Kamis, 24 Mei 2012

Ekonomi Kontroversi Lady Gaga

Ekonomi Kontroversi Lady Gaga
Effnu Subiyanto ; Mahasiswa Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
SUMBER :  JAWA POS, 24 Mei 2012


KETIKA rakyat negeri ini masih berpolemik dan berdebat hebat soal pro-kontra rencana konser Lady Gaga 3 Juni, di sisi lain lembaga riset Nielsen Soundscan melaporkan bahwa lagu digital penyanyi nyentrik ini diunduh nomor dua terbesar sampai sekarang. Lagu Poker Face Lady Gaga terjual dalam versi digital 6,62 juta kopi. Lagu lainnya, Just Dance, juga laris manis sampai dengan 6,53 juta kopi.

Ini menunjukkan bahwa tengah ada strategi baru yang diujicobakan oleh penyanyi rock kelahiran Amerika Serikat 1986 dan tampaknya berhasil. Ketika namanya semakin kontroversial dan ramai ditentang di mana-mana, oplah penjualannya semakin laris manis. Sekali lagi, publik Indonesia sebetulnya dipecundangi luar biasa. Dahsyatnya respons penolakan Lady Gaga malah justru semakin menguatkan daya tawarnya.

Di sisi lain hampir semua media massa baik elektronik dan cetak secara tidak sengaja juga memberikan ruang gratis untuk popularitas Lady Gaga. Semakin lama diperbincangkan dalam sesi domain publik kita, mind-set publik Indonesia semakin tertanam dengan kuat. Rasa penasaran semakin besar dan akhirnya mencari saluran lain untuk mengetahui mengapa konten Lady Gaga dilarang. Karena itulah, mengapa lagu versi digital begitu luar biasa terjual.

Konyol

Inilah kekonyolan kita yang tidak menyadari betapa strategi marketing saat ini dapat berkamuflase dengan banyak cara. Bagai hewan bunglon yang mampu mengadaptasi dengan perubahan sekitarnya, manajemen Lady Gaga ternyata piawai dalam mencermati struktur pasar musik Indonesia.

Pada 2003, debut penyanyi yang semula menekuni pop ini sebetulnya biasa-biasa saja dan tidak mempunyai ekspektasi populer. Sampai kemudian penyanyi dengan nama asli Stefani Joanne Angelina Germanotta ini memutuskan pindah ke aliran rock pada tahun 2008 dan kemudian terkenal dengan albumnya The Fame.

Dari sini sebetulnya dapat disaksikan bahwa Lady Gaga, tampaknya, menggunakan berbagai cara untuk mengangkat nilai jual dirinya. Cara-cara biasa, tampaknya, sudah dilakukan. Hanya saja, cara-cara breakthrough belum menemukan momentum yang paling tepat.

Kebodohan publik Indonesia, tampaknya, diincar sejak lama. Gayung bersambung, manajemen Big Daddy Entertainment (PT Prima Jaya Kreasi) akhirnya tertarik mencoba peruntungan untuk menghadirkan Lady Gaga di Indonesia di tengah jadwal konsernya dari Manila sampai Barcelona, Spanyol. Bagi event organizer (EO) ini, motif utamanya adalah faktor keuntungan, bukan karena atas nama demokrasi, agama, dan seterusnya.

Dengan harga tiket yang cukup mahal dari Rp 465 ribu sampai dengan Rp 2.250.000 untuk kelas gold, keuntungan sungguh luar biasa. Kapasitas Gelora Bung Karno sendiri cukup untuk 100 ribu orang, padahal kini tiket sudah terjual sekitar 50 ribu. Jika rata-rata harga per tiket satu juta rupiah, pendapatan EO minimal Rp 50 miliar. Jika biaya menyelenggarakan event ini mencapai 80 persen saja, seperti membayar manajemen Lady Gaga, tempat, keamanan, dan peralatan teknis lainnya, EO akan mendapatkan keuntungan bersih Rp 10 miliar. Jumlah ini tentu cukup besar pada sebuah pertunjukan yang tidak sampai semalam saja. Karena itu, bagi EO dengan wawasan kebangsaan pas-pasan atas motif materi saja, jumlah keuntungan ini tentu akan menggoda.

Tidak penting dampaknya, unsur pendidikannya, dan bahkan apa dampak terhadap kehidupan beragama. Kalangan pluralis juga akan mendukung habis-habisan atas nama komitmen demokrasi dan HAM sebebas-bebasnya.

Stop Bertengkar

Perdebatan polemik Lady Gaga ini harus segera dihentikan karena kontraproduktif bagi Indonesia. Malah manajemen Lady Gaga justru mendapat benefit berlimpah karena ributnya pro dan kontra rencana konser 3 Juni nanti. Manajemen Big Daddy Entertainment harus legawa menerima penolakan publik Indonesia dan sebaiknya mencari alternatif penyanyi lain yang dapat diterima masyarakat Indonesia.

Mengorbitkan penyanyi lokal malah justru lebih baik kendatipun tetap diperlukan kehadiran penyanyi asing sebagai benchmarking industri musik. Ironisnya, ketika resource dan fasilitas diberikan kepada para musisi asing, perhatian dalam memperbaiki kemasan musik dan budaya tradisional justru sudah hilang. Para generasi muda kita kini seperti anak ayam kehilangan induknya, tidak tahu harus mengidolakan siapa. Karena itu, mereka ramai-ramai antre panjang dan berjam-jam hanya untuk mendapatkan tiket Lady Gaga, padahal sangat mahal.

Beberapa bulan ini Jakarta seolah menjadi pasar hiburan baru bagi para musisi asing untuk menaikkan jam terbangnya di industri musik. Sebenarnya, kualitas musiknya juga tidak amat-amat luar biasa, namun publik muda Indonesia banyak yang tergila-gila dengan budaya western atau luar negeri minded. Letak gengsinya bukan apa-apa, jangan-jangan hanya karena mereka berbahasa Inggris sementara kita tidak mampu melakukannya.

Masih banyak persoalan mendera pada bangsa ini dan lebih menyentuh kepada riil masyarakat langsung. Jangan habiskan energi hanya untuk mengurusi kehidupan jetset musisi yang menjadi fatamorgana bagi rakyat kebanyakan. Mereka bermimpi untuk popularitas sementara kita dalam keadaan terjaga, mengapa repot bersilang pendapat dengan Lady Gaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar