Rabu, 09 Mei 2012

Pemekaran (Masalah) Daerah


Pemekaran (Masalah) Daerah
Hadi Prayitno; Peneliti Senior/Kepala Divisi Pengembangan Jaringan Fitra
SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 09 Mei 2012


INDONESIA mulai menerapkan satu bentuk penyelenggaraan pemerintahan baru yang memberikan peran yang lebih besar kepada pemerintah daerah melalui pemberlakuan UU No 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi dengan UU No 32 Tahun 2004. Oleh karena itu, penataan daerah otonom baru (DOB) menjadi salah satu isu penting yang sampai sekarang masih menjadi fokus pemerintah.

Penataan DOB sampai saat ini masih sangat identik dengan pemekaran wilayah, belum ada yang mengarah ke penghapusan dan penggabungan wilayah seperti diatur dalam PP 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah yang kemudian diganti dengan PP 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
Pembentukan DOB sejak 1999 menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan karena jumlah provinsi di Indonesia meningkat sebesar 21%, jumlah kabupaten meningkat sebesar 41%, dan jumlah kota meningkat sebesar 37%.

Dalam peraturan pemerintah tersebut, prasyarat pembentukan wilayah provinsi harus meliputi minimal 5 kabupaten/kota, sedangkan untuk kabupaten terdiri dari 5 kecamatan dan kota cukup dengan 4 kecamatan.

Di sisi lain, pembentukan kecamatan, kelurahan, dan desa hanya ditetapkan melalui peraturan daerah sehingga tidak mampu terpantau oleh pemerintah, mengingat belum ada suatu sistem pelaporan atau pencatatan peraturan daerah yang kontinu di tingkat pusat. Berdasarkan pencatatan Departemen Dalam Negeri (kini Kemendagri) pada 2008 diketahui, rata-rata setiap bulan 18 kecamatan, 30 kelurahan, dan 60 desa terbentuk.

Mengingat tujuan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mendekatkan pelayanan umum, dan memperkuat daya saing daerah, membanjirnya tingkat pemekaran wilayah tersebut mengancam turunnya kualitas penyelenggaraan pemerintah daerah.

Hasil evaluasi kinerja DOB yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri menyebutkan hanya 58,71% berkinerja tinggi. Sisanya 34,19% berkinerja sedang dan 4,16% berkinerja rendah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan melansir 80% DOB gagal meningkatkan kesejahteraan.

Fakta lain dari hasil evaluasi Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal menunjukkan ada 34 daerah yang menjadi tertinggal atau miskin setelah dimekarkan.

Salah Sistem DAU

Komponen terbesar perimbangan keuangan yang diberikan kepada pemerintah daerah adalah dana alokasi umum (DAU). Menurut kajian Fitra, formula DAU telah memberikan motivasi bagi daerah untuk melakukan pembengkakan belanja pegawai dan terjadinya pemekaran daerah. Masuknya belanja pegawai sebagai alokasi dasar tidak mencerminkan kebutuhan dan kesenjangan antardaerah. Formula ini tidak memberikan insentif bagi daerah yang mengurangi belanja pegawainya dan disinsentif bagi terjadinya pemekaran. Artinya, tujuan DAU untuk mengurangi kesenjangan fiskal tidak akan tercapai jika alokasinya habis untuk membiayai belanja pegawai. Hal itu pula yang memotivasi terjadinya pemekaran daerah karena beban belanja pegawainya sudah pasti akan dibiayai dengan DAU.

Dalam kurun waktu 19992009, telah ada 205 DOB yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Akibatnya pada 2003, pemerintah harus menyediakan DAU Rp1,33 triliun bagi 22 daerah otonom baru hasil pemekaran yang dilakukan pada 2002. Jumlah tersebut melonjak dua kali lipat pada 2004, di saat pemerintah harus mentransfer Rp2,6 triliun alokasi DAU bagi 40 DOB. Pada 2010, pemerintah mengucurkan dana Rp47,9 triliun sebagai DAU untuk DOB.

Mengingat motivasi lahirnya daerah baru lebih banyak bersifat politis dan didasari semangat mengambil anggaran lebih besar, satu-satunya cara untuk mengendalikan laju pemekaran daerah tersebut ialah dengan merevisi aturan terkait DAU. Melalui momentum revisi undang-undang perimbangan keuangan, harus ditegaskan pengaturan secara mengikat bahwa daerah otonomi baru tidak secara otomatis bisa mendapatkan DAU.

Usulan Masalah Baru

Bulan ini DPR RI secara aklamasi mengesahkan inisiatif 19 RUU daerah otonom baru. Prinsipnya, pembentukan daerah baru berpotensi meningkatkan pelayanan terhadap rakyat. Perhatian terhadap kawasan yang terabaikan karena terlalu jauh dari ibu kota kabupaten atau provinsi dapat ditingkatkan. Alasan lainnya ialah kawasan tersebut diharapkan dapat lebih produktif dan lebih berkembang.

Pemekaran daerah bertujuan utama agar ada ruang partisipasi bagi politik daerah serta masuknya uang dari pusat ke daerah. Namun untuk melakukan pemekaran pada suatu daerah, harus ada penjelasan terlebih dahulu kepada masyarakat yang menginginkan pemekaran tentang masalah yang harus dihadapi setelah itu. Pemekaran daerah tidaklah mudah dan murah.
 
Pemekaran wilayah seharus nya menjadi solusi atas suatu permasalahan yang dihadapi, bukannya justru menambah masalah atau menciptakan masalah baru.

Tujuan pemekaran daerah tersebut tidak akan tercapai jika tidak disiapkan secara serius. Walhasil, masyarakat malah akan memperoleh pelayanan yang semakin buruk, birokrasi daerah tidak mampu memenuhi semua jenis layanan, dan infrastruktur dasar tidak tersedia dengan baik. Jika infrastruktur belum tersedia, kepala daerah baru hanya akan disibukkan untuk membenahi urusan ini dan melupakan persoalan seharihari masyarakat.

Usulan pemekaran 19 daerah baru sebagaimana yang disetujui DPR itu justru keluar dari tujuan utamanya bila tidak didasari desain besar penataan daerah serta tidak diikuti persiapan yang maksimal dan tidak berdasarkan kajian komprehensif yang disepakati semua pihak. Pemerintah dan DPR seyogianya tidak saling menyalahkan dan harus berpikir serius terhadap isu ini agar pemekaran daerah tidak berubah fungsi menjadi pemekaran masalah bagi masyarakat luas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar