yang lebih kecil dibanding tahun lalu. Penyebabnya adalah defisit transaksi berjalan yang lebih besar akibat melambatnya ekspor di tengah impor yang terus meningkat, yang antara lain disebabkan oleh tingginya konsumsi BBM.

Kedua, kebijakan pengendalian ini pasti akan menguntungkan SBPU asing. SPBU asing akan memperoleh limpahan konsumen yang tadinya menggunakan BBM bersubsidi ke produk mereka. Sebab, pasokan BBM milik SPBU asing berasal dari impor yang harganya lebih rendah, sehingga harga BBM mereka menjadi lebih kompetitif. Perlu diketahui BBM yang dihasilkan Pertamina sebagian besar diolah dari minyak mentah yang menjadi hak pemerintah dari KPS. Pertamina membeli minyak mentah hak pemerintah dengan harga ICP yang saat ini harganya sekitar US$ 15 per barel di atas harga minyak WTI (NYMEX). Hal inilah yang mungkin menjadi salah satu penyebab tingginya biaya produksi BBM Pertamina, sehingga harga jualnya menjadi kurang kompetitif. Kondisi ini tentunya tidak fair bagi Pertamina.

Kebijakan Antisipasi

Kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi ini memang harus dijalankan. Namun kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi ini semestinya tidak hanya dilakukan sebatas mengalihkan konsumsi BBM bersubsidi ke BBM non-subsidi. Pengembangan energi alternatif (termasuk biofuel) juga penting, karena itu juga mandat dari UU APBN.

Selain itu, kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi juga jangan menimbulkan kerugian bagi perekonomian kita dari aspek yang lain, khususnya bagi NPI dan Pertamina sebagai perusahaan negara. Karena itu, regulasi tambahan yang mengikuti kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi ini juga harus disempurnakan. Pertanyaannya, regulasi apa yang perlu disempurnakan.

Pertama, pemerintah perlu mewajibkan SPBU asing membangun dan memiliki kilang sendiri di Indonesia. Kebijakan ini sangat strategis untuk menekan impor BBM kita. Tentunya memang perlu diberi tenggang waktu sesuai dengan masa konstruksi (sekitar tiga tahun) bagi SPBU asing untuk memenuhi kewajiban ini. Konsekuensinya, Kementerian ESDM harus memberikan kemudahan perizinan bagi pendirian kilang di Indonesia.

Kedua, perlu diberlakukan kebijakan resiprokal bagi setiap pendirian SPBU asing di Indonesia. Selama ini SPBU asing didirikan di daerah-daerah dengan pasar yang "gemuk". Di sisi lain, kita memiliki keterbatasan SPBU, khususnya di daerah remote (sulit terjangkau). Maka perlu dikeluarkan kebijakan yang mewajibkan pihak asing yang mendirikan SPBU di daerah-daerah kaya sekaligus juga harus mendirikan SPBU di daerah remote. Kebijakan resiprokal ini juga akan membantu menjaga ketersediaan BBM di seluruh Indonesia. Sekaligus untuk menciptakan kompetisi yang sehat antara SPBU Pertamina dan SPBU asing.

Kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi adalah suatu keharusan. Karena itu, pemerintah (Kementerian ESDM) tidak boleh mundur. Bila mundur, konsekuensinya beban subsidi APBN akan membengkak dan akan membebani rakyat. Selain itu, kebijakan pengendalian ini dapat menjadi external factor untuk menciptakan kompetisi bagi Pertamina, khususnya di sektor hilir. Dengan dibukanya kompetisi ini, SPBU Pertamina harus meningkatkan kualitas layanan dan menekan pricing-nya bila tidak ingin ditinggal konsumennya. Namun, karena kebijakan ini juga membawa konsekuensi terhadap NPI dan Pertamina sebagai perusahaan negara, kebijakan jaring pengamannya harus disiapkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar