Kebangkitan Sosialisme Prancis
Ismatillah A Nu’ad; Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas
Paramadina, Jakarta
SUMBER
: MEDIA
INDONESIA, 09 Mei 2012
PRANCIS
kini memiliki presiden baru dari kubu sosialis. Francois Hollande menyingkirkan
incumbent dari kubu konservatif
Nicolas Sarkozy. Hollande unggul 51,56% suara atas Sarkozy yang hanya
memperoleh 48,44%. Hollande akan menjadi presiden kedua dari kelompok sayap
kiri di negara yang terkenal dengan bangunan Menara Eiffel itu. Sebelumnya, presiden
pertama dari kelompok itu ialah Francois Mitterrand.
Atas
kemenangan Hollande, negara-negara yang berbasis sosialis atau setidaknya dekat
dengan sosialisme dari seluruh dunia sudah mulai ancang-ancang dan membuka
hubungan diplomatik dengan Prancis. Seperti Venezuela dan Iran. Misalnya Iran,
yang telah melakukan kontak dengan kubu Hollande supaya menjalin kerja sama
yang lebih intensif, dan berharap Prancis di bawah Hollande melakukan kebijakan
yang jauh berbeda dari para pemimpin sebelumnya yang berkiblat pada
liberalisme.
Sosialisme Global
Negara
berbasis sosialis selama ini banyak bermarkas di Amerika Latin, seperti
Venezuela (Hugo Chavez), Bolivia (Evo Morales), dan Nikaragua (Daniel Ortega).
Mereka bersatu melawan ketidakadilan global. Misalnya Hugo Chavez, dalam hal
itu menjadi ikon bagi para pemimpin di negara-negara Latin, yang memberi
inspirasi, semangat, dan perlawanan pada ketidakadilan praktik-praktik
kebijakan ekonomi liberal. Venezuela dipastikan juga akan melakukan kontak
intensif mengikuti Iran di bawah kepemimpinan baru di Prancis.
Chavez
selama ini berani melakukan penolakan penandatanganan sejumlah traktat penting
kerja sama ekonomi di antara perusahaan-perusahaan milik AS di Venezuela.
Alasan yang menjadi prinsip idealnya cukup populis, karena selama ini
perusahaan-perusahaan itu hanya mengeruk natural resource saja, namun tak
memedulikan dampak pada lingkungannya. Selain itu, tak memberi kesejahteraan
pada penduduk lokal.
Tentu
sosialisme sekarang berbeda dengan sosialisme yang sebelumnya juga pernah
eksis. Di Cile, misalnya, pada dekade 90-an dipimpin oleh presiden yang
berideologi sosialis. Namun sosialismenya cenderung bersifat top down. Sosialisme pada tataran itu
banyak menimbulkan pertumpahan darah dan bermunculannya sejumlah fenomena
kekerasan, yang melibatkan rakyat Cile sendiri, karena sebuah kebijakan di situ
dipaksakan oleh seorang pemimpin yang belum tentu sesuai dengan keinginan
bersama sehingga menimbulkan huru-hara sosial. huru-hara sosial.
Selain
itu, contoh lain sosialisme yang bersifat top down yang cenderung menggunakan
cara-cara k kerasan pernah terjadi di Meksiko. Pada 1994, di Chiapas, Meksiko,
terjadi pemberontakan bersenjata. Setelah gencatan senjata yang mengakhiri
pertempuran 12 hari, sebuah gerakan sosialis lahir. Sebagian besar yang
mengorganisasi gerakan itu ialah kaum petani Maya, baik yang menjadi anggota
maupun simpatisan. Mereka ialah Ejercito
Zapatista de Liberacion Nacional (EZLN/Tentara Pembebasan Nasional
Zapatista). (Chris Gilbert dan Gerardo
Otero, Democratization in Mexico, The Zapatista Uprising and Civil Society,
Latin American Perspective Journal 2001).
Gerakan
sosialis--karena cenderung digerakkan oleh rakyat yang berdaulat--selama ini
memang terstigma negatif, yang disebabkan telah terjadi sebuah arus gerakan
perlawanan perlawanan melawan tirani penguasa maupun ekonomi yang berbasis
demokrasi dan gerakan liberalisme. Sosialisme identik dengan cara-cara
kekerasan, konservatisme sosial, antidiplomasi, dan identik tidak pro kepada
demokratisasi, atau dengan kata lain sosialisme antidemokrasi.
Namun
dalam perkembangan sosialisme kontemporer atau bisa juga disebut neososialisme,
sosialisme mulai ditafsir kembali; sosialisme yang pro kepada demokratisasi
(sosial demokrat), pro kepada hu manisme, dan mencintai persaudaraan serta
perdamaian. Ini nanti yang mungkin akan terjadi di Prancis di bawah Prancis di
bawah Hollande. Kasus Hugo Chavez, misalnya, yang bersimpati terhadap
negara-negara di kawasan Timur Tengah, khususnya yang selama ini men jadi incaran
AS seperti Iran, hal itu disan darkan ka rena sikap politik kaum sosialisme
kini yang pro kepada humanisme, keadilan sosial, dan perdamaian.
Memang,
terjadinya pertemuan arus neososialis dan `kekuatan Islam' melawan liberalisme
AS kini sudah mulai tampak. Pertemuan dua pemimpin besar, antara Hugo Chavez
dan Mahmoud Ahmadinejad di Venezuela, misalnya, merupakan sebuah isyarat bagi
kekuatan baru antiliberalisme. Hugo Chavez anti terhadap AS karena beroposisi
dengan praktik-praktik ekonomi liberal khususnya, dan di sisi lain Presiden
Mahmoud Ahmadinejad anti kepada AS karena arogansi dan sikap unilateralismenya
yang ditonjolkan, misalnya dalam kasus ambisi perlucutan nuklir di Iran.
Pelajaran bagi Indonesia
Di
tengah gencarnya gerakan sosialisme baru, plus yang kini muncul di Prancis,
pada saat bersamaan kita melihat fenomena yang berlainan di negara kita
sendiri, Indonesia. Saat ini pemerintah Indonesia sudah membuka kebijakan
deregulasi ekonomi, sebuah program ekonomi pemerintah yang membuka selebar-lebarnya
pasar dan investor asing.
Padahal
kita melihat sendiri, perusahaan-perusahaan asing terutama yang datang dari AS,
seperti Exxon dan Freeport, persis apa yang sudah ditolak di Venezuela, karena
perusahaan-perusahaan itu telah merusak ekosistem dan pada saat bersamaan
perusahaan-perusahaan itu tak banyak memberi manfaat dan kesejahteraan kepada
masyarakat lokal.
Mestinya
kini pemerintah mempertimbangkan lagi eksistensi perusahaan-perusahaan asing
itu, bukan malah ingin menambah kuotanya, seperti dalam kebijakan deregulasi
ekonomi dengan cara membuka kemungkinan pasar yang seluas-luasnya itu.
Tapi
semuanya terlambat. Jika melihat di jalan-jalan, misalnya, kalau ingin mengisi
BBM untuk kendaraan, kita tak lagi hanya harus mengisinya di pom Pertamina,
karena kini di jalanjalan sudah ada pom Shell atau Petronas. Di sisi lain,
misalnya, arus persaingan ekonomi kini bertambah berat. Persaingan ketat antara
perusahaan milik pemerintah (BUMN) dan milik swasta baik lokal maupun asing
telah terjadi. Bahkan yang ada, banyak perusahaan BUMN yang kini mulai dijual
ke pihak swasta asing dengan jalan privatisasi. Itu semua sebagai konsekuen si
karena pemerintah sudah memberlakukan kebijakan deregulasi ekonomi.
Menurut
tim ekonomi pemerintah, kebijakan itu adalah jalan terbaik karena selama ini
BUMN menjadi sarang korupsi. Jika persoalannya seperti itu, mengapa pemerintah
tak memperbaiki dan mereformasi BUMN dan departemendepartemen pemerintah saja,
dan sebaliknya tidak membuka praktik kebijakan ekonomi deregulasi.
Kini
bangsa Indonesia tinggal menunggu hasil dari kebijakan deregulasi ekonomi itu,
yang jelas akan merugikan baik bagi negara maupun rakyat sendiri. Karena
sebelumnya kebijakan serupa sudah dicoba tim ekonomi Orde Baru yang terkenal
dengan Mafia Berkeley Sumitro (Widjojo?, budisan) dkk. Ketika itu
kesejahteraan tidak terjadi, justru yang terjadi utang yang menumpuk, kerusakan
ekosistem, dan rakyat tertindas akibat pembangunan. Namun, mengapa pemerintahan
kini mau mengulang kesalahan masa lalu itu? Bukannya mengambil pelajaran
positif dari hal itu untuk masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik lagi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar