Jumat, 11 Mei 2012

Budaya Memediasikan Sengketa


Budaya Memediasikan Sengketa
Sunardi Djoko S; Wakil Direktur RSUD Kota Semarang 
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 11 Mei 2012


ADA pitutur kuno yang seperti kembali diingatkan oleh Prof Yoshiro Kusano dari Gakushuin University Tokyo. Ketika bersama delegasi Departemen Kehakiman Jepang studi banding soal penyiapan draf peraturan di Mahkamah Agung belum lama ini, ia mengucap wa wo motte totoshi to natsu yang artinya keharmonisan atau perdamaian adalah sesuatu yang paling berharga.

Memang, tidak ada satu pun manusia yang tidak mendambakan keharmonisan atau kehidupan yang rukun dan damai, saling memahami. Namun dalam realitas kehidupan, persengketaan itu mudah terjadi karena adanya perbedaan kepentingan, nilai-nilai, budaya, ideologi, atau perbedaan persepsi yang lazim dinamakan ketidaksepahaman.

Bagi orang bijak, persengketaan yang tidak dikehendaki itu mudah dikelola dan diselesaikan melalui beragam langkah, salah satunya mediasi. Di Indonesia, mediasi baru diperkenalkan kepada mahasiswa fakultas hukum tiga dasa warsa terakhir ini. Sebelum dan sesudah era kemerdekaan, pendidikan tinggi hukum lebih akrab dengan istilah arbitrase, sebagai salah satu penyelesaian sengketa perdata atau sengketa dagang, sebagaimana diatur dalam Pasal 615 hingga 651 Reglement op de Rechtsvordering (Staatsblad 1847;52 jo 1849-63 )

Sampai saat ini, banyak anggota masyarakat beranggapan penyelesaian sengketa yang paling efektif adalah lewat pengadilan, yang dikenal dengan litigasi. Padahal penyelesaian melalui litigasi mengondisikan para pihak yang bersengketa saling berhadapan sebagai lawan, dan selalu berakhir pada kondisi psikologis menang atau kalah, dengan pengorbanan waktu dan biaya tidak sedikit.

Kemeluasan praktik advokat membuat penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat menjadi tidak lagi menarik. Masyarakat, bahkan hingga pelosok desa lebih mengenal keberadaan dan memercayai profesi advokat ketimbang mediator. Faktanya, sebagian besar advokat Indonesia lebih berorientasi pada litigasi.
Hakim agung Mahkamah Agung Prof Dr Takdir Rahmadi SH LLM punya dalil mengenai hal itu. Dia berpendapat kondisi itu tak dapat dipisahkan dari kurikulum pendidikan hukum kita sejak zaman penjajahan yang cenderung menggiring lulusan untuk melihat peradilan sebagai upaya memutus sebagai satu-satunya cara penyelesaian sengketa.

Hubungan Baik

Beberapa tahun belakangan ini, sejumlah fakultas hukum di Indonesia menawarkan mata kuliah pilihan penyelesaian sengketa, antara lain mencakup negosiasi dan mediasi yang mendasarkan pada pendekatan konsensus dalam penyelesaian sengketa.

Di Jepang, Filipina, Australia, dan Singapura, keberhasilan penggunaan cara mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa menampilkan perkembangan menggembirakan, bahkan bisa menekan tumpukan perkara. Di Indonesia, penetapan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan diharapkan menjadi angin segar dan bisa memotivasi masyarakat untuk lebih memilih mediasi ketimbang litigasi yang dapat memperberat beban pengadilan.

Apabila menggali lebih dalam, kita bisa memetik banyak kemanfaatan lain, termasuk tetap terpeliharanya hubungan baik di antara para pihak yang bersengketa karena merasa puas dengan konsensus perdamaian yang lebih mendasarkan pada saling pengertian dan memaafkan selaras dengan firman Allah yang transkripnya, ”Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (AI-Hujurat : 10).

Senapas dengannya, adalah pepatah leluhur luwih becik kelangan satak tinimbang kelangan sanak: lebih baik kehilangan sedikit materi ketimbang kehilangan saudara atau famili. Membudayakan mediasi sebagai solusi saat terjadi persengketaan juga merupakan pengamalan sila keempat Pancasila, yang selalu mengedepankan musyawarah mufakat dalam rangka mewujudkan keseimbangan kebahagiaan di dunia dan akhirat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar