Jumat, 11 Mei 2012

Batas Monopoli Rudapaksa


Batas Monopoli Rudapaksa
Budiarto Danujaya ;  Pengajar Filsafat Politik FIB UI
SUMBER :  KOMPAS, 11 Mei 2012


Pemeliharaan keamanan, ketertiban, dan ketenteraman warga merupakan salah satu peran paling pokok dari negara. Bahkan, dalam doktrin mengenai peran negara yang paling minimum sekalipun, memelihara keamanan, ketertiban, dan ketenteraman warga tetap merupakan kewenangan sekaligus kewajiban negara yang paling tak tertampikan.
Dalam konteks itulah, terungkapnya berbagai peristiwa kekerasan menyangkut aparat keamanan yang tak terkendali belakangan ini sungguh menggusarkan hati. Persoalannya, seharusnya merekalah perwujudan kehadiran negara sebagai pemangku wajib peran pemeliharaan keamanan warga tersebut.

Kegusaran ini bukan cuma dilatari kekecewaan akan ”ketidakhadiran” negara sebagai pemangku keamanan warga ketika dibutuhkan. Kekhawatiran itu terlebih lantaran ”kehadiran” negara sebagai pemangku monopoli koersi—pemegang kuasa rudapaksa absah di ranah publik—lewat para aparatnya mempertontonkan ketidaksanggupan mengendalikan pemakaiannya secara bertanggung jawab.

Lewat berbagai peristiwa sebulan belakangan ini, mereka justru tercatat memakai kewenangan koersifnya itu dengan sewenang-wenang. Mereka bergerombol menyalahgunakannya untuk main hakim sendiri terhadap warga sipil yang didakwa mencelakakan sejawatnya atau sekadar menggusarkan mereka. Mereka juga serampangan menggunakan kekerasan untuk bertikai sesama mereka sebagai para pemegang kewenangan eksklusif itu.

Gamblangnya, mereka bukan menggunakannya dalam rangka keterpaksaan untuk mengatasi masalah keamanan warga laik fitrahnya sebagai pemegang monopoli koersi. Mereka justru ikut merusuhkan keamanan, ketertiban, dan ketenteraman warga.

Reformasi Elitis

Seturut itulah, pengungkapan kasus pertikaian antara para anggota Brimob dan Infanteri di Gorontalo, empat oknum Arhanud sehubungan kekerasan geng bermotor di Jakarta, sembilan polisi yang memukuli juru parkir di Hotel Peninsula Manado, serta video koboi Palmerah yang beredar luas di internet baru-baru ini jelas menerbitkan ambivalensi. Sekaligus menerbitkan kegembiraan dan kegundahan.

Sudah terlalu banyak peristiwa kekerasan yang melibatkan aparat keamanan berakhir dengan kekaburan. Umumnya, anatominya bermula dengan penanganan yang tidak transparan, pengungkapan yang mengambang, dan—setelah sejumlah gosip menakutkan—biasanya lalu begitu saja dilupakan. Karena itu, pengungkapan transparan—terutama penangkapan cepat dan gamblang—tersebut tentu bisa kita apresiasi sebagai kabar gembira.

Betapapun, sebaliknya, sungguh menimbulkan perasaan bercampur aduk menyadari bahwa para pelaku kesewenangan itu justru aparat keamanan. Sungguh miris menyadari sebagian pelaku pengobrak-abrikan, pembacokan, dan pembunuhan di jalan raya Ibu Kota itu ternyata bahkan dari kalangan militer. Sungguh tambah mengerikan ketika kita mengetahui betapa gerombolan besar pengayun samurai dan pentungan yang mengamuk ke sana kemari itu, seperti kita saksikan lewat tayangan berulang stasiun televisi, ternyata justru para pemangku keamanan kita.

Sungguh ironis mereka memukuli bahkan mengayunkan benda-benda menakutkan itu kepada warga sipil. Pihak yang secara konstitusional merupakan pemberi mandat agar mereka boleh memakai kewenangan koersif guna memaksimalkan pemeliharaan keamanan dan ketenteraman bersama. Akan tetapi, sebaliknya, pengungkapan dan penangkapan itu juga bisa dianggap kabar yang menakutkan.

Pengungkapan dan penangkapan ini boleh jadi memperlihatkan perubahan paradigma TNI dan Polri dalam mendekati persoalan keamanan, ketertiban, dan ketenteraman. Setidaknya memperlihatkan kehendak untuk lebih transparan dalam mempertanggungjawabkan monopoli koersif mereka. Memang, kita juga menyaksikan jejak reformasi TNI dan Polri tersebut lewat berbagai perubahan struktural dan fungsional yang lebih sistemis.

Betapapun, masih banyaknya masalah kekerasan eksesif pada tingkat operasional sehari-hari memperlihatkan jangan-jangan reformasi tersebut masih elitis. Masih butuh reformasi lanjut agar paradigma koersi yang lebih transparan dan bertanggung jawab ini merembes secara kultural menjadi budaya operasional segenap prajurit dan polisi di lapangan.

Kuasa Koersif Terkendali

Rangkaian peristiwa ini sungguh menerbitkan ironi berganda. Di tengah banyaknya kecaman akan ketidakhadiran negara dalam berbagai peristiwa kekerasan di negeri ini, ternyata ketika kehadirannya tercatat malah terbukti menerbitkan kecemasan tersendiri.

Dalam doktrin peran negara paling minimum sekalipun, negara tetap satu-satunya entitas politik yang berkewenangan sekaligus berkewajiban mengamankan pemenuhan hak-hak asasi warganya. Katakanlah dalam kerangka doktrin negara sebagai ”penjaga malam” dari John Locke yang sengaja meminimalisasi peran negara hanya sebatas ketika masyarakat (ibarat sedang tidur) sama sekali tak mungkin menjalankan perannya sendiri sekalipun.

Oleh karena itu, menilik keamanan dan ketenteraman bersifat eksistensial bagi kehidupan manusia, bahkan sejak generasi HAM pertama sekalipun telah diratifikasi sebagai hak-hak asasi manusia yang paling dasar. Seturut itu, gamblanglah keniscayaan peran negara dalam berkewenangan sekaligus berkewajiban memelihara keamanan, ketertiban, dan ketenteraman segenap warganya.

Sementara itu, di sisi lain, watak hakiki kuasa politik adalah distribusi kuasa yang bersifat otoritatif. Artinya, sebuah kuasa politik bukan hanya mengandaikan pembagian dan penyaluran kewenangan, tindak-tindak kuasa tersebut juga bersifat absah secara hukum. Jadi, kegiatan distribusi kuasa dari negara punya kekuatan legal formal dalam memaksakan penerapannya kepada siapa pun dan atas apa pun yang berada dalam daulat wilayah tertentunya; jika terpaksa dan diperlukan, bahkan boleh lewat rudapaksa.

Seturut itulah, negara sebagai perwujudan daulat kuasa ini lalu memiliki monopoli koersi hanya dalam kerangka menunjang penyelenggaraan kegiatan kuasanya itu. Dalam kerangka inilah, kuasa koersif semestinya hanya—dan semata-mata harus hanya!—diejawantahkan dalam kerangka kepentingan menjaga kelancaran penyelenggaraan negara sebagai perwujudan kepentingan bersama segenap masyarakat sebagai bangsa.

Dalam konteks inilah kita berbicara mengenai batas konstitusional atas monopoli koersi dari negara. Gamblangnya, perangkat kewenangan yang disadari sangat rawan ekses karena mengabsahkan penggunaan tindak kekerasan terhadap para warganya sendiri itu hanya menjadi legal lewat legitimasi fungsionalnya: memelihara penyelenggaraan kepentingan bersama. Inilah lingkup sekaligus limit monopoli koersi dari negara itu.

Pembatasan konstitusional atas penggunaan kuasa koersif merupakan contoh paling niscaya akan kewenangan, tetapi sekaligus kewajiban negara menggunakan kuasa otoritatifnya secara terkendali, transparan, dan bertanggung jawab. Monopoli koersi, laiknya kuasa politik negara lebih menyeluruh, harus senantiasa dikoridori dengan kepentingan bersama kita sebagai bangsa; dalam hal ini memelihara keamanan, ketertiban, dan ketenteraman bersama segenap warga.

Dengan begitu, penerimaan atas monopoli kuasa rudapaksa haruslah senantiasa dibarengi dengan pengakuan atas limit dari legitimasi fungsionalnya. Monopoli koersi harus senantiasa diejawantahkan dalam kerangka tanggung jawab terhadap pemenuhan kemaslahatan bersama segenap warga. Dengan kata lain, tidak selayaknya monopoli koersi secara ugal-ugalan dipakai untuk menang-menangan—baik secara perorangan atau kelompoknya sendiri—semacam itu.

Monopoli koersi bukan hanya merupakan penanda kewenangan, melainkan juga kewajiban negara lantaran mengandaikan peran pertama-tama dan utama negara, yakni mengayomi segenap warga. Dalam aras inilah semestinya kita berbicara mengenai paradigma monopoli koersi yang lebih terkendali, transparan, dan bertanggung jawab. Inilah paradigma reformasi TNI dan Polri selanjutnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar