Ancaman
Keberlanjutan Lahan Pangan Kita
Andi Irawan; Peminat Telaah Ekonomi Politik Pertanian Indonesia
SUMBER : KORAN
TEMPO, 10 Mei 2012
Menurut
Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, sedikitnya 300 ribu hektare lahan pertanian
lestari di Jawa Tengah dalam lima tahun terakhir hilang akibat dikonversikan
untuk permukiman dan industri. Bibit mengatakan total luas lahan lestari yang
sebelumnya 2 juta ha kini tersisa 1,7 juta ha (Kompas, 2 Mei 2012).
Sesungguhnya
fenomena konversi lahan tersebut bukanlah fenomena khusus Jawa Tengah atau Jawa
saja, tapi sudah merupakan fenomena nasional. Hanya, memang untuk Jawa, laju
konversi ini yang terbesar. Sepanjang 1979-1999 telah terjadi konversi lahan
seluas 2.917.737,5 ha dengan 84 persen lahan yang terkonversi berada di Pulau
Jawa.
Pada
periode 1999-2002, terjadi konversi lahan rata-rata 110 ribu ha per tahun.
Adapun hasil audit lahan 2010 yang dilakukan Kementerian Pertanian dan Badan
Pusat Statistik menunjukkan konversi lahan selama 2008-2010 di Pulau Jawa
adalah 600 ribu ha atau 200 ribu ha per tahun.
Pemerintah
dan Dewan Perwakilan Rakyat memang telah meratifikasi Undang Undang Nomor 41
Tahun 2009 dalam rangka melindungi ketersediaan lahan bagi pertanian pangan
secara berkelanjutan, tapi tampaknya belum mampu menghambat terjadinya konversi
lahan pertanian. Payung hukum seperti Undang-Undang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan menjadi tidak bermakna ketika nilai rente tanah
pada kenyataannya tetap diserahkan pada mekanisme pasar. Para pelaku pasar
berpikir keuntungan dalam perspektif myopic
dan personal. Dengan pola pandang yang sedemikian, penggunaan lahan pasti
ditujukan untuk kegiatan ekonomi yang memberikan return yang tertinggi. Dengan
demikian, hampir dapat dipastikan lahan-lahan Jawa dan luar Jawa yang subur
dalam benak para pelaku pasar akan jauh profitable jika ”ditanami” pabrik, real estate, atau aktivitas industri
lainnya dibanding ditanam tanaman pangan.
Di
sisi lain, pemerintah daerah pun punya kepentingan ekonomi terhadap konversi
lahan pertanian ini. Pertama, Pendapatan Asli Daerah yang diterima pemerintah
daerah jauh lebih besar jika lahan sebagai salah satu resource penting daerah ditujukan untuk kepentingan industri dan
jasa. Kedua, begitu juga daya serap lahan terhadap tenaga kerja jauh lebih
besar diberikan oleh sektor industri, terlebih jika industri itu adalah
industri padat karya. Bisa Anda bayangkan, jika di lahan seluas 1 hektare
dibangun industri garmen, tentulah mampu menyerap tenaga kerja puluhan kali
lebih besar dibanding jika dialokasikan untuk tanaman pangan.
Permasalahan
ekonomi petani pun ikut mengakselerasi konversi lahan tersebut.
Peningkatan biaya hidup dan keperluan tersier yang sulit dielakkan merupakan faktor yang menyebabkan petani melepaskan hak milik atas garapannya. Nilai tukar hasil-hasil pertanian terhadap barang-barang non-pertanian, termasuk sarana produksi pertanian, secara nyata telah melemahkan daya beli petani.
Peningkatan biaya hidup dan keperluan tersier yang sulit dielakkan merupakan faktor yang menyebabkan petani melepaskan hak milik atas garapannya. Nilai tukar hasil-hasil pertanian terhadap barang-barang non-pertanian, termasuk sarana produksi pertanian, secara nyata telah melemahkan daya beli petani.
Hasil
pertanian dalam luasan sempit yang pada umumnya dimiliki petani kita tidak
dapat diandalkan untuk membeli barang-barang non-pertanian tersebut. Akibatnya,
sebagian atau bahkan seluruh lahan garapan itu mereka jual secara bertahap.
Dengan
demikian, setidaknya terdapat tiga syarat yang harus dihadirkan untuk mencegah
alih fungsi lahan ini. Pertama, imunitas elite pemerintah terhadap virus
perburuan rente dari konversi lahan ini. Para pengusaha dengan pertimbangan
maksimisasi profit tentu tidak segan mengeluarkan transaction cost yang tinggi kepada elite pemerintah, baik di pusat
maupun di daerah, agar satu kawasan pertanian yang potensial di satu daerah
bisa mereka alih fungsikan sesuai dengan kepentingan bisnis mereka. Ketika
elite pemerintah tidak memiliki pertahanan prima terhadap godaan perburuan
rente, dapat dipastikan undang-undang tersebut akan bernasib sama dengan semua
perundangundangan dan peraturan pencegahan alih fungsi lahan yang pernah hadir
sebelumnya, yakni tidak lebih hanya akan menjadi macan kertas.
Kedua,
pemerintah pusat perlu memberikan insentif dan kompensasi kepada pemerintah
daerah yang serius menjaga kelestarian lahan pertanian pangan mereka. Insentif
itu bisa dalam bentuk alokasi anggaran insentif menjaga kelestarian pangan dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, seperti pemberian Dana Alokasi Khusus
kepada pemda-pemda tersebut atau insentif fiskal lainnya. Insentif ini
diharapkan mampu memotivasi pemda setempat agar lebih proaktif dalam penegakan
hukum untuk pencegahan berlanjutnya alih fungsi lahan pertanian.
Ketiga,
kebijakan yang berorientasi agar komoditas tanaman pangan mampu memberikan
pendapatan yang memadai kepada petani harus selalu hadir. Diharapkan kebijakan
itu dapat mencegah para petani menjual aset ekonomi mereka (lahan), sehingga
alih fungsi lahan dapat pula dicegah. Kebijakan harga pembelian pemerintah yang
efektif dan penerapan tarif impor perlu dilakukan secara simultan. Permisivitas
terhadap impor produk-produk pangan berkontribusi langsung terhadap hilangnya
insentif petani untuk melanjutkan kegiatan ekonomi di subsektor tanaman pangan
ini dan memacu mereka menjual lahan pertanian pangan mereka untuk biaya pindah
ke kota atau modal ekonomi sektor informal lainnya.
Di
samping itu, introduksi agroindustri pedesaan juga perlu segera dilakukan.
Karena agroindustri dikembangkan di kotakota, nilai tambah hasil pertanian akan
dipetik penduduk kota. Padahal penduduk desa yang pada umumnya petani tersebut
sangat membutuhkan peningkatan pendapatan. Tanpa adanya sumber pendapatan baru
dan ditambah pula dengan semakin bertambahnya penduduk, maka akan terjadi
akselerasi urbanisasi ke kota untuk bekerja di sektor informal. Dan biasanya
lahan pertanian yang mereka miliki akan dijual untuk memodali kepindahan mereka
ke kota dan bekerja di sana. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar