Selasa, 22 Mei 2012

Empat Belas Tahun Reformasi


Empat Belas Tahun Reformasi
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
SUMBER :  SINDO, 22 Mei 2012


Empat belas tahun lalu, tepatnya 21 Mei 1998, pendukung gerakan perubahan total (reformasi) dalam berbagai aspek kehidupan bernegara berhasil memaksa Presiden Soeharto meninggalkan singgasana kekuasaan.

Meski Soeharto sempat menawarkan berbagai pilihan untuk menghambat laju pendukung reformasi, pilihan menurunkan Jenderal Bintang Lima yang telah berkuasa hampir 32 tahun itu menjadi point of no return. Logika pendukung reformasi sangat sederhana: perubahan total tidak mungkin dilakukan selama Soeharto masih berkuasa.

Setelah Soeharto berhenti, segala pemikiran untuk melakukan perubahan total mencuat ke permukaan. Di antara agenda besar yang dikemukakan para pendukung perubahan ketika itu adalah melakukan amendemen atas UUD 1945.Selain untuk memenuhi janji para pendiri bangsa, UUD 1945 mengandung banyak kelemahan sehingga tidak pernah menghadirkan pemerintahan yang demokratis.

Soeharto bisa berkuasa lebih dari 30 tahun menjadi bukti betapa UUD 1945 hadir seperti pasal-pasal karet sehingga dengan mudah menghadirkan presiden dengan tanpa batasan waktu.Bahkan sebelumnya Soekarno pernah pula diangkat sebagai presiden seumur hidup.

Secara substansial, kajian Kelompok Kerja Reformasi Hukum dan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Presiden BJ Habibie menyatakan bahwa UUD 1945 memiliki lima kelemahan elementer: (1) struktur ketatanegaraan yang sangat executive heavy, (2) tidak cukup mengatur sistem checks and balances,(3) terdapat banyak ketentuan yang tidak jelas (vague), (4) terlalu banyak delegasi kepada undang-undang, (5) beberapa muatan Penjelasan UUD 1945 yang tidak konsisten dengan pasal-pasal dalam UUD 1945.

Memperkuat DPR

Hasil kajian kelompok kerja tersebut tidak banyak berbeda dengan pandangan sejumlah pihak yang memang melihat masalah di UUD 1945.Misalnya, usia panjang Soeharto di panggung kekuasaan dan “anugerah” jabatan presiden seumur hidup bagi Soekarno adalah bukti elastisitas UUD 1945 yang begitu mudah ditarik ke mana-mana sesuai logika pemegang kekuasaan.

Padahal, dalam sistem presidensial periodisasi masa jabatan harus dibatasi dengan jelas. Kondisi menjadi tambah ruwet dengan adanya Penjelasan UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan dan tanggung jawab berada di tangan presiden (concentration of power and responsibility upon the president). Dengan posisi presiden sentral (executive heavy), di salah satu sisi, semangat perubahan UUD 1945 adalah bagaimana membatasi kekuasaan presiden.

Di sisi lain,pengubah UUD 1945 berupaya untuk memperkuat kewenangan DPR. Setidaknya, semangat demikian dapat ditelusuri dari perdebatan di sekitar Perubahan Pertama (1999) dan Perubahan Kedua (2000). Karena itu, target awal perubahan adalah menyigi lebih mendalam kelemahan kewenangan DPR apabila diperhadapkan dengan kewenangan presiden. Salah satu yang dianggap persoalan sebelum perubahan UUD 1945, kehadiran DPR lebih banyak sebagai “tukang stempel” segala kebijakan dan kehendak eksekutif.

Ini dapat dilacak dari minimnya peran DPR dalam proses legislasi. Karena itu, untuk memperkuat eksistensi DPR, tahap perubahan diarahkan pada upaya membongkar peran DPR dalam proses legislasi.Upaya ini dapat ditelusuri dari desain baru Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 yang memberikan peran lebih besar kepada DPR. Bahkan, Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan secara eksplisit bahwa DPR merupakan pemegang kekuasaan pembentukan undang-undang.

Tidak hanya membongkar kekuasaan legislasi,Perubahan Pertama UUD 1945 merambah isu-isu lain yang menjadi wilayah persentuhan kewenangan presiden dan DPR. Misalnya, dalam pengangkatan duta tidak lagi menjadi otoritas penuh presiden. Merujuk ketentuan Pasal 13 Ayat (2) UUD 1945, dalam pengangkatan duta, presiden memperhatikan pertimbangan DPR.

Bahkan lebih jauh lagi, pertimbangan DPR diperlukan pula dalam menerima penempatan duta negara lain. Banyak pihak berpendapat, pertimbangan dalam penempatan duta negara lain di Indonesia di luar kelaziman yang berlaku dalam hubungan internasional.

Setelah 14 Tahun

Sebetulnya, apabila digunakan secara tepat dan dalam konteks membangun checks and balances dengan cabang kekuasaan lain, penguatan wewenang DPR tidak akan menjadi perdebatan serius. Namun karena acap digunakan tanpa batas, tidak terlalu berlebihan jika kemudian sebagian kalangan menilai ada yang salah dengan penguatan kewenangan DPR tersebut.

Banyak peristiwa menunjukkan kebablasan sejumlah pihak di DPR menggunakan fungsi pengawasan.Tidak jarang, praktik fungsi pengawasan yang berlebihan memicu ketegangan antara pemerintah dan DPR. Masih segar dalam ingatan kita, misalnya bagaimana Azis Syamsuddin, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, mengancam Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana.

Pada 8 Desember 2011 itu berlangsung rapat kerja antara Komisi III dengan Menteri Hukum dan HAM. Azis menegur Denny, “Jangan cengengesan. Maaf, Anda itu tidak ganteng. Kalau saya mau, saya bisa minta Anda keluar dari forum ini.” Jika dilihat dari hubungan antarlembaga, tragedi “tidak ganteng” itu seharusnya tidak perlu terjadi. Tidak hanya sebatas hubungan dengan pemerintah, fungsi pengawasan DPR menunjukkan perkembangan memprihatinkan.

Terkait dengan hal ini, dalam artikel “Potret Buram Fungsi Legislasi” (SINDO, 29/12/2011) saya kemukakan bagaimana pengalaman di Komisi III. Sejauh ini, Komisi Hukum DPR ini memanggil lembaga penegak hukum dengan menggunakan jubah rapat dengar pendapat. Sejauh yang bisa dilacak, acap kali upaya itu dilakukan jika langkah penegakan hukum berpotensi merugikan sejumlah kekuatan politik di DPR.

Karenanya, banyak kalangan khawatir, instrumen dengar pendapat digunakan untuk membelokkan proses hukum. Contoh kasus yang dapat dikemukakan, bagaimana Komisi III “meneror” KPK ketika hendak mendalami indikasi mafia anggaran di DPR. Bagi kalangan yang concern mengikuti perkembangan DPR, praktik fungsi pengawasan yang berlebihan telah menggeser penggunaan fungsi utama DPR yang lain, yaitu fungsi legislasi.

Sebagai contoh, meskipun secara kuantitatif undang-undang yang dihasilkan tahun 2011 ini lebih banyak (24 undang-undang) dibandingkan tahun 2010 (16), jumlah tersebut jauh dari target program legislasi nasional. Bahkan secara kualitatif, banyak undang-undang hadir dengan kualitas yang kurang memadai.

Namun, setelah berjalan 14 tahun, yang memprihatinkan kita, amanat reformasi semakin sayup-sayup dan menjauh di gedung DPR. Karena itu,dalam suasana 14 tahun reformasi, tidak berlebihan apabila semua kekuatan politik di DPR kita kembali menoleh kepada roh reformasi.

Mengabaikan semangat reformasi merupakan pengingkaran atas kehendak kolektif bangsa ini untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar