Jebakan Negara
Berpendapatan Menengah
Muhammad Chatib Basri ; Pendiri CReco Research Institute;
Dosen Fakultas Ekonomi UI
SUMBER : KOMPAS, 14
Mei 2012
Pertumbuhan perekonomian Indonesia mulai
melambat, yaitu tumbuh 6,3 persen pada triwulan pertama 2012, begitu papar
Badan Pusat Statistik. Apa yang bisa kita katakan dari angka ini?
Barangkali dua hal. Pertama, tak ada satu
negara pun yang bebas dari pelambatan ekonomi global. Kedua, Indonesia harus
secara serius melakukan diversifikasi ekspor, baik produk maupun negara tujuan.
Kita butuh perbaikan kualitas manusia untuk mendorong inovasi. Tanpa itu, kita
bisa mandek dalam jebakan pendapatan menengah (middle income trap).
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, dalam
triwulan pertama 2012, perekonomian Indonesia tumbuh, terutama didorong
konsumsi rumah tangga (4,9 persen), investasi (9,9 persen), dan ekspor (7,8
persen).
Namun, apabila dibandingkan dengan triwulan
keempat 2011, terlihat bahwa ekspor dan investasi mulai menurun. Tak ada yang
mengejutkan. Pelambatan ekonomi China telah menurunkan permintaan terhadap
ekspor primer Indonesia. Akibatnya, ekonomi kita mulai melambat.
Sejauh mana dampaknya terhadap ekonomi
Indonesia? Saya masih percaya bahwa ekonomi Indonesia bisa tumbuh sekitar 6,1
persen tahun ini. Cukup baik sebenarnya, terutama apabila dibandingkan dengan
negara-negara tetangga.
Namun, itu bukan berarti tak ada risiko.
Kebutuhan suntikan modal bagi perbankan di Eropa akan mendorong deleveraging.
Implikasinya, likuiditas menjadi ketat. Perbankan Eropa akan menghentikan
pasokan kreditnya ke Asia.
Laporan IMF (2012) menunjukkan bahwa posisi
Indonesia sebenarnya relatif aman. Alasannya, pengaruh perbankan Eropa terhadap
Indonesia relatif kecil. Mungkin benar begitu. Namun, saya kira kita perlu
hati-hati terhadap dampak tidak langsungnya.
Pengaruh perbankan Eropa relatif besar
terhadap Singapura dan Hongkong. Jika Singapura terkena, Indonesia akan
merasakan dampaknya. Alasannya, banyak perusahaan di Indonesia yang mendapat
sumber pendanaan dari perbankan di Singapura dan Hongkong. Karena itu, risiko
arus modal keluar dalam jangka pendek masih bersama kita.
Tak heran jika pasar keuangan masih sangat
bergejolak. Situasi ini dapat diperburuk dengan inflation overhang (inflasi
yang menggantung) akibat ekspektasi inflasi karena harga BBM belum juga
dinaikkan. Tengok saja, inflasi tahunan naik 100 basis poin dalam dua bulan
terakhir.
Seperti saya bahas di Analisis Ekonomi
sebelumnya, ekspektasi inflasi, apabila tak dikendalikan, akan mengganggu pasar
keuangan. Akibatnya, nilai rupiah tertekan. Karena itu, walau pertumbuhan
ekonomi relatif kuat, kita harus berhati-hati dengan risiko makroekonomi ini.
Di luar itu ada soal yang lebih mendasar,
yaitu middle income trap. Studi Bank Pembangunan Asia (ADB) tentang Asia 2050
menunjukkan tak banyak negara yang mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi setelah ia masuk dalam kategori negara berpendapatan menengah,
seperti Indonesia saat ini.
Mengapa? Karena ada perbedaan yang mendasar
dalam strategi ekonomi antara negara pendapatan menengah dan pendapatan rendah.
Ketika pendapatan masih rendah, pertumbuhan ekonomi bisa didorong dengan
mengandalkan sumber daya alam dan alokasi tenaga kerja ke sektor yang
produktif.
Ketika negara mulai masuk kategori pendapatan
menengah, pertumbuhan ekonomi menuntut modal, baik dalam arti fisik maupun
manusia dengan keterampilan yang lebih tinggi. Ini yang disebut moving value
chain. Tak hanya itu, struktur ekonomi juga akan bergeser ke sektor jasa.
Yang lebih penting lagi adalah ekspor tak
bisa lagi mengandalkan buruh murah. Ekspansi ekspor akan bergantung pada
”produk baru” (”produk baru” di sini bisa saja berarti produk lama, tetapi
dengan inovasi bisa diproduksi Indonesia dengan kualitas yang lebih baik dan
efisien). Ekspor juga tak bisa mengandalkan pasar tradisional yang sudah ada.
Harus ada pasar baru.
Karena itu, inovasi dan diferensiasi produk
menjadi amat penting bagi negara berpendapatan menengah. Itu sebabnya,
diversifikasi ekspor, baik produk maupun negara tujuan, menjadi amat penting.
Prasyaratnya adalah kualitas modal manusia yang baik.
Teori pertumbuhan baru juga mengajarkan bahwa
satu-satunya faktor produksi yang tak akan mandek (mengalami diminishing return) adalah ilmu pengetahuan. Karena itu,
pertumbuhan berkelanjutan membutuhkan inovasi. Itu artinya kualitas modal
manusia yang baik. Sayangnya, Indonesia tertinggal dalam hal ini. Tengok saja
penelitian dan pengembangan (litbang) kita.
Ada baiknya kita belajar dari pengalaman
Korea Selatan, Brasil, dan Afrika Selatan. Ketiganya masuk dalam kategori
pendapatan menengah sejak 1980-an. Namun, hanya Korea Selatan yang melesat.
Brasil dan Afrika Selatan relatif mandek sampai tahun 2000. Korea Selatan
berkembang karena kemampuannya dalam inovasi karena sumber daya manusia yang
baik. Tanpa kualitas manusia yang baik, Indonesia punya risiko masuk dalam middle income trap.
Kita tak boleh terlambat dalam
mentransformasi perekonomian dari sekadar resource
and low cost-driven growth menjadi productivity-driven
growth. Produktivitas yang tinggi harus didukung oleh infrastruktur sosial
dan fisik yang baik. Hal ini hanya bisa dipenuhi jika sebuah negara memiliki
pemerintah yang bersih dan institusi yang baik. Itu sebabnya, kita butuh
pemimpin yang punya visi multigenerasi, bukan hanya visi satu pemilu ke depan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar