Dahlan Iskan
Karim Raslan; Kolumnis INILAH.COM
SUMBER
: INILAH.COM, 03 Mei 2012
Pertama kali saya bertemu Dahlan Iskan
sekitar tujuh tahun lalu, waktudia masih menjadi pentolan raksasa media Jawa
Pos Group.
Dahlan yang waktu itu memakai sepatu kets
membawa saya berkeliling melihat pabrik percetakannya di Gresik, lalu ke markas
Jawa Pos di Graha Pena, dan saya merasa sedang berjalan berdampingan dengan
Steve Jobs versi Indonesia, atau Richard Branson si pemilik Virgin Atlantic – seorang pemimpin
bisnis yang sepenuhnya menghayati (kalau tidak mau dibilang terobsesi) dunianya
dan pekerjaannya.
Di saat yang sama, energi Dahlan yang
meluap-luap membuat pertemuan inidiwarnai antusiasme sangat tinggi , sesuatu
yang sering saya temui dalam pribadi entrepreneur sukses – walaupun sebagian
besar dari mereka, tidak seperti Dahlan, sering tidak punya waktu untuk
beramah-tamah.
Walau begitu, karena Dahlan hingga sekarang
tetap menulis, dan begituproduktif, hingga saya sebagai sesama kolumnis
merasakan kedekatan khusus dengannya. Singkatnya, kami berdua adalah penulis,
dan kami merasa setara – walaupun dari segi penghasilan saya ketinggalan jauh,
tentu saja.
Mungkin karena itu, dan juga sikap Dahlan
yang terbuka dan egaliter, sayaingat berkata begini dengan usil padanya di
Surabaya: “Pak, kalau saya besar nanti,
saya ingin menjadi seperti Bapak.”
Namun, sekarang setelah Pak Dahlan menjadi
Menteri BUMN, dan subyek dari permohonan interpelasi dari DPR, saya tahu bahwa
saya tidak lagi inginmenjadi dia. Politik bukan jatah saya. Sebagai penulis,
saya hanya mengobservasi, mencatat dan mengomentari. Biarlah orang lain saja
yangterlibat langsung.
Dulu, hidup Pak Dahlan membuat banyak orang
iri. Dia adalah sosok mediatycoon yang tidak tipikal. Dia tidak pernah tertarik
diprofilkan di majalah Tatler, atau majalah kaum jet set lainnya. Dia tidak
peduli dengan formalitas dan protokol. Alih-alih dia malah berjalan-jalan
keliling Indonesia, mengamati, menulis, dan mengelola kepentingan bisnisnya
yang luas dan tersebar di seluruh negeri.
Saya masih ingat Pak Dahlan bercerita
bagaimana dia naik turun kapal ferryyang menyeberang laut di antara Sabah,
Kalimantan dan Sulawesi. BagiDahlan, jelas tidak ada yang lebih menggairahkan
daripada jalan terbuka danpertemuan dengan orang-orang baru di perjalanan itu.
Kebebasan dan fleksibilitasnya selama
menjelajah dan menulis tentangIndonesia, China, dan bagian Asia lainnya sungguh
menakjubkan. Tulisannyaselalu lugas dan langsung – penuh saran dan insight bagi
pembaca biasa.
Seolah-olah tulisannya dibuat untuk
memperluas dan meningkatkan persepsidan pengetahuan pembacanya akan dunia.
Karakter pengelananya yang menentang konvensi
ini masih terbawa hingga masa jabatannya sebagai menteri. Salah satu yang
pertama dilakukannya untuk urusan BUMN adalah mengurangi frekuensi meeting
internal dan juga hubungan politiknya.
Di saat yang sama, tulisan Dahlan yang
bijaksana di kolomnya tetap berjalan, kali ini tentang tantangan-tantangan yang
dihadapi perusahaan milik negara di Indonesia, juga saran-saran yang dia
berikan.
Saya telah belajar banyak dari membaca
tulisan Dahlan beberapa tahun ini.Saya harus mengakui, saya bahkan mencoba
meniru gaya tulisannya yang baik, lugas dan informatif dalam tulisan-tulisan
saya. Tentu saja, karena sayabukan orang Indonesia, saya tidak bisa menandingi
Dahlan dalam semangatnasionalismenya.
Walaupun ada yang mengkritik karyanya, saya
melihat tulisan Dahlan sebagai keinginan yang kuat untuk mendorong negara dan
rakyatnya terus menjadi lebih maju lagi.
Kekesalannya pada beberapa pihak – terutama
para birokrat dan pegawai pemerintahan yang sinis dan ingin cari gampang saja –
juga merupakan kekesalan orang banyak, walaupun ini suka membuatnya terlibat
masalah, seperti ketika dia membuka gerbang sebuah jalan tol.
Saya menyaksikan bagaimana nama Dahlan
semakin dikenal di Indonesia –sesuatu yang sering terjadi karena otonomi daerah
telah membuat para pelaku bisnis dengan jangkauan nasional menjadi semakin
punya pengaruh.
Tidak terlalu mengagetkan bila banyak orang –
dan terutama publik yangsudah muak dengan para pemimpin yang tidak efektif –
justru memberi respon positif pada Dahlan.
Mereka menyukai pendekatannya yang tidak
bertele-tele dan langsung pada pemecahan masalah. Ini telah membuatnya sangat populer
– dengan dukungan dari Grup Jawa Pos – sebagai pemimpin yang berani, tidak
konvensional, dan mementingkan hasil.
Dengan profil Dahlan yang semakin terkenal di
publik, sangat menarik untukmelihat siapa yang terbukti lebih kuat dalam
estimasi publik setelahinterpelasi yang akan terjadi ini: DPR yang tidak
disukai rakyat, atauseorang pria yang berani menangani isu-isu sehari-hari yang
dihadapi rakyatIndonesia?
Indonesia suka sosok “korban”, dan sekarang kita melihat skenario di mana salah satu
konglomerat paling kaya dan berpengaruh di Indonesia menjadilebih populer
karena ulah DPR. Sangat aneh. Sangat
Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar