Buku Pelajaran Sekolah dan Muatan Lokal
Sofie Dewayani; Guru Menulis, Tinggal di Bandung
SUMBER : MEDIA
INDONESIA, 07 Mei 2012
KISAH Bang Maman dari Kali Pasir telah berhasil menarik buku
pelajaran sekolah dari sudut yang gelap ke panggung yang benderang. Banyak
kalangan menilai kisah tipikal lenong khas Betawi yang mengangkat intrik
kehidupan rumah tangga itu tak layak dikutip dalam buku pelajaran siswa kelas
dua sekolah dasar (SD). Berkat `Bang Maman', kelayakan dan kualitas buku
pelajaran dikritik dan diperbincangkan. Itu tentu merupakan hikmah tak terduga.
Selama ini, buku pelajaran sekolah cenderung terabaikan. Ia tak digarap dengan
serius dan tak dikemas secara atraktif seperti halnya buku komersial anak.
Padahal, buku pelajaran merupakan tulang punggung pengajaran di ruang kelas.
Menyoal Muatan Lokal
Kisah Bang Maman sebetulnya mengakomodasi upaya pemuatan
budaya lokal dalam buku pelajaran. Dalam sebuah era multikultural ketika
nilai-nilai budaya berkembang dengan dinamis dan bersengkarut, mendefinisikan
`budaya lokal' tentu bukanlah persoalan sederhana. Apalagi, ketika budaya
ditampilkan dengan tujuan didaktis. Terkait dengan pemaparan budaya Betawi
untuk anak, beberapa hal tersebut harus disepakati. Misalnya, nilai budaya mana
yang layak disajikan kepada anak dan masyarakat Betawi mana yang akan
ditampilkan? Banyak kalangan masyarakat Betawi tak sepakat dengan sikap Bang
Maman ketika dia meminta seorang gadis untuk mengaku sebagai istri simpanan
menantunya agar anaknya meminta cerai. Sejarawan dan tokoh masyarakat Betawi
bahkan menuduh kisah tersebut telah membunuh karakter masyara kat Betawi.
Itu membuktikan `muatan lokal' sering hanya dimaknai sebagai
kesenian daerah dalam bentuk literer. Dalam hal ini, seni yang diwakili kisah
Bang Maman adalah lenong Betawi. Padahal, budaya merangkum pengertian yang
lebih luas ketimbang seni yang statis dan sakral. Buku pelajaran seharusnya
mampu menyajikan nilai budaya yang dinamis, yang berubah sesuai dengan
perkembangan zaman. Ketika nilai budaya yang sudah usang-seperti stereotip
kehidupan -seperti stereo rumah tangga lam lenong Betawi--disajikan, tak
mengheran kan apabila anak meresponsnya dengan bertanya, “Apa artinya istri
simpanan?“ Fenomena sosial itu bukanlah konsep yang ramah anak dan seharusnya
tidak disajikan begitu saja.
Fungsi buku pelajaran seharusnya untuk mengemas konten materi sesuai dengan
pengetahuan latar atau background
knowledge anak.
Buku Sekolah Bukan Satu-Satunya
Kekhawatiran publik terhadap kualitas buku teks dan lembar
kerja siswa (LKS) dalam kurikulum pelajaran sekolah sekaligus membuktikan peran
dominan buku pelajaran pada pembelajaran di ruang kelas belum tergoyahkan. Itu
sesungguhnya fenomena yang menyedihkan. Dominasi buku pelajaran, yaitu buku
teks dan LKS, dalam implementasi kurikulum yang sentralistis merupakan salah
satu indikator kemunduran pendidikan di negara-negara berkembang. Lockheed dan
Verspoor menyebut itu sebagai textbooks phenomenon. Di saat menjadi tulang
punggung pembelajaran, kualitas dan kuantitas buku sekolah masih sangat
memprihatinkan.
Beberapa masalah klise antara lain penyebaran buku teks dan LKS masih tidak
merata dan tak terjangkau oleh banyak siswa di daerah. Selain itu, buku-buku
sekolah saat ini belum dicetak dalam format yang ramah anak.
Panduan Bank Dunia (1990) menyebutkan fungsi buku teks ialah
sebagai acuan pelaksanaan kurikulum di ruang kelas. Karena itu, buku teks perlu
memenuhi syarat kesesuaian pedagogis (pedagogically
sound), relevansi dengan konteks budaya (culturally relevant), dan kelayakan fisik (physically durable). Di samping itu, penulisan buku teks selayaknya
memenuhi kualifikasi kemampuan penulisan (writing
skill), profesional (professional
skill), dan pendidikan (pedagogical
skill). Pertimbangan holistis itu menunjukkan kesesuaian metode penyajian
materi dengan usia anak menjadi sama pentingnya dengan konten buku teks.
Perlu dicatat bahwa peran buku sekolah sebagai media
pembelajaran menjadi lengkap apabila didukung media embelajaran lain. Peran
media lain sa ngat lah penting apabila faktor kualitas dan kuantitas menjadi
kendala dalam penggunaan buku pelajaran. Misalnya, apabila buku teks yang
tersedia tidak memenuhi persyaratan holistis tadi, sekolah dan guru seharusnya
dapat, dan perlu, diberi kesempatan untuk mengakses buku bacaan fiksi dan
nonfiksi komersial (trade books) yang
diedarkan di luar sekolah.
Buku Komersial Dalam Kurikulum
Peran buku teks berkembang seiring dengan reformasi pendidikan.
Ketika pendidikan dituntut untuk melibatkan partisipasi aktif siswa, buku teks
pun perlu memberikan ruang bagi siswa untuk berpikir kritis dan kreatif.
Sayangnya, kurikulum baru yang bertujuan mendorong pendekatan desentralistis
dalam pendidikan belum diikuti reformasi buku teks pelajaran. Buku-buku teks
yang digunakan saat ini masih menuntut pemahaman siswa terhadap kuantitas
informasi yang tersaji dalam buku. Di sisi lain, keterbatasan pengalaman dan
waktu menyebabkan guru sering mengalami kesulitan untuk mengembangkan proses
pembelajaran aktif yang sesuai dengan muatan lokal. Akibatnya, perubahan yang
dicanangkan kurikulum baru ini menjadi tidak efektif.
Buku teks yang beredar saat ini FR pun tidak menarik karena
tidak memanfaatkan pengetahuan keseharian anak (background knowledge) dan tidak merangsang minat baca anak dengan
melibatkan elemen-elemen rekreatif bagi anak. Fenomena ini mengukuhkan stigma
bahwa belajar merupakan proses yang membosankan dan tidak kontekstual. Lain
halnya di negara-negara maju, pemanfaatan buku-buku fiksi di dalam kelas telah
lama dilakukan untuk mengembangkan kegiatan belajar yang menyenangkan (learning for pleasure). Kegiatan seperti
itu tentunya didukung ketersediaan bukubuku fiksi penunjang kurikulum yang
menyajikan materi pelajaran secara kreatif dan informatif.
Negara-negara berkembang seperti Indonesia masih mengalami
kesenjangan antara membaca untuk belajar (reading
for utilities) dan membaca rekreatif (reading
for enjoyment). Buku-buku fiksi berkembang sebagai bagian dari budaya
populer dan terpisahkan dari kurikulum sekolah. Penulisan buku fiksi dan
nonfiksi yang mendukung kurikulum dapat menjadi salah satu agenda reformasi
pendidikan. Pendidik perlu didukung dengan sarana pembelajaran seperti
buku-buku fiksi ataupun nonfiksi yang atraktif.
Kehadiran buku-buku pendukung
seperti ini tidak hanya berfungsi untuk melengkapi kekurangan buku teks, tetapi
juga sebagai sumber inspirasi metode pembelajaran kreatif. Salah satu dampak
negatif fenomena ketergantungan guru terhadap buku teks pelajaran ialah keterasingan
materi pelajaran dari realitas keseharian siswa.
Hal tersebut dapat dipahami, mengingat buku teks hanya
berperan sebagai salah satu sarana pembelajaran yang perlu dikemas dalam metode
pengajaran yang kontekstual dan menarik. Artikel koran, majalah, bahkan
fenomena sosial dan alam di sekitar anak dapat menjadi `bahan bacaan' yang
aktual dan menarik, tentunya, setelah diadaptasi agar sesuai dengan tingkat
pemahaman dan pengalaman keseharian siswa.
Siapakah agen perubahan?
Permasalahan buku sekolah ialah
salah satu simpul kompleksitas permasalahan pendidikan di Indonesia. Untuk
mengurai simpul itu, orang dewasa, yang notabene penyedia, dan produsen teks,
berperan penting. Guru, orangtua, dan penulis bacaan anak seharusnya mampu berperan
sebagai boundary breaker, yang
merombak dikotomi yang memisahkan bacaan rekreatif dari bacaan pedagogis.
Penulis buku komersial yang selama ini menaruh perhatian artistik buku melalui
kekuatan cerita, bahasa, dan desain visual selayaknya memikirkan cara untuk
berkontribusi melalui penulisan buku-buku pengayaan. Di sisi lain, guru dan
pendidik perlu meluaskan wawasan mereka terhadap buku-buku komersial untuk
menunjang rencana kegiatan harian mereka. Apabila perombakan dikotomi ini
sinergis dengan reformasi pendidikan yang mempromosikan kurikulum lebih ramping
sehingga memungkinkan pendidik untuk memanfaatkan beragam bahan ajar, itu tentu
lebih baik.
Yang juga tidak kalah penting ialah kebijakan tentang harga
buku. Meskipun Kemendikbud memiliki program e-book, ketika diakses dan dicetak,
selain memiliki tingkat kesulitan yang tidak sederhana, juga di beberapa daerah
biaya fotokopi cenderung lebih mahal. Harga buku fiksi seharusnya juga menjadi
prioritas utama Kemendikbud dalam rangka memberikan pengayaan bacaan kepada
para guru dan anak didik di sekolah. Kalau perlu, Kemendikbud sendiri yang
bernegosiasi dengan penerbit luar yang memiliki buku-buku berkualitas, untuk
dan dalam rangka memperoleh all rights
reserved dari setiap buku bagus guna diterjemahkan dan dicetak sekaligus. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar