TKI di ‘Negeri Langit’
Said Aqil Siradj, Ketua
Umum PBNU
SUMBER
: REPUBLIKA, 30 April 2012
Kembali
duka lara menimpa tenaga kerja Indonesia (TKI). Cerita tentang penyiksaan,
penipuan, atau keke rasan lainnya sepertinya tak pernah sepi dari pergulatan mereka
yang tengah mencari nafkah di negeri orang. Dan kini, keadaan diperparah dengan
dugaan penjualan organ tubuh tiga TKI asal Lombok di Malaysia setelah
sebelumnya mereka ditembak mati.
Sungguh
kebiadaban yang bikin adrenalin mengalir deras dan menumpah.
Apa pun latar belakang yang mendasarinya, yang pasti mereka adalah rakyat Indonesia yang sudah sepatutnya mendapatkan jaminan pembelaan dan perlindungan.
Apa pun latar belakang yang mendasarinya, yang pasti mereka adalah rakyat Indonesia yang sudah sepatutnya mendapatkan jaminan pembelaan dan perlindungan.
Ironi
Lagi-lagi
nasib tragis TKI kita terjadi di sebuah negeri yang berideologi dan berkultur
Islami. Ya, kita kerap disuguhi cerita-cerita nelangsa TKI kita selama ini
justru berada di negeri yang seharusnya benar-benar menerapkan etika Islami
yang manusiawi.
Fakta
betapa sumirnya keadaan TKI kita di negeri mayoritas Muslim bertolak belakang
dengan keadaan TKI kita di negara non-Muslim yang justru mendapatkan perlakuan
yang lebih baik. TKI di Hong Kong dan Taiwan misalnya belum pernah ada cerita
ditembaki atau diperjualbelikan organ tubuhnya. Ini pembuktian empiris yang
sulit kita elakkan.
Bolehlah
kita berdalil dengan model apa pun demi pembelaan dan empati berjangkar
“keagamaan“ untuk menyangkal fakta tersebut. Secara apologetis, silakan
berdalih bahwa negeri mayoritas Muslim akan lebih baik daripada yang lainnya.
Idealnya
memang seharusnya negeri Muslim mengaktualisasikan ajaran Islam secara benar.
Namun, yang terjadi hingga kini, justru banyak kejadian memilukan di
negeri-negeri mayoritas Muslim. Perang, pembantaian, balas dendam, dan tindakan
teror kerap kali menjadi banalitas fakta yang miris.
Tentunya,
“tesis“ tersebut jangan lantas dihadapi secara reaksioner. Kita butuh cara
pandang yang bijak dan terbuka dengan menyadari segala kelemahan. Kita juga
menyadari bahwa bentuk-bentuk kekerasan bisa terjadi di mana pun tanpa
menyandarkan pada “label-label” yang bertumpu pada keagamaan. Tetapi, pastinya
kesadaran ke manusiaan yang sifatnya universal sesungguhnya merupakan
keniscayaan yang wajib dikumandangkan sekaligus dipraktikkan seideal mungkin.
Dalam
kasus perdagangan organ tubuh manusia jelas-jelas menyalahi kaidah kemanusiaan.
Dalam Islam, tindakan ini berarti penghinaan terhadap kemuliaan manusia. Saat
ini, perdagangan organ tubuh manusia me mang menjadi bisnis yang menggiurkan.
Dan, ini sudah membentuk sebagai kejahatan yang terorganisasi.
Bila
TKI kita benar-benar mengalami hal itu, berarti ini sudah mencapai titik bahaya
dan melibatkan jaringan internasional. Kita bisa bayangkan bagaimana kejahatan
perampasan organ tubuh terhadap TKI kita tidak segera dibendung, bukan tak
mungkin para TKI kita akan menjadi “buruan” para mafia perdagangan organ tubuh
manusia.
Di
sinilah perlu kita tegaskan bahwa ketidakacuhan kita terhadap perampasan organ
tubuh TKI akan men dekatkan negeri kita dalam “arena gladiator” kejahatan
kemanusiaan. Kita bisa berkaca misalnya pada apa yang terjadi di Moldova, salah
satu negara yang terkenal sebagai tempat perampasan organ tubuh.
Pada
2011 (Islamic World, 19/9), politikus
dan ahli hukum Mesir meminta masyarakat internasional untuk mengadili para
dokter Israel secara hukum dan memboikot mereka karena berpartisipasi dalam
kejahatan pencurian organ warga Palestina yang tewas untuk kemudian
diperdagangkan. Mereka menegaskan bahwa kejahatan sedemikian adalah
bertentangan dengan etika medis, HAM, dan norma-norma serta konvensi internasional.
Memuliakan TKI
Manusia secara kodrati telah
ditempatkan pada posisi yang mulia. Tidak ada makhluk di dunia ini yang
memiliki kualitas dan kesejatian semulia itu. Satu penekanan utama dalam
risalah Nabi Muhammad SAW adalah perhatian kepada kemuliaan manusia. Nabi menyebut tujuan dari risalahnya
adalah menyempurnakan akhlak mulia. Dan, salah satu inti dari pembahasan akhlak
adalah kemuliaan manusia.
Pandangan
Islam terhadap manusia yang sebegitu mulia tersebut, kini perlu dijadikan “cara
pandang“ untuk menatap galang-gulung kehidupan para TKI kita. Kita mulai dengan
pertanyaan, apakah selama ini kita sudah memuliakan TKI? Cukupkah kita melabeli
mereka sebagai “pahlawan devisa“?
Pandangan
yang lebih menonjol sepanjang ini tampaknya tak lepas dari hitung-hitungan
ekonomi. Para TKI yang bekerja di mancanegara pulang membawa uang dan kemudian
mampu membangun kehidupannya di desanya dengan lebih baik dan mapan.
Bila
ukurannya ekonomi, bisa saja para TKI kita dipandang “sukses“ dengan
perbandingan bahwa gaji bekerja di luar negeri lebih besar dibanding bila
mereka bekerja di negeri sendiri. Mereka terseok mencari penghidupan di negeri
asalnya dan kemudian lari untuk berburu nafkah di negeri seberang, tanpa
menimbang legal ataupun ilegal.
Diakui
atau tidak, negeri kita belum berhasil memberikan jalan terbaik dan layak bagi
mereka yang terbelit kemiskinan. Semakin meningkatnya keinginan menjadi TKI keluar
negeri tentu alasan yang rasional dan manusiawi bagi mereka yang ketiban nasib
kegersangan ekonomi.
Cara
pandang yang semata “ekonomis“ terhadap TKI bukannya tanpa mengandung risiko.
Benar, hasrat awal para TKI adalah ekonomi. Mereka ingin bertahan hidup dan
berkehidupan yang layak. Tetapi, dalam proses likaliku perburuan ekonomi itu,
akan memunculkan dengan sendirinya “rasa“ berperikehidupan.
Para
TKI ingin dihormati, diperhatikan, dan dilindungi sebagai manusia dan juga
warga negara. Apalagi, mereka hidup di negeri orang yang memiliki kultur,
perilaku, dan kebijakan yang masing-masing berbeda. Negeri dengan “ideologi
langit“ sekalipun nyatanya tidak menjamin kehidupan TKI membaik.
Di sinilah, lalu bersemayam rasa bahwa
ekonomi ternyata bukan segalanya.
Ada “kebutuhan“ lain yang perlu diberi ruang yang sepantasnya. Memuliakan TKI berarti memuliakan manusia. ●
Ada “kebutuhan“ lain yang perlu diberi ruang yang sepantasnya. Memuliakan TKI berarti memuliakan manusia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar