Kebebasan Media
Veven Sp Wardhana; Penghayat Budaya
Massa
SUMBER : KOMPAS, 10
Mei 2012
Nota keberatan yang disampaikan Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) kepada Dewan Pers, bertanggal 12 Maret 2012, bisa
jadi hanyalah salah satu simpul dari berderet simpul lain di antara dua lembaga
negara nondepartemen itu. Artinya, kemungkinan kesalahpahaman (untuk tak
gampangan mengatakan friksi) di antara dua lembaga ini juga terjadi pada
waktu-waktu sebelumnya.
Khusus untuk nota keberatan, Senin pekan
kedua Maret 2012 itu, KPI menuding Dewan Pers telah melakukan tindakan di luar
kewenangannya (abuse of power). Alasannya, antara lain, berbagai hal
berkait dengan penyiaran merupakan otoritas KPI (bukan Dewan Pers). Fasilitasi
yang diberikan Dewan Pers kepada masyarakat asosiasi penyiaran dapat
memunculkan tafsir bahwa KPI tak pernah melibatkan masyarakat asosiasi
penyiaran dalam perumusan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program
Siaran-–padahal KPI selalu melibatkan mereka. Dan tindakan Dewan Pers dapat
memicu perseteruan antara KPI dan masyarakat asosiasi penyiaran, selain
fasilitasi yang diberikan Dewan Pers menunjukkan keberpihakan kepada industri
(ketimbang kepada khalayak atau publik).
Jika sedikit mau dibahas, item
argumentasi KPI ini agak membingungkan. Bila sejak awal KPI menganggap Dewan
Pers tak punya otoritas merumuskan "kode etik penyiaran" (argumentasi
pertama), semestinya tak penting lagi membeberkan Dewan Pers mengundang
masyarakat asosiasi penyiaran, termasuk pengundangan tersebut dapat memunculkan
kesan KPI tak pernah melibatkan mereka (argumentasi kedua). Sementara itu,
kemungkinan termunculkannya konflik antara KPI dan masyarakat penyiaran lebih
sebagai tafsir ketimbang kenyataan sejajar dengan interpretasi bahwa Dewan Pers
berpihak kepada industri lembaga penyiaran.
Saya tak hendak membahas pelbagai kemungkinan
atas sebuah tafsir-–dari pihak mana pun. Apalagi yang dirumuskan Dewan Pers
sebatas "kode etik penyiaran jurnalistik", bukan keseluruhan
penyiaran. Belum lagi jika menengok Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang
Pers, yang dalam pasal dan ayat tertentu memperjelas bahwa fungsi Dewan Pers
juga menetapkan dan mengawasi kode etik jurnalistik media elektronik (baca:
televisi dan radio).
Yang terpenting bagi publik adalah apakah
langkah-langkah yang ditempuh KPI ataupun Dewan Pers ini nantinya punya
keluaran serta hasil (output dan outcome) positif bagi publik,
sedangkan yang dibutuhkan publik-–terutama pasca-rezim Soeharto-–adalah
kebebasan pers, atau umumnya kebebasan media. Tak perlu terus-menerus
mengulang-ulang bak mantra bahwa kebebasan media bukanlah sebatas kebebasan
mendirikan perusahaan media setelah harus melalui izin berbelit. Hakikat
kebebasan media adalah tiadanya pilih kasih dan tebang pilih dalam memberitakan
kemungkinan skandal politik yang terjadi di lingkup keluarga penguasa, militer,
dan pihak-pihak yang berada di lingkaran penguasa-–sebagaimana jelas tampak
pada masa-masa pra-Mei 1998.
Menyejajarkan posisi dan peran Dewan Pers
dengan KPI-–sebagaimana selama ini begitu terasa-–barangkali harus ditengok
ulang. Caranya dengan menelusuri historisitas kelahiran tiap lembaga negara
tersebut, terutama pada era reformasi. Tak sebagaimana terjadi dalam era
Soeharto yang cenderung menjadikan Dewan Pers sebagai kepanjangan tangan penguasa
untuk mengontrol pers, keberadaan Dewan Pers era mutakhir justru dimaksudkan
untuk ikut menjaga kebebasan pers. Maka pedoman perilaku pemberitaan dan
standar pemberitaan justru mendorong pers tidak mengukuhi pola off the
record yang tak perlu sebagaimana terjadi pada era sebelumnya. Dasarnya
adalah publik atau khalayak punya hak mendapatkan informasi yang proporsional
dari kerja profesional media.
Akan halnya KPI, titik tekannya justru
"mengontrol" penyiaran televisi dan radio agar tidak berhenti semata
untuk kepentingan diri mereka sendiri, sedangkan khalayak hanya diatasnamakan
(melalui lembaga pemeringkatan atau rating). Sejarah dilahirkannya KPI
memang berbeda dibanding Dewan Pers. Dewan Pers mutakhir "dilahirkan"
kembali dari situasi penerbitan media yang serba dikontrol, sehingga Dewan Pers
harus "melepaskan kontrol" itu. Sementara itu, KPI lahir dari situasi
penyiaran yang relatif "minus kontrol" obyektif, karena awal-awal
penyiaran televisi swasta rata-rata hanya dimiliki oleh keluarga penguasa dan
lingkarannya. Dengan begitu, KPI justru harus membangun atmosfer bahwa
pemberian izin frekuensi dan izin bersiaran tak boleh dimonopoli oleh kelompok
tertentu. Dari sisi isi siaran pun, KPI justru harus "memegang
kontrol" agar media penyiaran tidak melakukan abuse of power
lantaran kemungkinan manipulatifnya begitu terbuka, termasuk manipulasi
politik, manipulasi ekonomi, manipulasi opini, dan seterusnya.
Pada langkah berikutnya, KPI dan Dewan Pers
memang berlainan. Dewan Pers merumuskan pedoman etika bagi pekerja media yang,
jika melakukan kesalahan, sanksinya berupa sanksi moral nonlegalistik. Adapun
rumusan pedoman penyiaran ala KPI-–tak sebatas tayangan jurnalistik-–bisa
berbuah sanksi konkret: teguran sekaligus pewartaan, penghentian sementara
tayangan yang mendapat teguran, bahkan penghentian bersiaran lembaga penyiaran
bersangkutan, selain denda.
Dengan demikian, adakah KPI terhitung kejam
terhadap kebebasan media? Jawaban pertanyaan ini berpulang kepada diri kita
masing-masing: sudahkah dianggap cukup teguran sebatas moralitas bagi perilaku
penyiaran yang manipulatif, yang menerabas wilayah pribadi/privat, yang justru
memunculkan kepanikan karena informasi yang tak akurat, dan seterusnya.
Sementara itu, tidak ada peluang bagi kemungkinan media penyiaran lain yang
tidak manipulatif tidak menerabas, tapi tak bisa bersiaran lantaran jatah
frekuensi sudah habis.
Dewan Pers sebagai penjaga kebebasan pers pun
pernah "menyalahkan" media. Salah satu contoh konkretnya, majalah Tempo
dan Koran Tempo harus meminta maaf kepada pihak PT Pertamina atas
pemberitaan mereka pada pekan kedua Januari 2012.
Atas "kontrol"-nya terhadap isi
siaran televisi, KPI tidak sedikit melahirkan surat teguran. Hanya, agak susah
diraba dasar atau kriteria teguran tersebut. Contohnya, ketika teguran kedua
dilayangkan untuk tayangan Empat Mata (Trans 7), apakah
pelanggaran kedua itu terkait dengan kesalahan pertama ataukah antara teguran
pertama, kedua, dan seterusnya tak harus berkaitan. Dan kasus ketidakjelasan
itu tak sebatas untuk Empat Mata yang dengan mudah bermimikri menjadi [Bukan]
Empat Mata tanpa sama sekali mengubah format.
Yang masih menunjukkan KPI bukan sebagai
monster adalah lembaga ini tidak atau belum pernah menerapkan sanksi berupa
denda yang jumlah nominal rupiahnya tidak sedikit. Padahal KPI sangat
memungkinkan melakukannya karena memang ada pedoman pastinya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar