Jumat, 11 Mei 2012

Ancaman Keberlanjutan Lahan Pangan Kita


Ancaman Keberlanjutan Lahan Pangan Kita
Andi Irawan; Peminat Telaah Ekonomi Politik Pertanian Indonesia
SUMBER :  KORAN TEMPO, 10 Mei 2012


Menurut Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, sedikitnya 300 ribu hektare lahan pertanian lestari di Jawa Tengah dalam lima tahun terakhir hilang akibat dikonversikan untuk permukiman dan industri. Bibit mengatakan total luas lahan lestari yang sebelumnya 2 juta ha kini tersisa 1,7 juta ha (Kompas, 2 Mei 2012).

Sesungguhnya fenomena konversi lahan tersebut bukanlah fenomena khusus Jawa Tengah atau Jawa saja, tapi sudah merupakan fenomena nasional. Hanya, memang untuk Jawa, laju konversi ini yang terbesar. Sepanjang 1979-1999 telah terjadi konversi lahan seluas 2.917.737,5 ha dengan 84 persen lahan yang terkonversi berada di Pulau Jawa.
Pada periode 1999-2002, terjadi konversi lahan rata-rata 110 ribu ha per tahun. Adapun hasil audit lahan 2010 yang dilakukan Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik menunjukkan konversi lahan selama 2008-2010 di Pulau Jawa adalah 600 ribu ha atau 200 ribu ha per tahun.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat memang telah meratifikasi Undang Undang Nomor 41 Tahun 2009 dalam rangka melindungi ketersediaan lahan bagi pertanian pangan secara berkelanjutan, tapi tampaknya belum mampu menghambat terjadinya konversi lahan pertanian. Payung hukum seperti Undang-Undang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan menjadi tidak bermakna ketika nilai rente tanah pada kenyataannya tetap diserahkan pada mekanisme pasar. Para pelaku pasar berpikir keuntungan dalam perspektif myopic dan personal. Dengan pola pandang yang sedemikian, penggunaan lahan pasti ditujukan untuk kegiatan ekonomi yang memberikan return yang tertinggi. Dengan demikian, hampir dapat dipastikan lahan-lahan Jawa dan luar Jawa yang subur dalam benak para pelaku pasar akan jauh profitable jika ”ditanami” pabrik, real estate, atau aktivitas industri lainnya dibanding ditanam tanaman pangan.

Di sisi lain, pemerintah daerah pun punya kepentingan ekonomi terhadap konversi lahan pertanian ini. Pertama, Pendapatan Asli Daerah yang diterima pemerintah daerah jauh lebih besar jika lahan sebagai salah satu resource penting daerah ditujukan untuk kepentingan industri dan jasa. Kedua, begitu juga daya serap lahan terhadap tenaga kerja jauh lebih besar diberikan oleh sektor industri, terlebih jika industri itu adalah industri padat karya. Bisa Anda bayangkan, jika di lahan seluas 1 hektare dibangun industri garmen, tentulah mampu menyerap tenaga kerja puluhan kali lebih besar dibanding jika dialokasikan untuk tanaman pangan.

Permasalahan ekonomi petani pun ikut mengakselerasi konversi lahan tersebut.
Peningkatan biaya hidup dan keperluan tersier yang sulit dielakkan merupakan faktor yang menyebabkan petani melepaskan hak milik atas garapannya. Nilai tukar hasil-hasil pertanian terhadap barang-barang non-pertanian, termasuk sarana produksi pertanian, secara nyata telah melemahkan daya beli petani.

Hasil pertanian dalam luasan sempit yang pada umumnya dimiliki petani kita tidak dapat diandalkan untuk membeli barang-barang non-pertanian tersebut. Akibatnya, sebagian atau bahkan seluruh lahan garapan itu mereka jual secara bertahap.

Dengan demikian, setidaknya terdapat tiga syarat yang harus dihadirkan untuk mencegah alih fungsi lahan ini. Pertama, imunitas elite pemerintah terhadap virus perburuan rente dari konversi lahan ini. Para pengusaha dengan pertimbangan maksimisasi profit tentu tidak segan mengeluarkan transaction cost yang tinggi kepada elite pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, agar satu kawasan pertanian yang potensial di satu daerah bisa mereka alih fungsikan sesuai dengan kepentingan bisnis mereka. Ketika elite pemerintah tidak memiliki pertahanan prima terhadap godaan perburuan rente, dapat dipastikan undang-undang tersebut akan bernasib sama dengan semua perundangundangan dan peraturan pencegahan alih fungsi lahan yang pernah hadir sebelumnya, yakni tidak lebih hanya akan menjadi macan kertas.

Kedua, pemerintah pusat perlu memberikan insentif dan kompensasi kepada pemerintah daerah yang serius menjaga kelestarian lahan pertanian pangan mereka. Insentif itu bisa dalam bentuk alokasi anggaran insentif menjaga kelestarian pangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, seperti pemberian Dana Alokasi Khusus kepada pemda-pemda tersebut atau insentif fiskal lainnya. Insentif ini diharapkan mampu memotivasi pemda setempat agar lebih proaktif dalam penegakan hukum untuk pencegahan berlanjutnya alih fungsi lahan pertanian.

Ketiga, kebijakan yang berorientasi agar komoditas tanaman pangan mampu memberikan pendapatan yang memadai kepada petani harus selalu hadir. Diharapkan kebijakan itu dapat mencegah para petani menjual aset ekonomi mereka (lahan), sehingga alih fungsi lahan dapat pula dicegah. Kebijakan harga pembelian pemerintah yang efektif dan penerapan tarif impor perlu dilakukan secara simultan. Permisivitas terhadap impor produk-produk pangan berkontribusi langsung terhadap hilangnya insentif petani untuk melanjutkan kegiatan ekonomi di subsektor tanaman pangan ini dan memacu mereka menjual lahan pertanian pangan mereka untuk biaya pindah ke kota atau modal ekonomi sektor informal lainnya.

Di samping itu, introduksi agroindustri pedesaan juga perlu segera dilakukan. Karena agroindustri dikembangkan di kotakota, nilai tambah hasil pertanian akan dipetik penduduk kota. Padahal penduduk desa yang pada umumnya petani tersebut sangat membutuhkan peningkatan pendapatan. Tanpa adanya sumber pendapatan baru dan ditambah pula dengan semakin bertambahnya penduduk, maka akan terjadi akselerasi urbanisasi ke kota untuk bekerja di sektor informal. Dan biasanya lahan pertanian yang mereka miliki akan dijual untuk memodali kepindahan mereka ke kota dan bekerja di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar