Selasa, 01 Mei 2012

TKI di ‘Negeri Langit’


TKI di ‘Negeri Langit’
Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU
SUMBER : REPUBLIKA, 30 April 2012


Kembali duka lara menimpa tenaga kerja Indonesia (TKI). Cerita tentang penyiksaan, penipuan, atau keke rasan lainnya sepertinya tak pernah sepi dari pergulatan mereka yang tengah mencari nafkah di negeri orang. Dan kini, keadaan diperparah dengan dugaan penjualan organ tubuh tiga TKI asal Lombok di Malaysia setelah sebelumnya mereka ditembak mati.

Sungguh kebiadaban yang bikin adrenalin mengalir deras dan menumpah.
Apa pun latar belakang yang mendasarinya, yang pasti mereka adalah rakyat Indonesia yang sudah sepatutnya mendapatkan jaminan pembelaan dan perlindungan.

Ironi

Lagi-lagi nasib tragis TKI kita terjadi di sebuah negeri yang berideologi dan berkultur Islami. Ya, kita kerap disuguhi cerita-cerita nelangsa TKI kita selama ini justru berada di negeri yang seharusnya benar-benar menerapkan etika Islami yang manusiawi.

Fakta betapa sumirnya keadaan TKI kita di negeri mayoritas Muslim bertolak belakang dengan keadaan TKI kita di negara non-Muslim yang justru mendapatkan perlakuan yang lebih baik. TKI di Hong Kong dan Taiwan misalnya belum pernah ada cerita ditembaki atau diperjualbelikan organ tubuhnya. Ini pembuktian empiris yang sulit kita elakkan.

Bolehlah kita berdalil dengan model apa pun demi pembelaan dan empati berjangkar “keagamaan“ untuk menyangkal fakta tersebut. Secara apologetis, silakan berdalih bahwa negeri mayoritas Muslim akan lebih baik daripada yang lainnya.

Idealnya memang seharusnya negeri Muslim mengaktualisasikan ajaran Islam secara benar. Namun, yang terjadi hingga kini, justru banyak kejadian memilukan di negeri-negeri mayoritas Muslim. Perang, pembantaian, balas dendam, dan tindakan teror kerap kali menjadi banalitas fakta yang miris.

Tentunya, “tesis“ tersebut jangan lantas dihadapi secara reaksioner. Kita butuh cara pandang yang bijak dan terbuka dengan menyadari segala kelemahan. Kita juga menyadari bahwa bentuk-bentuk kekerasan bisa terjadi di mana pun tanpa menyandarkan pada “label-label” yang bertumpu pada keagamaan. Tetapi, pastinya kesadaran ke manusiaan yang sifatnya universal sesungguhnya merupakan keniscayaan yang wajib dikumandangkan sekaligus dipraktikkan seideal mungkin.

Dalam kasus perdagangan organ tubuh manusia jelas-jelas menyalahi kaidah kemanusiaan. Dalam Islam, tindakan ini berarti penghinaan terhadap kemuliaan manusia. Saat ini, perdagangan organ tubuh manusia me mang menjadi bisnis yang menggiurkan. Dan, ini sudah membentuk sebagai kejahatan yang terorganisasi.

Bila TKI kita benar-benar mengalami hal itu, berarti ini sudah mencapai titik bahaya dan melibatkan jaringan internasional. Kita bisa bayangkan bagaimana kejahatan perampasan organ tubuh terhadap TKI kita tidak segera dibendung, bukan tak mungkin para TKI kita akan menjadi “buruan” para mafia perdagangan organ tubuh manusia.

Di sinilah perlu kita tegaskan bahwa ketidakacuhan kita terhadap perampasan organ tubuh TKI akan men dekatkan negeri kita dalam “arena gladiator” kejahatan kemanusiaan. Kita bisa berkaca misalnya pada apa yang terjadi di Moldova, salah satu negara yang terkenal sebagai tempat perampasan organ tubuh.

Pada 2011 (Islamic World, 19/9), politikus dan ahli hukum Mesir meminta masyarakat internasional untuk mengadili para dokter Israel secara hukum dan memboikot mereka karena berpartisipasi dalam kejahatan pencurian organ warga Palestina yang tewas untuk kemudian diperdagangkan. Mereka menegaskan bahwa kejahatan sedemikian adalah bertentangan dengan etika medis, HAM, dan norma-norma serta konvensi internasional.

Memuliakan TKI

Manusia secara kodrati telah ditempatkan pada posisi yang mulia. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki kualitas dan kesejatian semulia itu. Satu penekanan utama dalam risalah Nabi Muhammad SAW adalah perhatian kepada kemuliaan manusia. Nabi menyebut tujuan dari risalahnya adalah menyempurnakan akhlak mulia. Dan, salah satu inti dari pembahasan akhlak adalah kemuliaan manusia.

Pandangan Islam terhadap manusia yang sebegitu mulia tersebut, kini perlu dijadikan “cara pandang“ untuk menatap galang-gulung kehidupan para TKI kita. Kita mulai dengan pertanyaan, apakah selama ini kita sudah memuliakan TKI? Cukupkah kita melabeli mereka sebagai “pahlawan devisa“?

Pandangan yang lebih menonjol sepanjang ini tampaknya tak lepas dari hitung-hitungan ekonomi. Para TKI yang bekerja di mancanegara pulang membawa uang dan kemudian mampu membangun kehidupannya di desanya dengan lebih baik dan mapan.

Bila ukurannya ekonomi, bisa saja para TKI kita dipandang “sukses“ dengan perbandingan bahwa gaji bekerja di luar negeri lebih besar dibanding bila mereka bekerja di negeri sendiri. Mereka terseok mencari penghidupan di negeri asalnya dan kemudian lari untuk berburu nafkah di negeri seberang, tanpa menimbang legal ataupun ilegal.

Diakui atau tidak, negeri kita belum berhasil memberikan jalan terbaik dan layak bagi mereka yang terbelit kemiskinan. Semakin meningkatnya keinginan menjadi TKI keluar negeri tentu alasan yang rasional dan manusiawi bagi mereka yang ketiban nasib kegersangan ekonomi.

Cara pandang yang semata “ekonomis“ terhadap TKI bukannya tanpa mengandung risiko. Benar, hasrat awal para TKI adalah ekonomi. Mereka ingin bertahan hidup dan berkehidupan yang layak. Tetapi, dalam proses likaliku perburuan ekonomi itu, akan memunculkan dengan sendirinya “rasa“ berperikehidupan.

Para TKI ingin dihormati, diperhatikan, dan dilindungi sebagai manusia dan juga warga negara. Apalagi, mereka hidup di negeri orang yang memiliki kultur, perilaku, dan kebijakan yang masing-masing berbeda. Negeri dengan “ideologi langit“ sekalipun nyatanya tidak menjamin kehidupan TKI membaik.

Di sinilah, lalu bersemayam rasa bahwa ekonomi ternyata bukan segalanya.
Ada “kebutuhan“ lain yang perlu diberi ruang yang sepantasnya. Memuliakan TKI berarti memuliakan manusia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar