Selasa, 15 Mei 2012

Misteri Sukhoi dan ATC


Misteri Sukhoi dan ATC
Ruby Nugraha ;  Senior ATC, Supervisor Radar Control Bandara Juanda
SUMBER :  JAWA POS, 15 Mei 2012



PROFESI pengatur lalu lintas udara atau biasa disebut ATC (air traffic control) adalah bidang tugas di bandara yang sunyi publikasi. Mereka bekerja dalam ruang khusus, mengoperasikan sejumlah peralatan berteknologi tinggi untuk mengatur dan memandu pergerakan pesawat udara. Baik pesawat yang akan berangkat, pesawat yang akan mendarat, maupun pesawat yang melintas di atas langit suatu bandar udara.

Petugas ATC bertanggung jawab atas keselamatan pesawat udara beserta muatan orang dan barang di dalamnya. Jangan sampai pesawat bertabrakan. Tugas dimulai dari saat pesawat menyalakan mesin di bandara keberangkatan, kemudian melaju di darat menuju landasan pacu, pengaturan berangkat (take off) dan mendarat (landing), penentuan rute penerbangan, penentuan ketinggian jelajah, penetapan kecepatan (speed control), pemisahan dan proses menghindarkan pesawat bertabrakan di udara dengan menetapkan arah (heading) serta manuver, sampai pesawat udara mendarat dan parkir di bandara tujuan.

ATC seolah-olah memegang remote control atas setiap pesawat. Jika pada satu waktu seorang petugas ATC mengendalikan 20 pesawat, dia seakan-akan memegang 20 remote control. Dan tidak boleh tertukar antara remote control yang satu dan yang lain. Sebab, sedikit saja terjadi kesalahan akan mengakibatkan tragedi fatal.

Karena memerlukan ketelitian dan akurasi tinggi, seorang petugas ATC harus selalu fit dan tidak boleh bekerja dalam keadaan lelah. Mengingat kecepatan pesawat sangat tinggi, sering keputusan harus diambil dalam waktu beberapa detik saja dan tidak boleh salah. Sekali salah dalam mengambil keputusan, risikonya ratusan nyawa manusia akan melayang sia-sia. Dia pun bisa masuk penjara.

Selain tanggung jawab teknis itu, mereka juga memiliki tanggung jawab menciptakan arus penerbangan yang aman, ekonomis, dan efisien dengan tetap memprioritaskan keselamatan penerbangan.

Di beberapa bandara besar, para petugas ATC dilengkapi dengan alat bantu navigasi berupa radar. Dengan bantuan radar (radio detection and ranging), pesawat dalam melaksanakan penerbangannya tidak harus melalui jalur penerbangan biasa, seperti jalur penerbangan yang tertera pada peta jalur penerbangan. Tapi, bisa langsung terbang dari titik ke titik yang sudah ditentukan otoritas penerbangan internasional (direct route).

Di layar monitor radar, setiap pergerakan pesawat, baik itu ketinggian jelajah, arah, kecepatan, maupun sudut pergerakan, bisa diketahui dengan pasti. Dengan begitu, apabila terjadi kesalahan dari pergerakan pesawat udara tersebut, bisa segera diketahui dan dikoreksi. Keuntungan lain penggunaan radar adalah jarak aman antarpesawat pada arah dan ketinggian yang sama, baik jarak secara horizontal maupun longitudinal cukup 10 NM (nautical miles) atau 18 km saja.

Itu berbeda dengan pelayanan lalu lintas udara dengan alat bantu navigasi konvensional. Yakni, untuk menuju bandara tujuan, pesawat harus menggunakan rute penerbangan yang telah ditetapkan, yang tentunya lebih panjang dan waktu tempuhnya lebih lama. Jarak antarpesawat pada arah dan ketinggian yang sama pun paling sedikit harus 10 menit atau sekitar 60 NM = 108 km. Jelas sistem itu sangat boros ruang, boros biaya, dan boros waktu. Maka, penggunaan radar lebih disukai dan lebih menguntungkan.

Kenapa Turunkan Ketinggian

Di antara beberapa kemungkinan penyebab terjadinya musibah pesawat Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak baru-baru ini, salah satu yang ramai diperbincangkan media massa adalah kenapa ATC mengizinkan pesawat Sukhoi tersebut turun dari ketinggian 10.000 kaki ke 6.000 kaki.

Dalam dunia penerbangan, terdapat dua aturan terbang. Pertama, IFR atau instrument flight rule, yaitu aturan terbang dengan mendasarkan pada instrumen (peralatan di pesawat), yang dikoneksikan dengan peralatan-peralatan pemancar sinyal di darat. Pada aturan itu, semua sistem keselamatan didasarkan pada peralatan dengan standar yang telah dibakukan otoritas penerbangan.

Perlu diketahui, seluruh dataran (terrain) di Indonesia, baik lokasi maupun ketinggian, telah dipetakan secara akurat (presisi) dalam peta penerbangan. Jadi, apa yang tertera pada layar radar akurat. Misalnya posisi dan ketinggian Gunung Salak, Bogor. Itu pun sudah terpetakan dengan akurat dalam sistem radar penerbangan setempat. Dengan begitu, kemungkinan perbedaan posisi pesawat pada radar, seperti yang ramai diberitakan media, sangat kecil.

Dengan aturan IFR, seorang petugas ATC tidak akan bisa melakukan pemanduan dan pengendalian pesawat di bawah prosedur standar yang telah ditetapkan otoritas penerbangan. Artinya, jika ketinggian Gunung Salak 6.200 kaki, ketinggian minimal di lokasi tersebut adalah 8.200 kaki. Sebab, aturan standar untuk ketinggian rute IFR 2.000 kaki di atas daratan atau benda yang paling tinggi.

Kedua, VFR atau visual flight rule, yaitu aturan terbang dengan mendasarkan pada penglihatan pilot terhadap daratan. Biasanya, aturan itu diterapkan untuk rute-rute pendek dan ketinggian yang rendah serta cuaca yang cerah. Aturan VFR tersebut dilarang pada malam hari. Kewajiban untuk menghindarkan pesawat dari tabrakan dengan daratan yang tinggi sepenuhnya ada pada pilot.

Pada kasus Sukhoi, kenapa petugas ATC memberikan izin kepada pilot untuk terbang lebih rendah daripada ketinggian Gunung Salak? Sebab, secara aturan, pilot bertanggung jawab penuh untuk menghindarkan diri dari menabrak daratan. Karena kembali ke aturan VFR, standar yang digunakan berdasar penglihatan langsung pilot terhadap daratan. ATC tidak terlibat lagi dalam menentukan standar ketinggian yang diinginkan pilot.

Jika melihat dari sifatnya, joy flight yang dilakukan pesawat Sukhoi Superjet 100 menerapkan aturan VFR. Sebab, joy flight dimaksudkan untuk penerbangan wisata, santai sambil melihat-lihat pemandangan yang indah dari suatu ketinggian di pesawat dan memamerkan kenyamanan pesawat tersebut. Dengan begitu, kemungkinan petugas ATC salah dalam memberikan instruksi ketinggian sangat kecil.

Hikmah bagi ATC dari musibah yang menimpa pesawat Sukhoi itu, sedikit terungkap yang selama ini tidak diketahui oleh masyarakat bahwa demikian rumitnya sistem yang terdapat dalam dunia penerbangan, yang patut mendapat perhatian dari semua pihak.

Kapan Pak Dahlan Iskan menengok sebentar untuk berdialog dengan kami para petugas ATC Indonesia demi meningkatkan keamanan penerbangan di Indonesia? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar