Masalah Buruh Migran
Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care
SUMBER
: KOMPAS, 02 Mei 2012
Peringatan Hari Buruh Sedunia merupakan
momentum kebangkitan gerakan buruh di seluruh dunia.
Di Indonesia, peringatan Hari Buruh kembali
menegaskan pembiaran negara terhadap penindasan buruh pada berbagai level,
mulai dari praktik outsourcing, union busting, diskriminasi buruh perempuan,
hingga upah. Tidak berbeda dengan nasib buruh di dalam negeri, buruh migran
Indonesia juga masih mengalami eksploitasi, diskriminasi, perbudakan, dan
pelanggaran HAM serius.
Beberapa hari terakhir Pemerintah Indonesia
bahkan kalang-kabut menyikapi tuntutan keluarga tiga buruh migran asal Nusa
Tenggara Barat yang jadi korban penembakan polisi Malaysia. Upaya Kementerian
Luar Negeri mengirim tim ke Malaysia untuk mengumpulkan informasi—padahal
Kedubes RI di Kuala Lumpur sejak 3 April sudah menerima informasi kematian tiga
buruh migran tersebut—ditambah proses otopsi yang lambat, kian menunjukkan
sikap pemerintah yang reaktif, sporadis, dan selalu tak tuntas dalam menghadapi
persoalan buruh migran.
Dianggap Musibah
Kalau tidak ada tuntutan keluarga, mungkin
saja Pemerintah Indonesia tidak mengupayakan protes kepada Malaysia, apalagi
mengusut penembakan tiga warga negaranya. Sungguh ini sebuah kelalaian fatal
yang tidak hanya berdampak pada hilangnya penghormatan negara lain terhadap
buruh migran Indonesia, tetapi juga melecehkan martabat dan kedaulatan bangsa.
Ironis memang! Kematian buruh migran selalu
saja dilihat sebagai musibah semata. Setidaknya itulah salah satu pernyataan
dari pejabat Kemenlu RI saat menerima keluarga tiga buruh migran, Koslata, dan
Migrant Care pada 23 April 2012. Padahal, dalam ketentuan UU No 39/2004 Pasal
73 Ayat (2) tentang penempatan dan perlindungan TKI, aturan tentang prosedur
tetap penanganan buruh migran yang meninggal di luar negeri sangat jelas.
Pertama, kewajiban untuk memberitahukan
kematian TKI kepada keluarganya paling lambat 3 x 24 jam sejak kematiannya
diketahui. Kedua, mencari informasi tentang sebab-sebab kematian. Ketiga,
memulangkan jenazah TKI ke tempat asal secara layak serta menanggung semua
biaya, termasuk biaya penguburan. Keempat, memberikan perlindungan terhadap
seluruh harta TKI untuk kepentingan anggota keluarga. Kelima, mengurus
pemenuhan hak-hak TKI yang seharusnya diterima.
Mengikuti penjelasan di atas, tampaklah
kelalaian KBRI Kuala Lumpur dalam menangani ketiga buruh migran tersebut.
Pemulangan jenazah diurus oleh perusahaan jasa di Malaysia dan masing-masing
keluarga harus membayar Rp 13 juta.
Melalui surat KBRI Nomor
0817-0818-0819/SK-JNH/04/2012 yang ditandatangani Heru Budiarso, sekretaris
kedua konsuler, dinyatakan bahwa KBRI, karena kondisi yang tidak memungkinkan,
tidak melakukan pengecekan atas sebab-sebab kematian.
Diplomasi Tidak Tegas
Ini bukan kali pertama polisi Diraja Malaysia
bertindak represif terhadap buruh migran Indonesia. Tindakan tersebut adalah
kelanjutan dari stigmatisasi Malaysia terhadap buruh migran Indonesia sebagai
kriminal dan terus-menerus menyebut buruh migran Indonesia dengan sebutan
”indon”. Sikap Pemerintah Indonesia yang terlalu lembek dan toleran
sesungguhnya menjadi akar dari terus berulangnya kejadian yang sama. Menurut
catatan Migrant Care, selama pemerintahan SBY terjadi tiga peristiwa penembakan
terhadap buruh migran yang proses penegakan hukumnya tidak tuntas.
Pada 9 Maret 2005, polisi Diraja Malaysia
menembak empat buruh migran, yakni Gaspar, Dedi, Markus, dan Reni di Sungai Buloh,
Selangor, atas dugaan kriminalitas. Lima tahun berikutnya, 16 Maret 2010, tiga
buruh migran asal Sampang, yakni Musdi, Abdul Sanu, dan Muklis, ditembak polisi
Malaysia di Danau Putri dengan dugaan serupa. Lalu, pada 24 Maret 2012, tiga
buruh migran asal NTB, yakni Herman, Abdul Kadir Jaelani, dan Mad Noor juga
ditembak.
Peristiwa yang sama bisa saja terjadi lagi
selama Pemerintah Indonesia tetap mempertahankan diplomasi lembek menghadapi
Malaysia. Kasus ini sudah selayaknya menjadi bahan evaluasi terhadap model
diplomasi RI dengan Malaysia.
Penanganan persoalan buruh migran yang masih
berlangsung seperti sekarang akan kontraproduktif terhadap komitmen Pemerintah
Indonesia yang baru saja meratifikasi International Convention 1990 on the
Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families
pada Sidang Paripurna DPR, 12 April 2012.
Konvensi tersebut sangat menjunjung tinggi
prinsip-prinsip dasar penegakan HAM buruh migran, yakni tanggung jawab negara,
nondiskriminasi, kesamaan di hadapan hukum, dan kesetaraan dalam penerimaan
hak. Dengan demikian, tidak relevan mempersoalkan status keimigrasian ketiga
buruh migran yang tidak berdokumen.
Tindak Lanjuti Ratifikasi
Komitmen ratifikasi harus segera
ditindaklanjuti dengan implementasi konkret untuk perlindungan hak-hak buruh
migran. Setidaknya ada tiga langkah penting yang harus dilakukan pemerintah.
Pertama, mengkaji ulang dan mengevaluasi
seluruh kebijakan yang ada di Indonesia terkait perlindungan buruh migran.
Kebijakan yang tidak selaras harus diganti kebijakan baru, termasuk UU No
39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI. UU adalah regulasi paling
utama yang isinya harus disesuaikan dengan konvensi karena UU ini merupakan
payung hukum dalam penempatan dan perlindungan buruh migran.
Kedua, meninjau ulang semua kelembagaan yang
relevan dengan tugas pokok dan fungsi perlindungan buruh migran, terutama Badan
Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI). Salah satu ketentuan dalam
konvensi: negara pihak harus membentuk badan-badan yang layak untuk memastikan
implementasi konvensi.
Ketiga, membangun mekanisme perlindungan bagi
buruh migran pada keseluruhan tahapan migrasi dari pra-, selama bekerja, hingga
purnamigrasi.
Pemerintah juga harus memperbaiki sumber daya
manusia. Sebaik apa pun aturan dan sistemnya, tanpa sumber daya manusia yang
jujur dan berdedikasi, nasib buruh migran tidak akan pernah menjadi lebih baik.
Presiden SBY perlu berani mengevaluasi kinerja birokrasi secara fundamental.
Hal ini penting untuk mengurangi beban dan derita masyarakat karena birokrasi
yang tidak mendukung.
Akhirnya, semoga Hari Buruh kali ini tidak
hanya menjadi milik buruh, tetapi juga negara yang berani ambil bagian secara
aktif untuk memperbaiki politik ketenagakerjaan di Indonesia, baik perbaikan
nasib buruh di dalam maupun di luar negeri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar