“Language Games”
Pemimpin
Toto Suparto; Pengkaji Masalah
Etika, Tinggal di Yogyakarta
SUMBER : SUARA
MERDEKA, 11 Mei 2012
MASYARAKAT Jawa punya tolok
ukur mengenai pemimpin yang patut dihormati, di antaranya selalu menjunjung
tinggi peribahasa ajining dhiri ana lathi:
harga diri seseorang terletak pada ucapannya. Kita bisa menilai pemimpin dari
ucapannya di hadapan publik. Apakah pernyataannya itu menuai persoalan bagi
dirinya, merugikan, atau menyakitkan pihak lain?
Saya ingin menggandeng kearifan Jawa itu pada realitas belakangan ini, terkait sejumlah pemimpin yang tak lagi berpegang pada ajining dhiri ana lathi. Ada contoh yang kini hangat diperbincangkan. Misalnya, Ketua DPR Marzuki Alie yang lagi-lagi keceplosan omong sehingga mengundang reaksi dari alumni Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan aktivis Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Ajining diri ana lathi merupakan ajaran terkait etika berbahasa. Dasar dari etika ini, kita bisa mengacu kepada filsafat barat, antara lain language games. Istilah ini dikemukakan filsuf Ludwig Wittgenstein, yang menyatakan bahasa merupakan bagian dari suatu kegiatan atau bentuk kehidupan. Layaknya sebuah permainan maka penggunaannya pun mengikuti suatu aturan, dan penggunaan bahasa tak bisa sebebas-bebasnya tanpa aturan.
Kita tak bisa mencampuradukkan penggunaan bahasa untuk kepentingan ilmiah dengan kondisi santai. Bahasa kritik tak bisa disamakan dengan bahasa kekesalan, apalagi sentimen. Bisa muncul kekacauan jika kita menerapkan aturan permainan bahasa yang satu ke dalam bentuk permainan lainnya. Dalam konteks ini, mustahil menentukan aturan permainan bahasa yang bersifat umum, artinya bisa berlaku untuk berbagai konteks kehidupan manusia.
Atas dasar itulah, politikus yang beretika pasti mengerti aturan permainan berbahasa. Kapan berbahasa secara rasional, kapan pula menghindari kesan asal bunyi. Kata Wittgenstein, bahasa asal bunyi itu ibarat orang memanjat melalui tangga dan setelah sampai tujuan maka tangga itu dibuangnya, atau dengan kalimat lain ”tanpa makna”.
Hakikat Bahasa
Dari paparan itu, tentu menjadi dasar perdebatan bila dalam forum ilmiah ada orang menyampaikan fakta tanpa didukung data akurat. Apalagi yang menyampaikannya Ketua DPR, sang pemimpin yang seharusnya memberikan teladan. Risiko menjadi pemimpin adalah segala ucapan dan tindak-tanduknya menjadi perhatian publik. Sang pemimpin tak bisa lagi berkata sekenanya tanpa didasari language games yang dimaksud.
Kita dapat membaca pikiran seseorang lewat bahasa. Kita pun bisa melihat cara seseorang berekspresi dari bahasa. Inilah yang terkait dengan hakikat bahasa. Sebagaimana dikemukakan oleh sejumlah filsuf bahwa bahasa mengungkapkan pikiran manusia, dan juga bentuk empirik yang merupakan sarana ekspresi manusia. Bahasa adalah realitas yang tak terpisahkan dari pengalaman hidup, pemahaman, dan pikiran.
Lebih dari itu, kita bisa membaca karakter politikus dengan mendengarkan cara mereka berbahasa. Ada yang meledak-ledak penuh serangan. Jangan-jangan ia seorang pendendam. Maunya terus-menerus menyudutkan lawan politiknya melalui bahasa vulgar sehingga terdengar kasar. Sebaliknya, ada yang terkesan hati-hati sehingga yang terdengar datar-datar saja. Biasanya bahasa semacam ini milik orang yang penuh pertimbangan.
Saya ingin menggandeng kearifan Jawa itu pada realitas belakangan ini, terkait sejumlah pemimpin yang tak lagi berpegang pada ajining dhiri ana lathi. Ada contoh yang kini hangat diperbincangkan. Misalnya, Ketua DPR Marzuki Alie yang lagi-lagi keceplosan omong sehingga mengundang reaksi dari alumni Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan aktivis Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Ajining diri ana lathi merupakan ajaran terkait etika berbahasa. Dasar dari etika ini, kita bisa mengacu kepada filsafat barat, antara lain language games. Istilah ini dikemukakan filsuf Ludwig Wittgenstein, yang menyatakan bahasa merupakan bagian dari suatu kegiatan atau bentuk kehidupan. Layaknya sebuah permainan maka penggunaannya pun mengikuti suatu aturan, dan penggunaan bahasa tak bisa sebebas-bebasnya tanpa aturan.
Kita tak bisa mencampuradukkan penggunaan bahasa untuk kepentingan ilmiah dengan kondisi santai. Bahasa kritik tak bisa disamakan dengan bahasa kekesalan, apalagi sentimen. Bisa muncul kekacauan jika kita menerapkan aturan permainan bahasa yang satu ke dalam bentuk permainan lainnya. Dalam konteks ini, mustahil menentukan aturan permainan bahasa yang bersifat umum, artinya bisa berlaku untuk berbagai konteks kehidupan manusia.
Atas dasar itulah, politikus yang beretika pasti mengerti aturan permainan berbahasa. Kapan berbahasa secara rasional, kapan pula menghindari kesan asal bunyi. Kata Wittgenstein, bahasa asal bunyi itu ibarat orang memanjat melalui tangga dan setelah sampai tujuan maka tangga itu dibuangnya, atau dengan kalimat lain ”tanpa makna”.
Hakikat Bahasa
Dari paparan itu, tentu menjadi dasar perdebatan bila dalam forum ilmiah ada orang menyampaikan fakta tanpa didukung data akurat. Apalagi yang menyampaikannya Ketua DPR, sang pemimpin yang seharusnya memberikan teladan. Risiko menjadi pemimpin adalah segala ucapan dan tindak-tanduknya menjadi perhatian publik. Sang pemimpin tak bisa lagi berkata sekenanya tanpa didasari language games yang dimaksud.
Kita dapat membaca pikiran seseorang lewat bahasa. Kita pun bisa melihat cara seseorang berekspresi dari bahasa. Inilah yang terkait dengan hakikat bahasa. Sebagaimana dikemukakan oleh sejumlah filsuf bahwa bahasa mengungkapkan pikiran manusia, dan juga bentuk empirik yang merupakan sarana ekspresi manusia. Bahasa adalah realitas yang tak terpisahkan dari pengalaman hidup, pemahaman, dan pikiran.
Lebih dari itu, kita bisa membaca karakter politikus dengan mendengarkan cara mereka berbahasa. Ada yang meledak-ledak penuh serangan. Jangan-jangan ia seorang pendendam. Maunya terus-menerus menyudutkan lawan politiknya melalui bahasa vulgar sehingga terdengar kasar. Sebaliknya, ada yang terkesan hati-hati sehingga yang terdengar datar-datar saja. Biasanya bahasa semacam ini milik orang yang penuh pertimbangan.
Jadi, kini kian
terang-benderang, manakala mengabaikan etika bahasa begitu saja maka sang
politikus dengan mudah juga menafikan etika politik. Karena itu, tak perlu
kaget bilamana politik di negeri ini menjadi makin karut-marut tidak
bermartabat. Dari cara berbahasanya pun sudah kelihatan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar