Hari
Kebangkitan atau Kebangkrutan?
Eko
Wardaya ; Wakil Ketua Umum
Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia (KAMMI) Bogor
SUMBER
: SUARA
KARYA, 21 Mei 2012
Minggu (20/5), kita dipertontonkan suatu pertunjukan yang sangat
mengharukan. Bukan karena kemenangan Chelsea untuk kali pertama meraih gelar
juara Liga Champion, tetapi berkaitan dengan realitas negeri tercinta ini,
yaitu kegagalan untuk bangkit. Terlebih, karena para pemuda di bumi Nusantara
ini tertidur lelap, baik dalam arti peran maupun fisik.
Tepat ahad 20 Mei dini hari, babak final Liga Champion digelar.
Setelah malam hari (baca: malam minggu), pemuda-pemudi berlalu lalang di
jalanan, kongkow-kongkow di kafe ataupun area nongkrong lainnya di pusat dan
sudut kota, mayoritas di antara mereka melanjutkan aktivitas untuk menonton
bola, bergadang semalaman sampai Subuh.
Tak ada yang ingat bahwa hari ahad bertepatan dengan Hari
Kebangkitan Nasional. Mungkin, ada yang ingat tetapi tidak peduli. Lebih banyak
yang ingat bahwa 20 Mei bertepatan dengan final Liga Champion. Tua, muda, baik
laki-laki maupun perempuan, banyak yang serupa terjebak akan kealpaan terhadap
momen bersejarah ini.
Tengoklah pada pagi hari, fisik mereka pun terlelap tidur
seharian, mengobati perih mata akibat habis bergadang. Kian lupa bahwa Minggu,
20 Mei adalah Hari Kebangkitan Nasional. Lengkaplah sudah penderitaan hati
Bunda Pertiwi, tanah air Indonesia. Di saat realitas sosial yang tak kunjung
menemukan kesejahteraan, kini diperparah oleh tabiat lemah para pemuda yang
notabene berlabel agent of change.
Bukan salah Liga Champion, bukan pula bermaksud untuk melarang
untuk menonton pertandingan bola dunia, tapi pertanyaan besar yang mesti
disampaikan adalah apa yang terjadi dengan bangsa ini? Apa yang terjadi dengan
para pemuda Indonesia? Lebih dari 100 tahun (baca: 104 tahun) ditandai sebagai
Hari Kebangkitan Nasional, tidak jua ada kebangkitan yang terasa, khususnya
pasca keruntuhan rezim Orba.
Adalah hal yang lumrah bahwa kebangkitan suatu bangsa dibawa oleh
tangan-tangan pemuda. Mungkinkah mereka sudah jengah karena kondisi sosial
politik yang amburadul, tak ada integritas penguasa, tak muncul satrio piningit
yang ditunggu-tunggu? Ataukah, karena mereka tidak sadar apa yang mereka lihat
bagai air menetes yang lambat laun akan menghancurkan batu?
Lantas, bagaimana menjawab pertanyaan pemuda kelahiran zaman
pergerakan nasional? Bagaimana menjawab pertanyaan founding father Republik ini
tentang realitas negara yang mereka perjuangkan?
Pastinya, hanya sedikit yang merasa malu. Tak usah jauh-jauh kita
mengulas kasus korupsi yang terbengkalai, penegakan hukum yang seadanya, aksi
kekerasan yang mewabah. Inilah gambaran wajah anak negeri.
Bisakah ini dipersalahkan pada pemuda, atau penguasa, bahkan
mungkin orangtua dan guru yang dianggap tak berhasil mendidik keturunan dan
murid-muridnya untuk peduli pada masa depan bangsa. Tidak seperti itu, dikotomi
tua-muda, rakyat-penguasa hanya menjadi lelucon di siang hari karena belum ada
bukti kebangkitan negeri ini apabila peran itu dilimpahkan pada satu bagian
rakyat. Malahan, terjebak dalam kebangrutan menyeluruh di segala aspek.
Walaupun masih banyak penyelenggaraan Hari Kebangkitan Nasional di
antero negeri, terlihat semua - tanpa melupakan apresiasi tentunya - beralaskan
seremoni tahunan tak berbekas. Akan sampai kapan semua ini berlangsung? Kini,
sudah saatnya berbenah menjauhi mitos kebangrutan nasional membalikkan keadaan
untuk menjadi kebangkitan nasional.
Renungan Bersama
Pahlawan muncul setiap seratus tahun sudah tak bisa ditoleransi. Kolaborasi
tua-muda akan memberi hasil maksimal apabila bisa dilanggengkan dan
terimplementasi.
Pertama, pemerintah bagaimanapun sebagai penjaga negara berperan
besar dalam mengajak rakyatnya untuk bangkit. Momentum 'Kebangkitan Nasional'
bisa dijadikan renungan bersama nasional demi menatap masa depan yang lebih
baik. Fakta di lapangan, agenda besar apa yang dibuat pemerintah, lagi-lagi
seremoni. Ingat Jepang! Seketika setelah luluh lantak akibat dijatuhkannya bom
oleh sekutu di dua kota besar Hiroshima dan Nagasaki, mereka tidak lemas, tapi
semakin terlecut. Pemerintah mengumpulkan para pemuda untuk menanyakan dan
mengajak bangkit bersama dengan komitmen dan tindakan nyata kerja keras. Lihat
hasil yang diperoleh kini!
Kedua, pemuda saat ini memang kurang melek sejarah. Apabila
seperti itu, ambillah pelajaran perjuangan Chelsea yang bangkit dari
ketertinggalan skor dan membalikkan keadaan. Karena, para pemain menyadari
tujuan mereka adalah kemenangan. Tidakkah pemuda ingin merasakan kehidupan yang
lebih baik bagi diri sendiri maupun rakyat di sekitarnya? Pemuda harus
menemukan ghiroh zaman, di mana saat ini membutuhkan persatuan dan kesatuan
antar-elemen vertikal maupun horizontal.
Ulangi kembali sejarah persatuan pemuda untuk kebangkitan
nasional. Sama seperti pemerintah, pada hari ini tidak ditemukan agenda
nasional persatuan pemuda membentuk konsepsi masa depan Indonesia. Padahal,
sejak tahun 2008, Sri Sultan Hamengku Buwono X telah menantang pemuda untuk mendeklarasikan
arah negeri ini seperti Sumpah Pemuda 1928 dahulu. Mari bangkit bukan bangkrut!
Tapi, apabila ingin bangkrut, lanjutkan saja "tidur lagi", seperti
dikatakan Alm Mbah Surip dalam salah satu penggalan syair tembang karyanya yang
populer sebelum meninggal dunia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar