Rabu, 09 Mei 2012

Kebangkitan Sosialisme Prancis


Kebangkitan Sosialisme Prancis
Ismatillah A Nu’ad; Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina, Jakarta
SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 09 Mei 2012


PRANCIS kini memiliki presiden baru dari kubu sosialis. Francois Hollande menyingkirkan incumbent dari kubu konservatif Nicolas Sarkozy. Hollande unggul 51,56% suara atas Sarkozy yang hanya memperoleh 48,44%. Hollande akan menjadi presiden kedua dari kelompok sayap kiri di negara yang terkenal dengan bangunan Menara Eiffel itu. Sebelumnya, presiden pertama dari kelompok itu ialah Francois Mitterrand.

Atas kemenangan Hollande, negara-negara yang berbasis sosialis atau setidaknya dekat dengan sosialisme dari seluruh dunia sudah mulai ancang-ancang dan membuka hubungan diplomatik dengan Prancis. Seperti Venezuela dan Iran. Misalnya Iran, yang telah melakukan kontak dengan kubu Hollande supaya menjalin kerja sama yang lebih intensif, dan berharap Prancis di bawah Hollande melakukan kebijakan yang jauh berbeda dari para pemimpin sebelumnya yang berkiblat pada liberalisme.

Sosialisme Global

Negara berbasis sosialis selama ini banyak bermarkas di Amerika Latin, seperti Venezuela (Hugo Chavez), Bolivia (Evo Morales), dan Nikaragua (Daniel Ortega). Mereka bersatu melawan ketidakadilan global. Misalnya Hugo Chavez, dalam hal itu menjadi ikon bagi para pemimpin di negara-negara Latin, yang memberi inspirasi, semangat, dan perlawanan pada ketidakadilan praktik-praktik kebijakan ekonomi liberal. Venezuela dipastikan juga akan melakukan kontak intensif mengikuti Iran di bawah kepemimpinan baru di Prancis.

Chavez selama ini berani melakukan penolakan penandatanganan sejumlah traktat penting kerja sama ekonomi di antara perusahaan-perusahaan milik AS di Venezuela. Alasan yang menjadi prinsip idealnya cukup populis, karena selama ini perusahaan-perusahaan itu hanya mengeruk natural resource saja, namun tak memedulikan dampak pada lingkungannya. Selain itu, tak memberi kesejahteraan pada penduduk lokal.

Tentu sosialisme sekarang berbeda dengan sosialisme yang sebelumnya juga pernah eksis. Di Cile, misalnya, pada dekade 90-an dipimpin oleh presiden yang berideologi sosialis. Namun sosialismenya cenderung bersifat top down. Sosialisme pada tataran itu banyak menimbulkan pertumpahan darah dan bermunculannya sejumlah fenomena kekerasan, yang melibatkan rakyat Cile sendiri, karena sebuah kebijakan di situ dipaksakan oleh seorang pemimpin yang belum tentu sesuai dengan keinginan bersama sehingga menimbulkan huru-hara sosial. huru-hara sosial.

Selain itu, contoh lain sosialisme yang bersifat top down yang cenderung menggunakan cara-cara k kerasan pernah terjadi di Meksiko. Pada 1994, di Chiapas, Meksiko, terjadi pemberontakan bersenjata. Setelah gencatan senjata yang mengakhiri pertempuran 12 hari, sebuah gerakan sosialis lahir. Sebagian besar yang mengorganisasi gerakan itu ialah kaum petani Maya, baik yang menjadi anggota maupun simpatisan. Mereka ialah Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional (EZLN/Tentara Pembebasan Nasional Zapatista). (Chris Gilbert dan Gerardo Otero, Democratization in Mexico, The Zapatista Uprising and Civil Society, Latin American Perspective Journal 2001).

Gerakan sosialis--karena cenderung digerakkan oleh rakyat yang berdaulat--selama ini memang terstigma negatif, yang disebabkan telah terjadi sebuah arus gerakan perlawanan perlawanan melawan tirani penguasa maupun ekonomi yang berbasis demokrasi dan gerakan liberalisme. Sosialisme identik dengan cara-cara kekerasan, konservatisme sosial, antidiplomasi, dan identik tidak pro kepada demokratisasi, atau dengan kata lain sosialisme antidemokrasi.

Namun dalam perkembangan sosialisme kontemporer atau bisa juga disebut neososialisme, sosialisme mulai ditafsir kembali; sosialisme yang pro kepada demokratisasi (sosial demokrat), pro kepada hu manisme, dan mencintai persaudaraan serta perdamaian. Ini nanti yang mungkin akan terjadi di Prancis di bawah Prancis di bawah Hollande. Kasus Hugo Chavez, misalnya, yang bersimpati terhadap negara-negara di kawasan Timur Tengah, khususnya yang selama ini men jadi incaran AS seperti Iran, hal itu disan darkan ka rena sikap politik kaum sosialisme kini yang pro kepada humanisme, keadilan sosial, dan perdamaian.

Memang, terjadinya pertemuan arus neososialis dan `kekuatan Islam' melawan liberalisme AS kini sudah mulai tampak. Pertemuan dua pemimpin besar, antara Hugo Chavez dan Mahmoud Ahmadinejad di Venezuela, misalnya, merupakan sebuah isyarat bagi kekuatan baru antiliberalisme. Hugo Chavez anti terhadap AS karena beroposisi dengan praktik-praktik ekonomi liberal khususnya, dan di sisi lain Presiden Mahmoud Ahmadinejad anti kepada AS karena arogansi dan sikap unilateralismenya yang ditonjolkan, misalnya dalam kasus ambisi perlucutan nuklir di Iran.

Pelajaran bagi Indonesia

Di tengah gencarnya gerakan sosialisme baru, plus yang kini muncul di Prancis, pada saat bersamaan kita melihat fenomena yang berlainan di negara kita sendiri, Indonesia. Saat ini pemerintah Indonesia sudah membuka kebijakan deregulasi ekonomi, sebuah program ekonomi pemerintah yang membuka selebar-lebarnya pasar dan investor asing.
Padahal kita melihat sendiri, perusahaan-perusahaan asing terutama yang datang dari AS, seperti Exxon dan Freeport, persis apa yang sudah ditolak di Venezuela, karena perusahaan-perusahaan itu telah merusak ekosistem dan pada saat bersamaan perusahaan-perusahaan itu tak banyak memberi manfaat dan kesejahteraan kepada masyarakat lokal.

Mestinya kini pemerintah mempertimbangkan lagi eksistensi perusahaan-perusahaan asing itu, bukan malah ingin menambah kuotanya, seperti dalam kebijakan deregulasi ekonomi dengan cara membuka kemungkinan pasar yang seluas-luasnya itu.

Tapi semuanya terlambat. Jika melihat di jalan-jalan, misalnya, kalau ingin mengisi BBM untuk kendaraan, kita tak lagi hanya harus mengisinya di pom Pertamina, karena kini di jalanjalan sudah ada pom Shell atau Petronas. Di sisi lain, misalnya, arus persaingan ekonomi kini bertambah berat. Persaingan ketat antara perusahaan milik pemerintah (BUMN) dan milik swasta baik lokal maupun asing telah terjadi. Bahkan yang ada, banyak perusahaan BUMN yang kini mulai dijual ke pihak swasta asing dengan jalan privatisasi. Itu semua sebagai konsekuen si karena pemerintah sudah memberlakukan kebijakan deregulasi ekonomi.

Menurut tim ekonomi pemerintah, kebijakan itu adalah jalan terbaik karena selama ini BUMN menjadi sarang korupsi. Jika persoalannya seperti itu, mengapa pemerintah tak memperbaiki dan mereformasi BUMN dan departemendepartemen pemerintah saja, dan sebaliknya tidak membuka praktik kebijakan ekonomi deregulasi.

Kini bangsa Indonesia tinggal menunggu hasil dari kebijakan deregulasi ekonomi itu, yang jelas akan merugikan baik bagi negara maupun rakyat sendiri. Karena sebelumnya kebijakan serupa sudah dicoba tim ekonomi Orde Baru yang terkenal dengan Mafia Berkeley Sumitro (Widjojo?, budisan) dkk. Ketika itu kesejahteraan tidak terjadi, justru yang terjadi utang yang menumpuk, kerusakan ekosistem, dan rakyat tertindas akibat pembangunan. Namun, mengapa pemerintahan kini mau mengulang kesalahan masa lalu itu? Bukannya mengambil pelajaran positif dari hal itu untuk masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar