Kesewenangan Menyebar Benih Perlawanan
Toeti Prahas Adhitama; Anggota Dewan Redaksi Media Group
SUMBER
: MEDIA INDONESIA, 04 Mei 2012
“Sekarang, tarik ulur kapitalisme dan sosialisme
rasanya belum berakhir, tapi keduanya dirasakan saling mendekati. Hal itu
tebersit dalam spirit peringatan Hari Buruh Sedunia."
HARI
Buruh Sedunia berlangsung gegap gempita di seluruh dunia. Kita bersyukur
peringatan di Indonesia berlangsung tertib pada umumnya, sekalipun suasana hati
sebagian di antara kita masih dirangsang trauma dan kekesalan atas penembakan
tiga buruh kita di Malaysia, lebih dari sebulan lalu. Tentu peringatan itu
mencerminkan pula kekesalan karena kesewenangan terhadap kaum buruh umumnya,
yang sebenarnya telah berkumandang sejak Hari Buruh Sedunia lahir lebih dari
dua abad lalu.
Tentang
tragedi di Malaysia, pihak berwajib kedua negara berjanji meneliti lebih lanjut
bagaimana duduk perkaranya; antara lain untuk membuktikan kepastian bahwa
dugaan pencurian organ tubuh hanya kecurigaan semata. Namun, apakah organ tubuh
ada yang hilang atau tidak, kekesalan tidak terhindarkan karena berbagai
alasan.
Tragedi
itu menyebalkan dan menunjukkan kesewenang ankesewenangan melakukan penembakan
terhadap TKI yang bernasib malang. Mungkin saja mereka memang berniat merampok
seperti dugaan polisi Malaysia; walaupun ayah salah seorang korban meyakini
tidak mungkin putranya yang tidak pernah mencuri seumur hidup itu berkeinginan
merampok. Lagi pula, apakah dugaan perampokan itu membenarkan ketidaksenonohan
yang mengakibatkan penembakan brutal, lebih-lebih terhadap warga negara
tetangga? Sikap meremehkan tentu ada di benak mereka yang selama ini menyebut
bangsa kita ‘orang-orang Indon’. Seandainya Bung Karno masih ada, dengan
lantang dia akan berkata, “Ganyang...! Go
to hell!”
Situasi
zaman memang sudah berbeda. Tata tertib pergaulan antarbangsa mewajibkan
masyarakat manusia bersikap saling menghormati dan saling menolong. Mungkin
kita pun harus bersyukur bahwa kita berusaha menjaga harkat dan wibawa negara
dan bangsa--sedemikian rupa sehingga ada kalanya terpaksa mengalah menelan
kepahitan dan menjadi korban rajam oleh pihak lain. Akan tetapi, sejauh apa
golongan yang menjadi korban bisa bertahan dan menahan diri atas kesewenangan,
baik dari pihak luar maupun pihak sendiri? Ini sebaiknya menjadi PR kita
bersama.
Problem Sosial Tak Kenal Henti
Peradaban
mengajarkan kepada kita bahwa masyarakat tidak pernah sepi dari problem sosial.
Mereka yang menganggap problem-problem sosial sebagai penghambat kemajuan--yang
harus bisa diatasi--tentu menghadapi dilema sebab mereka mengharapkan adanya
suatu tertib sosial yang sempurna. Untuk itu, tentu perlu dibentuk masyarakat
totaliter atau masyarakat utopia. Namun, pragmatisme masyarakat demokratis
membuatnya merasa skeptis terhadap penyelesaian seperti itu. Malahan dari sudut
pandang ini, disimpulkan bahwa problem-problem sosial diperlukan untuk
memelopori perubahan.
Seperti
kata buku Society Today (Del Mar,
California, 1971), problem sosial timbul akibat perubahan sosial atau kultural;
atau konflik kultural.
Ada tujuan-tujuan, tuntutantuntutan, dan nilai-nilai baru. Norma-norma lama
tidak diindahkan dan kekacauan meluas. Ada juga pendapat bahwa problem sosial,
terutama akibat adanya individu-individu yang ukuran moral dan sosial nya `kurang'.
Sikap yang saling berlawanan dalam masyarakat menuntut penyelesaian yang saling
berlawanan pula. Situasi bertambah parah apabila apa yang menjadi problem untuk
satu kelompok dianggap sebagai kesempatan/keuntungan untuk pihak lain. Apakah
situasi macam itu yang sedang kita hadapi sekarang? Mekanisme untuk
mempersatukan sikap dan perilaku agaknya tidak mampu mengatasi. Perubahan
sosial yang tidak terintegrasi pastilah membangkitkan problem sosial. Misalnya,
penanganan kebijakan politik/ ekonomi yang terlalu saling bertentangan akan
menimbulkan problem sosial gawat. Ke depan, apa yang bisa terjadi dalam
hubungan antarkita maupun antara kita dan orang luar?
Pembelajaran Dari Sejarah
Ada
aksioma bahwa kesewenangan menyebarkan benih perlawanan. Perlawanan terjadi
terhadap yang dianggap bertindak sewenangwenang; oleh mereka yang menganggap
diri menjadi korban kesewenangan. Ini bisa terjadi antargolongan dalam suatu
bangsa atau antarbangsa. Sejarah dunia dalam abad-abad lalu berulang kali
membuktikannya. Sebut saja revolusi Amerika, revolusi Prancis, revolusi
Bolshevik, dan revolusi kemerdekaan kita sendiri--itu hanya menyebut beberapa
bukti tentang ledakan-ledakan sosial besar akibat kesewenangan.
Revolusi
Amerika (17751783), yang juga disebut Perang Kemerdekaan Amerika, berkobar
karena negara jajahan Inggris itu tidak tahan akan kesewenangan penjajah,
antara lain dalam hal perlakuan ekonomi yang dirasakan tidak adil. Seperti,
pembatasan perdagangan, manufaktur, dan peningkatan pungutan pajak di Amerika.
Amerika memproklamasikan kemerdekaannya dari penjajah pada 1776. Dalam perang
kemerdekaan, Amerika dibantu Prancis sejak 1777.
Spirit
Revolusi Amerika diendus masyarakat Prancis yang mencetuskan revolusi
(1789-1799), terutama karena tidak tahan terhadap tekanantekanan ekonomi.
Revolusi oleh para demokrat dan pendukung republiken menggusur pemerintahan
kerajaan Prancis dan menggantikannya dengan pemerintahan republik (res publica:
pemerintahan oleh rakyat). Revolusi bangkit antara lain akibat absolutisme kerajaan,
situasi ekonomi yang buruk, serta kemarahan terhadap hak-hak istimewa kaum
bangsawan dan kelas profesional yang mendominasi kehidupan publik. Menjelang
akhir 1791, Majelis Legislatif dibentuk. Tekanan-tekanan dari dalam dan luar
menimbulkan serangkaian konfl ik sengit yang mengakibatkan perang revolusi
Prancis berkelanjutan sampai 1802, yang umumnya dimenangi Prancis.
Revolusi
Rusia 1917 telah berhasil menggulingkan kediktatoran Kaisar Nikolai II pada
Februari. Pada Oktober tahun yang sama, Vladimir Lenin dari Partai Bolshevik
memelopori revolusi II, yang berdampak luas di Rusia sendiri ataupun di
wilayah-wilayah lain di dunia, termasuk Indonesia. Revolusi Rusia berhasil
mengubah haluan negara itu menjadi berpaham komunis--menuju pendirian Uni
Soviet, yang pada gilirannya tumbang pada 1991. Karl Marx, filsuf dan ahli
teori politik Jerman, telah mendirikan Komunisme Internasional bersama
Friedrich Engels. Salah satu bukunya yang dianggap ‘kitab suci’ kelas buruh
berjudul Das Kapital.
Sekarang,
tarik ulur kapitalisme dan sosialisme rasanya belum berakhir, tapi keduanya
dirasakan saling mendekati. Hal itu tebersit dalam spirit peringatan Hari Buruh
Sedunia.●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar