Siti Marwiyah, Dekan Fakultas Hukum Universitas Dr Soetomo Surabaya
dan pengurus Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi DPD
dan pengurus Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi DPD
SUMBER
: SUARA KARYA, 01 Mei 2012
Dalam Pasal 13 Deklarasi Organisasi Konferensi Islam (OKI),
sebagai piagam hak asasi (HAM) orang Islam digariskan bahwa bekerja adalah hak
yang dijamin oleh pemerintah dan masyarakat untuk setiap orang yang siap
bekerja. Setiap orang harus bebas untuk memilih pekerjaan yang paling sesuai
dan berguna bagi dirinya dan masyarakat. (Baharuddin Lopa, 1996).
Bunyi Piagam HAM itu jelas, bahwa bekerja merupakan hak setiap
orang, yang harus dijamin, diakui, dan dilindungi oleh pemerintah atau negara.
Perlakuan yang bercorak dehumanisasi atau merendahkan pekerja, jelas layak
dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM.
Pengakuan hak pekerja secara universal tersebut, dalam
kenyataannya tidak selalu manis. Banyak buruh di dunia ini dijadikan tumbal
kebengisan atau kekejaman oleh majikan atau oknum tertentu di tempat kerjanya.
Perusahaan yang seharusnya menjadi penegak hak asasi buruh, tidak sedikit yang
justru menjadi "pemain" dan "arsitek" pelanggaran HAM.
Penderitaan buruh di tempat kerja atau yang berhubungan dengan
pekerjaanya seperti suatu episode drama berkisah derita yang tidak kunjung
sirna, atau tidak berujung. Dari satu peristiwa buruh atau pekerja yang
bercorak memilukan, yang belum sempat mendapatkan respon maksimal dari
pemerintah, menyusul kejadian memilukan yang berlangsung terus-menerus dengan
menempatkan buruh sebagai korban.
Buruh seolah identik dengan keharusan menanggung derita. Kosakata
seperti disetrika, diperkosa, dikucilkan, disiksa, atau dianiaya menjadi
pembenar kisah-kisah buruh di dunia, khususnya di Indonesia yang buruhnya
banyak di mancanegara. Oleh keluarga dan bangsa ini, mereka dipuja sebagai
pahlawan "pengimpor" banyak uang. Akan tetapi, di balik itu mereka
selalu lekat dengan penderitaan dan ketidakberdayaan.
Berdasarkan laporan Pemerintah Malaysia, saat ini terdapat 240
ribu pekerja perempuan di sektor rumah tangga di Malaysia. Dari jumlah
tersebut, lebih dari 90 persen adalah orang Indonesia. Dalam hijrahnya ke
Malaysia, penderitaan seolah tak berhenti menerpa mereka, mulai dari perlakuan
tidak manusiawi dan pelecehan dari perusahaan jasa tenaga kerja beserta
unsur-unsurnya, hingga kelambanan Pemerintah RI menangani persoalan mereka.
Beban semakin berlipat, manakala mereka sampai di lokasi kerja. Tak jarang
perempuan buruh migran Indonesia menderita karena dibatasi aktivitasnya,
mengalami tindakan pemerkosaan, pelecehan fisik, psikologis, serta seksual.
Bahkan, mereka dibatasi beribadah.
Adapun tindakan pelecehan hak-hak pekerja, antara lain, jam kerja
yang sangat panjang tanpa uang lembur, tidak ada hari libur, serta pembayaran
upah yang rendah dan molor. Dalam beberapa kasus, ada juga yang ditipu,
dikurung di tempat kerja, tidak terima gaji sama sekali, dan bahkan dijebak
dalam mafia perdagangan perempuan dan kerja paksa. (Alimin, 2009)
Kasus-kasus pelanggaran hak-hak buruh tersebut menggambarkan
realitas keprihatinan yang sedang atau telah menimpa buruh. Para pejuang devisa
di mancanegara itu tetap terus berusaha mencari dan membuktikan makna
"hidup berkelayakan" yang dijanjikan atau ditulis dengan tinta emas
dalam konstitusi. Bahwa, setiap warga negara berhak atas hidup layak dan
berkemanusiaan.
Sayang sekali, amanat konstitusi itu tidak sungguh-sungguh
dijadikan "ayat suci" oleh pemerintah (negara). Negara baru berjanji
memberikan hidup berkelayakan pada rakyat (pekerja), dan belum membuktikan
bagaimana seharusnya membuat rakyat bisa menikmati hidup berkelayakan. Masih
banyaknya rakyat Indonesia yang hidup dalam balutan penderitaan atau
ketidakmanusiawian di negara lain, adalah bukti konkrit bahwa elemen negara
masih berpangku tangan dalam memperjuangkan hak-hak pekerja di negara lain.
Seharusnya pemerintah malu jika TKI yang bekerja di negara lain
terus-menerus menjadi korban tangan-tangan keji majikan atau kebijakan
korporasi yang mendehumanisasikan buruh. Pasalnya, pemerintah adalah "organisasi
tertinggi" yang punya tangan raksasa dan wajib melindungi setiap warganya
yang bekerja di negara lain. Para majikan tidak memandang sebelah mata pada
pekerja Indonesia, kalau pemerintah selalu bersuara lantang dan berusaha
maksimal memedulikan hak TKI. TKI tidak akan terus-menerus menjadi objek yang
dilecehkan dan direndahkah martabatnya kalau pemerintah selalu berdiri di garis
depan untuk menunjukkan pembelaan saat hak-hak TKI dilecehkan.
Penelitian Kuntjoro (2011) menunjukkan, bahwa mudahnya TKI
dijadikan sasaran empuk oleh majikan yang bermental nakal dan keji, salah satu
akar masalahnya adalah kurang adanya pencitraan yang dilakukan oleh negara
kalau TKI adalah warga Indonesia yang bermartabat. Mudahnya TKI direndahkan
oleh negara, pemilik modal asing, atau perusahaan di negara lain, akibat kurang
seriusnya negara memanusiakan warganya di ranah global.
Itu menunjukkan bahwa TKI tidak akan menjadi warga yang
bermartabat, dan bukan sebagai cermin bangsa kuli di negara lain, manakala
setiap elemen negara khususnya kemenakertran, selalu berusaha melindungi
mereka. Pihak yang merendahkan martabat atau memperlakukan TKI dengan cara
melanggar hukum, akan dituntut oleh pemerintah secara yuridis dan dijadikan
sebagai musuh bersama (common enemy) oleh bangsa Indonesia. Kalau politik
ketenagakerjaan ini bisa ditunjukkan, maka posisi tawar TKI akan meningkat di
mata penggunanya dan bangsa-bangsa lain.
Kalau politik tersebut tidak dijalankan oleh pemerintah, sementara
cara lain yang memosisikan TKI lebih bermartabat juga tidak dilakukannya, maka
tak perlu kaget nantinya akan semakin sering mencuat kasus bertajukkan
dehumanisasi sistemik dan kian mengerikan terhadap TKI. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar