Selasa, 22 Mei 2012

Hari Kebangkitan atau Kebangkrutan?


Hari Kebangkitan atau Kebangkrutan?
Eko Wardaya ; Wakil Ketua Umum
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Bogor
SUMBER :  SUARA KARYA, 21 Mei 2012


Minggu (20/5), kita dipertontonkan suatu pertunjukan yang sangat mengharukan. Bukan karena kemenangan Chelsea untuk kali pertama meraih gelar juara Liga Champion, tetapi berkaitan dengan realitas negeri tercinta ini, yaitu kegagalan untuk bangkit. Terlebih, karena para pemuda di bumi Nusantara ini tertidur lelap, baik dalam arti peran maupun fisik.

Tepat ahad 20 Mei dini hari, babak final Liga Champion digelar. Setelah malam hari (baca: malam minggu), pemuda-pemudi berlalu lalang di jalanan, kongkow-kongkow di kafe ataupun area nongkrong lainnya di pusat dan sudut kota, mayoritas di antara mereka melanjutkan aktivitas untuk menonton bola, bergadang semalaman sampai Subuh.
Tak ada yang ingat bahwa hari ahad bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional. Mungkin, ada yang ingat tetapi tidak peduli. Lebih banyak yang ingat bahwa 20 Mei bertepatan dengan final Liga Champion. Tua, muda, baik laki-laki maupun perempuan, banyak yang serupa terjebak akan kealpaan terhadap momen bersejarah ini.

Tengoklah pada pagi hari, fisik mereka pun terlelap tidur seharian, mengobati perih mata akibat habis bergadang. Kian lupa bahwa Minggu, 20 Mei adalah Hari Kebangkitan Nasional. Lengkaplah sudah penderitaan hati Bunda Pertiwi, tanah air Indonesia. Di saat realitas sosial yang tak kunjung menemukan kesejahteraan, kini diperparah oleh tabiat lemah para pemuda yang notabene berlabel agent of change.

Bukan salah Liga Champion, bukan pula bermaksud untuk melarang untuk menonton pertandingan bola dunia, tapi pertanyaan besar yang mesti disampaikan adalah apa yang terjadi dengan bangsa ini? Apa yang terjadi dengan para pemuda Indonesia? Lebih dari 100 tahun (baca: 104 tahun) ditandai sebagai Hari Kebangkitan Nasional, tidak jua ada kebangkitan yang terasa, khususnya pasca keruntuhan rezim Orba.

Adalah hal yang lumrah bahwa kebangkitan suatu bangsa dibawa oleh tangan-tangan pemuda. Mungkinkah mereka sudah jengah karena kondisi sosial politik yang amburadul, tak ada integritas penguasa, tak muncul satrio piningit yang ditunggu-tunggu? Ataukah, karena mereka tidak sadar apa yang mereka lihat bagai air menetes yang lambat laun akan menghancurkan batu?

Lantas, bagaimana menjawab pertanyaan pemuda kelahiran zaman pergerakan nasional? Bagaimana menjawab pertanyaan founding father Republik ini tentang realitas negara yang mereka perjuangkan?

Pastinya, hanya sedikit yang merasa malu. Tak usah jauh-jauh kita mengulas kasus korupsi yang terbengkalai, penegakan hukum yang seadanya, aksi kekerasan yang mewabah. Inilah gambaran wajah anak negeri.

Bisakah ini dipersalahkan pada pemuda, atau penguasa, bahkan mungkin orangtua dan guru yang dianggap tak berhasil mendidik keturunan dan murid-muridnya untuk peduli pada masa depan bangsa. Tidak seperti itu, dikotomi tua-muda, rakyat-penguasa hanya menjadi lelucon di siang hari karena belum ada bukti kebangkitan negeri ini apabila peran itu dilimpahkan pada satu bagian rakyat. Malahan, terjebak dalam kebangrutan menyeluruh di segala aspek.

Walaupun masih banyak penyelenggaraan Hari Kebangkitan Nasional di antero negeri, terlihat semua - tanpa melupakan apresiasi tentunya - beralaskan seremoni tahunan tak berbekas. Akan sampai kapan semua ini berlangsung? Kini, sudah saatnya berbenah menjauhi mitos kebangrutan nasional membalikkan keadaan untuk menjadi kebangkitan nasional.

Renungan Bersama

Pahlawan muncul setiap seratus tahun sudah tak bisa ditoleransi. Kolaborasi tua-muda akan memberi hasil maksimal apabila bisa dilanggengkan dan terimplementasi.
Pertama, pemerintah bagaimanapun sebagai penjaga negara berperan besar dalam mengajak rakyatnya untuk bangkit. Momentum 'Kebangkitan Nasional' bisa dijadikan renungan bersama nasional demi menatap masa depan yang lebih baik. Fakta di lapangan, agenda besar apa yang dibuat pemerintah, lagi-lagi seremoni. Ingat Jepang! Seketika setelah luluh lantak akibat dijatuhkannya bom oleh sekutu di dua kota besar Hiroshima dan Nagasaki, mereka tidak lemas, tapi semakin terlecut. Pemerintah mengumpulkan para pemuda untuk menanyakan dan mengajak bangkit bersama dengan komitmen dan tindakan nyata kerja keras. Lihat hasil yang diperoleh kini!

Kedua, pemuda saat ini memang kurang melek sejarah. Apabila seperti itu, ambillah pelajaran perjuangan Chelsea yang bangkit dari ketertinggalan skor dan membalikkan keadaan. Karena, para pemain menyadari tujuan mereka adalah kemenangan. Tidakkah pemuda ingin merasakan kehidupan yang lebih baik bagi diri sendiri maupun rakyat di sekitarnya? Pemuda harus menemukan ghiroh zaman, di mana saat ini membutuhkan persatuan dan kesatuan antar-elemen vertikal maupun horizontal.

Ulangi kembali sejarah persatuan pemuda untuk kebangkitan nasional. Sama seperti pemerintah, pada hari ini tidak ditemukan agenda nasional persatuan pemuda membentuk konsepsi masa depan Indonesia. Padahal, sejak tahun 2008, Sri Sultan Hamengku Buwono X telah menantang pemuda untuk mendeklarasikan arah negeri ini seperti Sumpah Pemuda 1928 dahulu. Mari bangkit bukan bangkrut! Tapi, apabila ingin bangkrut, lanjutkan saja "tidur lagi", seperti dikatakan Alm Mbah Surip dalam salah satu penggalan syair tembang karyanya yang populer sebelum meninggal dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar