Kamis, 10 Mei 2012

Golkar dan Capres 2014


Golkar dan Capres 2014
Syamsuddin Haris; Kepala Pusat Penelitian Politik
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
  
SUMBER :  SINDO, 10 Mei 2012


Tatkala partai politik lain masih belum rampung mengonsolidasikan diri, Partai Golongan Karya (Golkar) sudah sibuk dengan persiapan penetapan calon presiden untuk Pemilu 2014. 

Ada apa? Mengapa Aburizal Bakrie terkesan terburu-buru? Seperti diketahui, Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar yang jadwal rutinnya berlangsung setiap Oktober hendak dimajukan pada Juni atau Juli 2012. Sebagaimana dilansir sejumlah petinggi teras partai beringin itu, rapimnas yang bersifat khusus (rapimnassus) itu direncanakan untuk mematangkan penetapan Ical–– sapaan akrab Aburizal––sebagai satu-satunya bakal capres dari Golkar.

Unsur pimpinan DewanPimpinanDaerah(DPD) Provinsi Partai Golkar se-Indonesia bisa dikatakan tinggal mengetuk palu untuk meresmikan Ical sebagai capres Golkar pada Pemilu 2014. Itu artinya, peluang tokohtokoh Golkar lainnya seperti Jusuf Kalla (JK), Sultan Hamengku Buwono X, dan Akbar Tandjung untuk diusung sebagai capres oleh Golkar hampir tertutup.Apalagi bagi tokohtokoh masyarakat lain di luar kalangan Golkar, kesempatan menjadi capres melalui partai kuning itu dapat dikatakan hampir mustahil.

Momentum Elektabilitas?

Sulit dipungkiri bahwa popularitas publik hampir semua parpol di Tanah Air dewasa ini tengah menurun drastis alias jeblok. Meski hampir setiap saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengklaim berbagai keberhasilan pemerintahannya di bidang ekonomi, hal itu ternyata tak mampu mendongkrak popularitas Partai Demokrat.Kendati secara objektif pertumbuhan ekonomi relatif tinggi, inflasi terkendali, kurs rupiah terhadap dolar AS relatif stabil, dan cadangan devisa sudah di atas USD100 miliar,semua perkembangan positif ekonomi makro tersebut ternyata gagal memperbaiki citra publik Demokrat yang didera berbagai kasus korupsi.

Di tengah keterpurukan popularitas semua parpol itu yang menarikbahwa Golkarternyata masih memperoleh dukungan terbesar dibandingkan parpol lain.Sejumlah survei publik mengonfirmasi, Golkar memiliki elektabilitas lebih tinggi dibandingkan PDI Perjuangan (posisi kedua) dan Demokrat (ketiga). Meskipun sebagian besar responden survei-survei belum menentukan pilihan, tampaknya momentum elektabilitas Golkar yang relatif unggul inilah yang dimanfaatkan Ical untuk secepatnya mengonsolidasikan diri, termasuk menetapkan bakal capres Golkar.

Faktor yang turut menjadikan Ical begitu antusias adalah fakta bahwa dua parpol besar pesaing Golkar, yakni Partai Demokrat dan PDI Perjuangan, masih gamang menentukan siapa kira-kira yang layak diusung pada Pemilu 2014. Di satu pihak,Demokrat dihadapkan pada realitas SBY tidak dapat dicalonkan kembali dan masih berjuang membersihkan diri dari berbagai skandal korupsi yang diduga melibatkan sejumlah petinggi partai. Di lain pihak, partai banteng belum memiliki figur lain yang layak selain Megawati yang telah gagal pada Pemilu 2009.

Calon Tunggal

Secara internal barangkali hampir tidak ada hambatan berarti yang dihadapi Icaldalamrapimnassusmendatang. Forum rapat pimpinan yang hanya melibatkan Dewan Pimpinan Pusat (DPP), para pimpinan DPD provinsi, serta unsur pimpinan organisasi sayapdanormaspendiriitutampaknya tinggal meresmikan pencalonan sang ketua umum sebagai satu-satunya capres Golkar. Hanya,yangkurangdisiasati dan diperhitungkan lebih jauh oleh jajaran teras Golkar adalah peluang dan elektabilitas Ical sebagai capres.

Pengalaman pilpres-pilpres sebelumnya juga pelajaran dari berbagai pilkada langsung di provinsi dan kabupaten/kota menunjukkan, tingkat elektabilitas parpol yang tinggi dalam pemilu legislatif tidak bisa menjamin tingkat elektabilitas yang sama dalam pilpres dan pilkada. Tidak sedikit parpol yang memenangkan pemilu legislatif di suatu daerah justru gagal dalam pengusungan pasangan calon dalam pilkada.

Partai Golkar mengalami hal itu dalam Pilpres 2004. Meskipun memenangkan pemilu legislatif, Golkar yang mengajukan Wiranto-Salahudin Wahid hanya berada di urutan ketiga setelah SBY-JK dan Megawati-Hasyim Muzadi. Kegagalan berulang pada 2009 ketika Golkar sebagai parpol pemenang kedua pemilu legislatif mengusung JK-Wiranto tak mampu menghalangi SBYBoediono memenangkan pilpres dalam satu putaran saja. Dilemanya, saat ini elektabilitas Ical sebagai capres dapat dikatakan relatif rendah, masih di bawah Megawati dan Prabowo (Partai Gerindra), serta tak lebih baik dari elektabilitas mantan wapres,JK.

Perlu Konvensi

Berbagai pengalaman dan pelajaran tersebut semestinya meniscayakan perlunya peninjauan kembali mekanisme pencalonan capres jika Golkar benar-benar memimpin bangsa kita pada pemilu mendatang. Karena itu, penentuan capres seharusnya tidak hanya didasarkan pada dukungan DPD provinsi ataupun survei internal belaka, tetapi juga lebih didasarkan pada mekanisme yang lebih terbuka,demokratis, dan membuka peluang bagi setiap figur sebagai calon pemimpin terbaik bangsa kita.

Sebagai parpol yang jauh lebih berpengalaman dari parpol lain, memiliki sumber daya tokoh yang tidak sedikit, dan relatif solid secara organisasi, Pemilu 2014 semestinya menjadi momentum bagi Golkar untuk melembagakan seleksi kepemimpinan yang lebih baik. Dalam kaitan tersebut, seleksi capres melalui konvensi, pemilihan pendahuluan, ataupun apa pun namanya, tetap lebih baik,terbuka,dan demokratis ketimbang sekadar penetapan berdasarkan dukungan pimpinan daerah dan hasil survei internal.

Selain itu, tradisi bahwa seolah-olah ketua umum memiliki hak istimewa sebagai capres suatu parpol juga sudah waktunya diakhiri. Fungsi utama parpol bukanlah sekadar menyiapkan sang ketua umum menjadi capres, melainkan memfasilitasi siapa pun yang dianggap terbaik sebagai calon pemimpin bangsa, termasuk mereka yang bukan anggota parpol. Saya kira Golkar belum terlambat untuk itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar