Jumat, 04 Mei 2012

Antiklimaks Revolusi Suriah


Antiklimaks Revolusi Suriah
Smith Alhadar; Penasihat pada The Indonesian Society for Middle East Studies
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 04 Mei 2012


TIDAK seperti di Tunisia, Mesir, Libia, dan Yaman--tempat pemberontakan rakyat terhadap rezim represif dan korup berhasil menjatuhkan para diktator yang berkuasa-di Suriah hal yang sebaliknya bisa terjadi. Penguasa yang represif dan korup di bawah pimpinan Presiden Bashar al-Assad bisa jadi akan dapat mempertahankan kekuasaannya entah sampai kapan.

Hal itu sulit dipercaya mengingat para demonstran yang tewas oleh mesin militer Suriah jauh lebih besar jika dibandingkan dengan empat negara yang telah disebutkan. PBB memperkirakan sudah lebih dari 10 ribu rakyat Suriah tewas sejak Revolusi Melati dimulai pada Maret tahun lalu.

Hal tersebut bisa terjadi-meskipun rezim Bashar alAssad ditekan Liga Arab, Turki, dan negara-negara Barat--ka rena Rusia dan China (dua anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang memiliki hak veto) serta Iran mendukung rezim Bashar. Rusia dan China bahkan sudah tiga kali memveto resolusi DK PBB yang akan menjatuhkan sanksi berat terhadap rezim Suriah. Sementara Iran memasok senjata ke Suriah dengan harapan senjata-senjata itu bisa dipakai rezim yang berkuasa untuk meredam revolusi Suriah, sekutu terpenting Iran di Timur Tengah.

Sejak 21 April lalu, rezim Presiden Bashar al-Assad sudah dapat bernapas lega karena usia rezimnya sudah dijamin akan aman minimal sampai akhir 2012. Bashar harus berterima kasih kepada Rusia karena berkat dukungan mereka, ia berhasil memenangi pertarungan diplomasi di DK PBB melawan kekuatan-kekuatan antirezimnya: Liga Arab, Turki, dan Barat. Digulirkannya resolusi DK PBB No 2043 tentang penyebaran 300 personel pemantau PBB di Suriah sesungguhnya merupakan kemenangan diplomasi Rusia di forum DK PBB. Barat terpaksa bersedia melakukan kompromi demi mencegah veto Rusia, supaya bisa mengeluarkan resolusi DK PBB No 2043 itu.

Barat, misalnya, mencabut tuntutan agar pasukan pemerintah dan senjata beratnya ditarik dahulu dari perkotaan sebelum penyebaran tim monitor PBB. Resolusi DK PBB itu hanya menegaskan penyebaran segera 300 personel tim monitor PBB di Suriah, tanpa embel-embel pasukan pemerintah, harus ditarik dahulu. Redaksi resolusi itu sesuai dengan kehendak Rusia. Hal itu membuat pasukan pemerintah tetap mengancam semua kota di Suriah dan setiap saat bisa menggempur kota itu karena mereka tidak diminta mundur.

Karena itu, jangan heran bila sampai kini rezim Bashar masih menembaki rakyat dan kelompok bersenjata Suriah. Pada 26 April atau dua hari setelah resolusi DK PBB itu keluar, pemerintah Suriah menembak mati sedikitnya delapan warga. Empat orang tewas di Aleppo, tiga orang di Deir el-Zor, dan seorang lagi di Homs. Pasukan pemerintah juga menggunakan gas air mata untuk membubarkan pengunjuk rasa di dekat Universitas Aleppo.

Untuk menghindar dari pemantauan tim PBB, rezim Bashar main kucing-kucingan dengan tim monitor itu di lapang an. Ketika tim monitor PBB mengunjungi Kota Hama pada 25 April, kota tersebut tenang. Namun, sehari setelah tim monitor meninggalkan Hama, pasukan pemerintah kembali menggempur kota tersebut. Pasukan pemerintah bahkan menghukum mati sembilan aktivis di Hama yang mengadakan pertemuan dan be kerja sama dengan tim monitor PBB. Juru bicara utusan khusus Liga Arab PBB Kofi Annan, Ahmad Fawzi, mengu n g kapkan pemerintah menangkap dan bahkan membunuh para aktivis yang bertemu dan berbicara dengan tim monitor.

Dalam resolusi DK PBB No 2043 itu, Barat juga mencabut tuntutan agar rezim Presiden Bashar al-Assad dijatuhi sanksi ekonomi berat jika tidak menghor mati misi damai Kofi Annan. Se bagai penggan tinya, resolusi tersebut menegaskan DK PBB akan melakukan tindakan lain yang relevan jika misi damai Kofi Annan gagal. Selain itu, resolusi DK PBB memberi waktu cukup panjang kepada tim monitor, yakni 90 hari, dalam menjalankan tugas di Suriah. Dengan demikian, rezim Presiden Bashar al-Assad layak bergembira atas turunnya resolusi DK PBB No 2043 itu karena bisa memperpanjang usia rezimnya minimal tiga bulan mendatang, selamat dari ancaman sanksi ekonomi internasional dan pasukannya masih bertengger di mulut-mulut perkotaan serta perdesaan yang setiap saat bisa menggempur me reka jika menghendaki.

Di dalam negeri pun rezim Bashar al-Assad masih mendapat dukungan kuat dari institusi militer. Hal itu membuat Suriah sangat berbeda jika dibandingkan dengan Mesir, Tunisia, Libia, dan Yaman. Di Mesir dan Tunisia, institusi militer sejak awal cenderung memihak revolusi. Di Libia dan Yaman, institusi militer mengalami perpecahan berat antara pro dan kontra revolusi. Namun, di Suriah institusi militer relatif utuh bersatu di belakang rezim Presiden Bashar al-Assad.

Memang ada pembelotan anggota militer di sana-sini dan bergabung dengan kubu oposisi bersenjata (FSA), tetapi fenomenanya belum signifikan dan masih bersifat individual. Karena itu, di lapangan pun pasukan loyal rezim Presiden Bashar alAssad terakhir ini dengan mudah membobol pertahanan FSA di berbagai kota.

Sudah pasti FSA yang hanya mengandalkan senjata ringan seadanya bukan kelasnya jika dibandingkan dengan pasukan pemerintah yang memiliki berbagai jenis senjata berat dan canggih. Mesin militer Suriah dikenal sebagai salah satu kekuatan militer terkuat di Timur Tengah. Mesin militer Suriah memang dirancang untuk menghadapi mesin militer Israel. Tidak mengherankan jika produk militer Rusia (dulu Uni Soviet) paling mutakhir dimiliki Suriah, seperti tank T72, rudal antiserangan udara SAM 5, serta pesawat tempur MIG 29 dan Sukhoi 30.

Satu persatu pertahanan FSA dan kelompok oposisi pun jebol saat menghadapi mesin militer raksasa pasukan pemerintah, seperti Distrik Bab al-Amr, al-Khalidiyah, dan al-Bayada di Kota Homs. Pertahanan kubu oposisi di Kota Hama juga tak luput dari amuk pasukan loyal rezim Presiden Bashar al-Assad. Pasukan pemerintah hingga saat ini masih sering menggempur Distrik al-Khalidiyah dan alBayada.

Karena itu, rezim Presiden Bashar al-Assad sementara ini harus diakui berada di atas angin. Resolusi DK PBB No 2043 kurang bisa diharapkan dapat menghentikan aksi kekerasan di Suriah. Upaya mengeluarkan resolusi DK PBB yang baru dan lebih keras untuk menggertak Suriah tentu tidak mudah karena akan dihadang veto Rusia dan China. Turunnya resolusi DK PBB itu saja bisa terwujud berkat kompromi dengan Rusia.

Dengan demikian, tenggat tiga bulan bagi tim monitor PBB untuk memantau aksi kekerasan pemerintah Suriah terhadap kaum oposisi akan dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh rezim Presiden Bashar al-Assad. Dengan taktik kucing-kucingan dan lain sebagainya, bukan tidak mungkin demonstran dan FSA akan dapat dilibas habis-habisan sehingga ketika tenggat itu habis, pergolakan di Suriah sudah reda. Alhasil, tidak ada lagi yang bisa dibicarakan atau menjatuhkan sanksi atas Suriah. Rezim Presiden Bashar al-Assad akan tetap eksis berkuasa. Dengan demikian, antiklimaks revolusi Suriah bisa terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar