Selasa, 01 Mei 2012

Derita Buruh Tak Berujung



Siti Marwiyah, Dekan Fakultas Hukum Universitas Dr Soetomo Surabaya
dan pengurus Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi DPD
SUMBER : SUARA KARYA, 01 Mei 2012


Dalam Pasal 13 Deklarasi Organisasi Konferensi Islam (OKI), sebagai piagam hak asasi (HAM) orang Islam digariskan bahwa bekerja adalah hak yang dijamin oleh pemerintah dan masyarakat untuk setiap orang yang siap bekerja. Setiap orang harus bebas untuk memilih pekerjaan yang paling sesuai dan berguna bagi dirinya dan masyarakat. (Baharuddin Lopa, 1996).

Bunyi Piagam HAM itu jelas, bahwa bekerja merupakan hak setiap orang, yang harus dijamin, diakui, dan dilindungi oleh pemerintah atau negara. Perlakuan yang bercorak dehumanisasi atau merendahkan pekerja, jelas layak dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM.

Pengakuan hak pekerja secara universal tersebut, dalam kenyataannya tidak selalu manis. Banyak buruh di dunia ini dijadikan tumbal kebengisan atau kekejaman oleh majikan atau oknum tertentu di tempat kerjanya. Perusahaan yang seharusnya menjadi penegak hak asasi buruh, tidak sedikit yang justru menjadi "pemain" dan "arsitek" pelanggaran HAM.

Penderitaan buruh di tempat kerja atau yang berhubungan dengan pekerjaanya seperti suatu episode drama berkisah derita yang tidak kunjung sirna, atau tidak berujung. Dari satu peristiwa buruh atau pekerja yang bercorak memilukan, yang belum sempat mendapatkan respon maksimal dari pemerintah, menyusul kejadian memilukan yang berlangsung terus-menerus dengan menempatkan buruh sebagai korban.

Buruh seolah identik dengan keharusan menanggung derita. Kosakata seperti disetrika, diperkosa, dikucilkan, disiksa, atau dianiaya menjadi pembenar kisah-kisah buruh di dunia, khususnya di Indonesia yang buruhnya banyak di mancanegara. Oleh keluarga dan bangsa ini, mereka dipuja sebagai pahlawan "pengimpor" banyak uang. Akan tetapi, di balik itu mereka selalu lekat dengan penderitaan dan ketidakberdayaan.

Berdasarkan laporan Pemerintah Malaysia, saat ini terdapat 240 ribu pekerja perempuan di sektor rumah tangga di Malaysia. Dari jumlah tersebut, lebih dari 90 persen adalah orang Indonesia. Dalam hijrahnya ke Malaysia, penderitaan seolah tak berhenti menerpa mereka, mulai dari perlakuan tidak manusiawi dan pelecehan dari perusahaan jasa tenaga kerja beserta unsur-unsurnya, hingga kelambanan Pemerintah RI menangani persoalan mereka. Beban semakin berlipat, manakala mereka sampai di lokasi kerja. Tak jarang perempuan buruh migran Indonesia menderita karena dibatasi aktivitasnya, mengalami tindakan pemerkosaan, pelecehan fisik, psikologis, serta seksual. Bahkan, mereka dibatasi beribadah.

Adapun tindakan pelecehan hak-hak pekerja, antara lain, jam kerja yang sangat panjang tanpa uang lembur, tidak ada hari libur, serta pembayaran upah yang rendah dan molor. Dalam beberapa kasus, ada juga yang ditipu, dikurung di tempat kerja, tidak terima gaji sama sekali, dan bahkan dijebak dalam mafia perdagangan perempuan dan kerja paksa. (Alimin, 2009)

Kasus-kasus pelanggaran hak-hak buruh tersebut menggambarkan realitas keprihatinan yang sedang atau telah menimpa buruh. Para pejuang devisa di mancanegara itu tetap terus berusaha mencari dan membuktikan makna "hidup berkelayakan" yang dijanjikan atau ditulis dengan tinta emas dalam konstitusi. Bahwa, setiap warga negara berhak atas hidup layak dan berkemanusiaan.

Sayang sekali, amanat konstitusi itu tidak sungguh-sungguh dijadikan "ayat suci" oleh pemerintah (negara). Negara baru berjanji memberikan hidup berkelayakan pada rakyat (pekerja), dan belum membuktikan bagaimana seharusnya membuat rakyat bisa menikmati hidup berkelayakan. Masih banyaknya rakyat Indonesia yang hidup dalam balutan penderitaan atau ketidakmanusiawian di negara lain, adalah bukti konkrit bahwa elemen negara masih berpangku tangan dalam memperjuangkan hak-hak pekerja di negara lain.

Seharusnya pemerintah malu jika TKI yang bekerja di negara lain terus-menerus menjadi korban tangan-tangan keji majikan atau kebijakan korporasi yang mendehumanisasikan buruh. Pasalnya, pemerintah adalah "organisasi tertinggi" yang punya tangan raksasa dan wajib melindungi setiap warganya yang bekerja di negara lain. Para majikan tidak memandang sebelah mata pada pekerja Indonesia, kalau pemerintah selalu bersuara lantang dan berusaha maksimal memedulikan hak TKI. TKI tidak akan terus-menerus menjadi objek yang dilecehkan dan direndahkah martabatnya kalau pemerintah selalu berdiri di garis depan untuk menunjukkan pembelaan saat hak-hak TKI dilecehkan.

Penelitian Kuntjoro (2011) menunjukkan, bahwa mudahnya TKI dijadikan sasaran empuk oleh majikan yang bermental nakal dan keji, salah satu akar masalahnya adalah kurang adanya pencitraan yang dilakukan oleh negara kalau TKI adalah warga Indonesia yang bermartabat. Mudahnya TKI direndahkan oleh negara, pemilik modal asing, atau perusahaan di negara lain, akibat kurang seriusnya negara memanusiakan warganya di ranah global.

Itu menunjukkan bahwa TKI tidak akan menjadi warga yang bermartabat, dan bukan sebagai cermin bangsa kuli di negara lain, manakala setiap elemen negara khususnya kemenakertran, selalu berusaha melindungi mereka. Pihak yang merendahkan martabat atau memperlakukan TKI dengan cara melanggar hukum, akan dituntut oleh pemerintah secara yuridis dan dijadikan sebagai musuh bersama (common enemy) oleh bangsa Indonesia. Kalau politik ketenagakerjaan ini bisa ditunjukkan, maka posisi tawar TKI akan meningkat di mata penggunanya dan bangsa-bangsa lain.

Kalau politik tersebut tidak dijalankan oleh pemerintah, sementara cara lain yang memosisikan TKI lebih bermartabat juga tidak dilakukannya, maka tak perlu kaget nantinya akan semakin sering mencuat kasus bertajukkan dehumanisasi sistemik dan kian mengerikan terhadap TKI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar