Sabtu, 05 Mei 2012

Bantu Diktator Arab : Etiskah?


Bantu Diktator Arab : Etiskah?
Syafiq Basri Assegaff; Konsultan Komunikasi, Dosen Komunikasi di Universitas Paramadina, dan di STIKOM London School of Public Relations, Jakarta
SUMBER : INILAH.COM, 04 Mei 2012


Di tengah ramainya pergolakan di Timur Tengah dan Afrika yang belakangan ini masih terus berlangsung, orang melihat bahwa citra para penguasa di negara-negara itu telah menjadi sangat terpuruk. Investasi lari dari sana. Demikian juga turis dari mancanegara, bisa dipastikan absen hadir ke negara mereka. Tak ayal lagi ekonomi mereka terancam.
Seolah awal musim semi baru merekah, sehingga terkenal istilah ‘The Arab Springs’, kekuatan rakyat yang populer dari Tunisia hingga Bahrain memunculkan banyak fenomena baru.

Di antara fenomena itu adalah persoalan, apakah etis bila perusahaan konsultan public relations (PR) membantu memulihkan citra atau reputasi pemimpin yang dianggap diktator atau tiranik?
Fenomena itu muncul dalam salah satu tulisan wartawan BBC Gabriel Gatehouse awal Maret 2011 yang menengarai,” adanya sementara wartawan Barat yang diam-diam dikontak beberapa agen konsultan PR yang bertindak atas nama para pemimpin Arab, mencoba menghentikan lajunya berbagai headline negatif di media.”
BBC menulis itu karena Inggris merupakan salah satu pusat dunia untuk kegiatan PR internasional. Industri ini tidak seberapa ketat diatur seperti halnya di Amerika Serikat (AS).
Pemerintah Inggris, menurut BBC, berencana memperkenalkan lebih banyak aturan untuk kegiatan PR dan lobbying. Tapi hingga tahun lalu, para aktivis transparansi yakin bahwa pemerintah Inggris tidak seberapa serius dalam soal ini.
Kalau Anda jalan-jalan ke London, dan mampir ke wilayah sibuk di Soho, Anda akan melihat pusat bercokolnya berbagai media, kantor periklanan dan industri PR Inggris.
Bukan main banyaknya nilai pertukaran uang yang diraup berbagai perusahaan PR di sana, sehingga tahun 2011 saja diperkirakan angkanya mencapai lebih dari tujuh miliar poundSterling (sekitar US$11 miliar).
Tetapi, bukan hanya perusahaan yang datang ke Soho untuk memoles ‘nama baik’ mereka – banyak negara pun ternyata ikut hadir di sana. Ini menjadikan London sebagai ‘terminal’ penghubung dunia bagi banyak pemerintah dan pemimpin dunia – sebagian di antaranya dengan sejarah HAM yang buruk – yang ingin mempercantik wajah mereka di depan dunia Barat.
Nah,di London itu, “Banyak perusahaan PR berusaha mengedepankan sebanyak mungkin berita positif,” kata seorang konsultan PR, Nick Allan.
Saat diwawancarai wartawan BBC yang menunjukkan daftar sejumlah negara Arab seperti Mesir, Tunisia, Jordania, Arab Saudi dan Bahrain, Allan mengatakan bahwa, ”hampir pasti semua negara itu diwakili -- dengan cara tertentu – oleh agen PR yang berbasis di Inggris.”
Allan, yang pernah bekerja di Deplu Inggris selama lebih dari 20 tahun, kini adalah konsultan PR independen. Meski ia sekarang tidak mewakili satu pun pemerintah asing, di masa lalu ia pernah menjalin hubungan bisnis dengan beberapa ‘rezim bermasalah’ di dunia.
Tapi apa yang bisa dilakukan seorang konsultan PR terhadap pemimpin yang tiran, kecuali sekadar operasi plastik yang kosmetis belaka? Benar, sebagaimana dikatakan Allan, kuncinya adalah mengubah narasi mengenai sang rezim.
“Anda tidak dapat mengubah fakta bahwa ia sebuah pemerintahan diktator, tetapi ada begitu banyak lipstik yang bisa Anda lekatkan pada seorang diktator. Namun jelas Anda hanya bisa mengubah narasinya dengan cara mengusung sebanyak mungkin hal positif yang Anda bisa.”
Dalam prakteknya, konsultan PR akan melakukan pekerjaan seperti membuat draft dan menempatkan artikel di suratkabar,memperkenalkan wartawan pada anggota pemerintahan yang sedang disorot, atau mengorganisasikan kunjungan ke negara itu. Tentu para agen PR itu juga akan sering berusaha menggeser atau memperkecil berita negatif.
Bila tak bisa memberi warna ‘positif’ lebih banyak, cara paling masuk akal yang mereka lakukan adalah sekadar membatasi ‘kerusakan’ akibat berita negatif yang sudah ditayangkan.
Bila sebuah artikel yang muncul di media tidak disukai klien Anda, umpamanya -- dan mereka menjerit agar Anda menutup cerita buruk itu -- maka Anda akan melakukan apa pun yang Anda bisa agar kabar buruk itu menghilang. Termasuk, misalnya menyewa ahli hukum (lawyers) untuk menulis kepada redaksi, dan menekan editor suratkabar agar tidak memuat berita itu.
Maka tak heran bila orang seperti Sharmine Narwani belakangan ini mengritik banyaknya bias yang muncul dalam pemberitaan media Barat mengenai Siria.
Sambil mengutip analisa geopolitik Texas, Stratfor, Desember lalu Narwani menulis di Huffingtonpost bahwa, banyak klaim mengenai opisisi di Siria terlalu dibesar-besarkan. “Investigasi Starfor menemukan tidak ada bukti pembunuhan massal dan mewanti-wanti bahwa kekuatan oposisi (sekedar) ingin memunculkan gambaran adanya pembantaian massal, dengan harapan munculnya gambaran serupa yang bisa mengundang intervensi asing di Libya,” kata Narwani.
Uang dan Etika
Tapi mengapa sebuah perusahaan konsultan mau mewakili rezim seperti pemimpin Libya Gaddafi? Jawabannya jelas, uang. Kontrak dengan para penguasa itu bisa mencapai jutaan dolar setahun.
Memang ada yang berpendapat bahwa, persis seperti halnya kasus legal, setiap negara juga berhak membela dirinya di depan ‘pengadilan opini publik’ internasional. Tetapi toh semua ada batasnya. Tetap saja, mereka yang menjunjung etika tidak serta merta menerima kontrak dari pemimpin tiran, meski nilainya mencapai jutaan dolar. Ini misalnya terjadi pada perusahaan PR, Washington Media Group.
Perusahaan PR yang berbasis di Washington itu, hingga awal 2011 sempat mewakili pemerintah Tunisia. Tapi belakangan, pada Januari 2011, mereka membatalkan kontraknya.
Saat mulai muncul berbagai protes di Tunisia, mereka memonitornya secara ketat. “Akhirnya kami putuskan tidak dapat bekerja untuk sebuah negara yang menembaki warganya,” kata Greg Vistica, Presiden Washington Media Group.
Di AS, jika sebuah perusahaan PR mengambil pemerintah asing sebagai kliennya, maka perusahaan itu harus mendaftarkan kerjasama (kontrak) itu kepada Departemen Kehakiman.
Berbeda halnya di Inggris. Sampai saat berita soal itu disiarkan BBC tahun lalu, belum ada peraturan sejenis, sehingga sering sulit sekali untuk mengetahui secara persis siapa klien yang diwakili perusahaan konsultan PR di sana.
Salah satu perusahaan yang tergolong populer dalam kaitan ini di Inggris adalah Bell Pottinger. Perusahaan yang dikelola Lord Tim Bell -- yang dulunya berasal dari Saatchi and Saatchi, perusahaan konsultan yang pernah mengelola kampanye bagi mantan PM Inggris Margaret Thatcher pada 1980-an – itu juga berkantor di Soho.
Dari Soho itu pulalah kini Pottinger mewakili pemerintah Bahrain, dan hampir bisa dipastikan juga mewakili beberapa pemerintah lain di Timur Tengah. Namun mereka menolak diwawancarai BBC mengenai hal itu.
Bagaimana pun, yang penting dalam perdebatan masalah ini adalah soal transparansi. Sebab semua konsultan itu sesungguhnya punya kewajiban kepada masyarakat luas – agar dapat menentukan apa yang ada dalam pikiran mereka, atau apa yang mereka kehendaki mengenai dari mana datangnya informasi itu.
Bila seorang konsultan PR menjunjung tinggi etika, lazimnya ia tidak sekedar mementingkan fulus. Bagi penguasa, mereka yang memerintah dengan etika pastilah mengedepankan hak azasi masyarakatnya, dan mesti disukai rakyatnya. Yang begini ini tentu tidak perlu melanglang buana hingga ke Soho. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar