Irshad Manji dan
Problem Bangsa
Mu’tashim El-Mandiri ; Mahasiswa Pascasarjana IAIN Sunan
Ampel;
Alumnus
Pondok Pesantren Wali Songo (PPWS) Ngabar, Ponorogo
SUMBER : JAWA POS,
12 Mei 2012
DALAM
minggu
ini, ada kegemparan terkait dengan kedatangan Irshad Manji, seorang aktivis
gender sekaligus tokoh penggerak lesbianisme di Barat. Kedatangannya untuk kali
kedua ini mendapat respons positif dari sebagian sivitas akademika dan tidak
sedikit pula yang menolak kedatangannya.
Sebelumnya, dia penah mengunjungi Indonesia dalam peluncuran bukunya, The Trouble with Islam Today, 2008, di Jakarta. Karangannya itu mendapat apresiasi dari sejumlah tokoh intelektual di Indonesia. Sebagai bentuk apresiasi, buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan dengan judul Beriman Tanpa Rasa Takut; Tantangan Umat Islam Saat Ini.
Kedatangannya untuk kali kedua ini adalah dalam rangka yang sama, yaitu mempromosikan buku terbarunya berjudul Allah, Liberty & Love yang rencananya diluncurkan di Indonesia dalam edisi bahasa Indonesia. Sesuai dengan judulnya, buku tersebut memuat gagasannya perihal upaya mempertemukan iman kepada Allah, cinta, dan kebebasan berpikir pada diri seorang muslim. Dia melegalkan praktik lesbianisme atau homoseksualitas. Sebab, bagi Irshad, cinta terhadap sesama manusia walaupun sejenis dapat menciptakan sebuah kedamaian yang justru diinginkan Tuhan.
Mempertuhankan Kebebasan
Irshad Manji adalah seorang muslimah yang lahir di Uganda pada 1968. Ayahnya berasal dari India dan ibunya dari Mesir. Setelah kasus pengusiran oleh Jenderal Idi Amin, penguasa Uganda saat itu, terhadap kaum nonkulit hitam, akhirnya Irshad bersama keluarganya hijrah ke Kanada dan berdomisili di sana (lihat Irham Khoiri, Berpikir Kritis Irshad Manji).
Gagasan liberalnya yang berupaya melegalkan praktik lesbian dengan mengatasnamakan keadilan, kebebasan berpikir dan berekspresi, serta berujung pada pembelaan terhadap kaum minoritas adalah gagasan yang bagi mainstream muslim dinilai salah, bahkan menyesatkan.
Bagi Irshad, hukum Islam tidak seharusnya kaku dalam memandang perubahan. Ia harus terbuka dan memberikan ruang pada akal untuk mencerna lebih luas hikmah di balik ajaran Islam. Menurut dia, pandangan umat Islam saat ini terkekang oleh hasil penafsiran yang didominasi kaum konservatif yang akhirnya membelenggu umat Islam dalam mengekspresikan pemikirannya sendiri.
Irshad yang mempelajari Islam secara otodidak itu lupa, atau mungkin tidak paham, bahwa hukum Islam tak semestinya dipandang sebagai ancaman kemanusiaan atau sebagai penyebab utama matinya kebebasan berpikir.
Rabu lalu (9/5), bertempat di gedung Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS), sekolah Pascasarjana UGM, Jogjakarta, menyelenggarakan acara diskusi bedah buku yang menghadirkan langsung penulisnya, Irshad Manji. Acara tersebut mengalami nasib yang sama dengan yang terjadi sebelumnya, Jumat (4/5), di Salihara, Jakarta. Yaitu, pembubaran secara paksa oleh orang yang merasa agama sedang dihina.
Kita selalu membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan term-term keagamaan yang mengatasnamakan ''nilai'', tetapi lupa pada substansi agama itu sendiri. Nilai-nilai yang selalu diangkat, antara lain, mengedepankan dialog, menghormati perbedaan pendapat, serta menolak kekerasan dalam keberagaman keagamaan, termasuk atas nama nilai akademis.
Padahal, ada hal yang lebih urgen di balik itu semua, yaitu ajaran agama itu sendiri (syariat Islam). Jika harus jujur, ketika melihatnya dari sudut pandang agama, jelas hukum lesbi (dalam fiqh diistilahkan dengan liwath atau musahaqah) adalah haram dan pelakunya akan dikenai hukuman rajam.
Begitu juga dengan rencana dialog bersama Irshad Manji, tidak seharusnya kita memberikan ruang kepada dia untuk mengampanyekan praktik lesbinya di Indonesia.
Dekulturasi Budaya
Dekulturasi adalah hilangnya kebudayaan suatu kelompok karena interaksi antarkelompok sosial. Dalam hubungannya dengan kasus Irshad Manji itu, terkesan ada upaya dekulturasi budaya Indonesia oleh budaya bebas di Barat. Misalnya, pergaulan bebas, hubungan tanpa ikatan pernikahan yang resmi (kumpul kebo), dan terakhir yang menjadi kampanye Irshad adalah lesbianisme, yaitu hubungan kelainan seks yang terjadi pada wanita. Padahal, nilai dan budaya asing belum tentu cocok dan serasi dengan pola kehidupan kita.
Praktik lesbianisme boleh saja berlaku di sebagian negara di Barat, tetapi belum tentu dapat beradaptasi dengan baik bersama kebudayaan kita di Indonesia. Selain agama secara keras melarang praktik lesbian tersebut, secara kultur-budaya bangsa kita tak mengizinkan praktik itu tumbuh dan berkembang memengaruhi generasi bangsa kita. Bahkan, Pancasila, sila kedua, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, mengajarkan kepada kita bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya, beradab, memiliki sopan santun, dan etika. ●
Sebelumnya, dia penah mengunjungi Indonesia dalam peluncuran bukunya, The Trouble with Islam Today, 2008, di Jakarta. Karangannya itu mendapat apresiasi dari sejumlah tokoh intelektual di Indonesia. Sebagai bentuk apresiasi, buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan dengan judul Beriman Tanpa Rasa Takut; Tantangan Umat Islam Saat Ini.
Kedatangannya untuk kali kedua ini adalah dalam rangka yang sama, yaitu mempromosikan buku terbarunya berjudul Allah, Liberty & Love yang rencananya diluncurkan di Indonesia dalam edisi bahasa Indonesia. Sesuai dengan judulnya, buku tersebut memuat gagasannya perihal upaya mempertemukan iman kepada Allah, cinta, dan kebebasan berpikir pada diri seorang muslim. Dia melegalkan praktik lesbianisme atau homoseksualitas. Sebab, bagi Irshad, cinta terhadap sesama manusia walaupun sejenis dapat menciptakan sebuah kedamaian yang justru diinginkan Tuhan.
Mempertuhankan Kebebasan
Irshad Manji adalah seorang muslimah yang lahir di Uganda pada 1968. Ayahnya berasal dari India dan ibunya dari Mesir. Setelah kasus pengusiran oleh Jenderal Idi Amin, penguasa Uganda saat itu, terhadap kaum nonkulit hitam, akhirnya Irshad bersama keluarganya hijrah ke Kanada dan berdomisili di sana (lihat Irham Khoiri, Berpikir Kritis Irshad Manji).
Gagasan liberalnya yang berupaya melegalkan praktik lesbian dengan mengatasnamakan keadilan, kebebasan berpikir dan berekspresi, serta berujung pada pembelaan terhadap kaum minoritas adalah gagasan yang bagi mainstream muslim dinilai salah, bahkan menyesatkan.
Bagi Irshad, hukum Islam tidak seharusnya kaku dalam memandang perubahan. Ia harus terbuka dan memberikan ruang pada akal untuk mencerna lebih luas hikmah di balik ajaran Islam. Menurut dia, pandangan umat Islam saat ini terkekang oleh hasil penafsiran yang didominasi kaum konservatif yang akhirnya membelenggu umat Islam dalam mengekspresikan pemikirannya sendiri.
Irshad yang mempelajari Islam secara otodidak itu lupa, atau mungkin tidak paham, bahwa hukum Islam tak semestinya dipandang sebagai ancaman kemanusiaan atau sebagai penyebab utama matinya kebebasan berpikir.
Rabu lalu (9/5), bertempat di gedung Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS), sekolah Pascasarjana UGM, Jogjakarta, menyelenggarakan acara diskusi bedah buku yang menghadirkan langsung penulisnya, Irshad Manji. Acara tersebut mengalami nasib yang sama dengan yang terjadi sebelumnya, Jumat (4/5), di Salihara, Jakarta. Yaitu, pembubaran secara paksa oleh orang yang merasa agama sedang dihina.
Kita selalu membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan term-term keagamaan yang mengatasnamakan ''nilai'', tetapi lupa pada substansi agama itu sendiri. Nilai-nilai yang selalu diangkat, antara lain, mengedepankan dialog, menghormati perbedaan pendapat, serta menolak kekerasan dalam keberagaman keagamaan, termasuk atas nama nilai akademis.
Padahal, ada hal yang lebih urgen di balik itu semua, yaitu ajaran agama itu sendiri (syariat Islam). Jika harus jujur, ketika melihatnya dari sudut pandang agama, jelas hukum lesbi (dalam fiqh diistilahkan dengan liwath atau musahaqah) adalah haram dan pelakunya akan dikenai hukuman rajam.
Begitu juga dengan rencana dialog bersama Irshad Manji, tidak seharusnya kita memberikan ruang kepada dia untuk mengampanyekan praktik lesbinya di Indonesia.
Dekulturasi Budaya
Dekulturasi adalah hilangnya kebudayaan suatu kelompok karena interaksi antarkelompok sosial. Dalam hubungannya dengan kasus Irshad Manji itu, terkesan ada upaya dekulturasi budaya Indonesia oleh budaya bebas di Barat. Misalnya, pergaulan bebas, hubungan tanpa ikatan pernikahan yang resmi (kumpul kebo), dan terakhir yang menjadi kampanye Irshad adalah lesbianisme, yaitu hubungan kelainan seks yang terjadi pada wanita. Padahal, nilai dan budaya asing belum tentu cocok dan serasi dengan pola kehidupan kita.
Praktik lesbianisme boleh saja berlaku di sebagian negara di Barat, tetapi belum tentu dapat beradaptasi dengan baik bersama kebudayaan kita di Indonesia. Selain agama secara keras melarang praktik lesbian tersebut, secara kultur-budaya bangsa kita tak mengizinkan praktik itu tumbuh dan berkembang memengaruhi generasi bangsa kita. Bahkan, Pancasila, sila kedua, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, mengajarkan kepada kita bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya, beradab, memiliki sopan santun, dan etika. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar