Bantu Diktator Arab : Etiskah?
Syafiq Basri Assegaff; Konsultan
Komunikasi, Dosen Komunikasi di Universitas Paramadina, dan di STIKOM London
School of Public Relations, Jakarta
SUMBER
: INILAH.COM, 04 Mei 2012
Di tengah ramainya pergolakan di Timur Tengah
dan Afrika yang belakangan ini masih terus berlangsung, orang melihat bahwa
citra para penguasa di negara-negara itu telah menjadi sangat terpuruk. Investasi lari dari sana. Demikian juga turis
dari mancanegara, bisa dipastikan absen hadir ke negara mereka. Tak ayal lagi
ekonomi mereka terancam.
Seolah awal musim semi baru merekah, sehingga
terkenal istilah ‘The Arab Springs’, kekuatan rakyat yang populer dari Tunisia
hingga Bahrain memunculkan banyak fenomena baru.
Di antara fenomena itu adalah persoalan,
apakah etis bila perusahaan konsultan public relations (PR) membantu memulihkan
citra atau reputasi pemimpin yang dianggap diktator atau tiranik?
Fenomena itu muncul dalam salah satu tulisan
wartawan BBC Gabriel Gatehouse awal Maret 2011 yang menengarai,” adanya
sementara wartawan Barat yang diam-diam dikontak beberapa agen konsultan PR
yang bertindak atas nama para pemimpin Arab, mencoba menghentikan lajunya
berbagai headline negatif di media.”
BBC menulis itu karena Inggris merupakan
salah satu pusat dunia untuk kegiatan PR internasional. Industri ini tidak
seberapa ketat diatur seperti halnya di Amerika Serikat (AS).
Pemerintah Inggris, menurut BBC, berencana
memperkenalkan lebih banyak aturan untuk kegiatan PR dan lobbying. Tapi hingga
tahun lalu, para aktivis transparansi yakin bahwa pemerintah Inggris tidak
seberapa serius dalam soal ini.
Kalau Anda jalan-jalan ke London, dan mampir
ke wilayah sibuk di Soho, Anda akan melihat pusat bercokolnya berbagai media,
kantor periklanan dan industri PR Inggris.
Bukan main banyaknya nilai pertukaran uang
yang diraup berbagai perusahaan PR di sana, sehingga tahun 2011 saja
diperkirakan angkanya mencapai lebih dari tujuh miliar poundSterling (sekitar
US$11 miliar).
Tetapi, bukan hanya perusahaan yang datang ke
Soho untuk memoles ‘nama baik’ mereka – banyak negara pun ternyata ikut hadir
di sana. Ini menjadikan London sebagai ‘terminal’ penghubung dunia bagi banyak
pemerintah dan pemimpin dunia – sebagian di antaranya dengan sejarah HAM yang
buruk – yang ingin mempercantik wajah mereka di depan dunia Barat.
Nah,di London itu, “Banyak perusahaan PR
berusaha mengedepankan sebanyak mungkin berita positif,” kata seorang konsultan
PR, Nick Allan.
Saat diwawancarai wartawan BBC yang
menunjukkan daftar sejumlah negara Arab seperti Mesir, Tunisia, Jordania, Arab
Saudi dan Bahrain, Allan mengatakan bahwa, ”hampir pasti semua negara itu
diwakili -- dengan cara tertentu – oleh agen PR yang berbasis di Inggris.”
Allan, yang pernah bekerja di Deplu Inggris
selama lebih dari 20 tahun, kini adalah konsultan PR independen. Meski ia
sekarang tidak mewakili satu pun pemerintah asing, di masa lalu ia pernah
menjalin hubungan bisnis dengan beberapa ‘rezim bermasalah’ di dunia.
Tapi apa yang bisa dilakukan seorang
konsultan PR terhadap pemimpin yang tiran, kecuali sekadar operasi plastik yang
kosmetis belaka? Benar, sebagaimana dikatakan Allan, kuncinya adalah mengubah
narasi mengenai sang rezim.
“Anda tidak dapat mengubah fakta bahwa ia
sebuah pemerintahan diktator, tetapi ada begitu banyak lipstik yang bisa Anda
lekatkan pada seorang diktator. Namun jelas Anda hanya bisa mengubah narasinya
dengan cara mengusung sebanyak mungkin hal positif yang Anda bisa.”
Dalam prakteknya, konsultan PR akan melakukan
pekerjaan seperti membuat draft dan menempatkan artikel di
suratkabar,memperkenalkan wartawan pada anggota pemerintahan yang sedang
disorot, atau mengorganisasikan kunjungan ke negara itu. Tentu para agen PR itu
juga akan sering berusaha menggeser atau memperkecil berita negatif.
Bila tak bisa memberi warna ‘positif’ lebih
banyak, cara paling masuk akal yang mereka lakukan adalah sekadar membatasi
‘kerusakan’ akibat berita negatif yang sudah ditayangkan.
Bila sebuah artikel yang muncul di media
tidak disukai klien Anda, umpamanya -- dan mereka menjerit agar Anda menutup
cerita buruk itu -- maka Anda akan melakukan apa pun yang Anda bisa agar kabar
buruk itu menghilang. Termasuk, misalnya menyewa ahli hukum (lawyers) untuk menulis kepada redaksi,
dan menekan editor suratkabar agar tidak memuat berita itu.
Maka tak heran bila orang seperti Sharmine
Narwani belakangan ini mengritik banyaknya bias yang muncul dalam pemberitaan
media Barat mengenai Siria.
Sambil mengutip analisa geopolitik Texas,
Stratfor, Desember lalu Narwani menulis di Huffingtonpost
bahwa, banyak klaim mengenai opisisi di Siria terlalu dibesar-besarkan.
“Investigasi Starfor menemukan tidak ada bukti pembunuhan massal dan
mewanti-wanti bahwa kekuatan oposisi (sekedar) ingin memunculkan gambaran
adanya pembantaian massal, dengan harapan munculnya gambaran serupa yang bisa
mengundang intervensi asing di Libya,” kata Narwani.
Uang
dan Etika
Tapi mengapa sebuah perusahaan konsultan mau
mewakili rezim seperti pemimpin Libya Gaddafi? Jawabannya jelas, uang. Kontrak
dengan para penguasa itu bisa mencapai jutaan dolar setahun.
Memang ada yang berpendapat bahwa, persis
seperti halnya kasus legal, setiap negara juga berhak membela dirinya di depan
‘pengadilan opini publik’ internasional. Tetapi toh semua ada batasnya. Tetap
saja, mereka yang menjunjung etika tidak serta merta menerima kontrak dari
pemimpin tiran, meski nilainya mencapai jutaan dolar. Ini misalnya terjadi pada
perusahaan PR, Washington Media Group.
Perusahaan PR yang berbasis di Washington
itu, hingga awal 2011 sempat mewakili pemerintah Tunisia. Tapi belakangan, pada
Januari 2011, mereka membatalkan kontraknya.
Saat mulai muncul berbagai protes di Tunisia,
mereka memonitornya secara ketat. “Akhirnya kami putuskan tidak dapat bekerja
untuk sebuah negara yang menembaki warganya,” kata Greg Vistica, Presiden Washington Media Group.
Di AS, jika sebuah perusahaan PR mengambil
pemerintah asing sebagai kliennya, maka perusahaan itu harus mendaftarkan
kerjasama (kontrak) itu kepada Departemen Kehakiman.
Berbeda halnya di Inggris. Sampai saat berita
soal itu disiarkan BBC tahun lalu, belum ada peraturan sejenis, sehingga sering
sulit sekali untuk mengetahui secara persis siapa klien yang diwakili
perusahaan konsultan PR di sana.
Salah satu perusahaan yang tergolong populer
dalam kaitan ini di Inggris adalah Bell Pottinger. Perusahaan yang dikelola
Lord Tim Bell -- yang dulunya berasal dari Saatchi and Saatchi, perusahaan
konsultan yang pernah mengelola kampanye bagi mantan PM Inggris Margaret
Thatcher pada 1980-an – itu juga berkantor di Soho.
Dari Soho itu pulalah kini Pottinger mewakili
pemerintah Bahrain, dan hampir bisa dipastikan juga mewakili beberapa
pemerintah lain di Timur Tengah. Namun mereka menolak diwawancarai BBC mengenai
hal itu.
Bagaimana pun, yang penting dalam perdebatan
masalah ini adalah soal transparansi. Sebab semua konsultan itu sesungguhnya
punya kewajiban kepada masyarakat luas – agar dapat menentukan apa yang ada
dalam pikiran mereka, atau apa yang mereka kehendaki mengenai dari mana
datangnya informasi itu.
Bila seorang konsultan PR menjunjung tinggi
etika, lazimnya ia tidak sekedar mementingkan fulus. Bagi penguasa, mereka yang
memerintah dengan etika pastilah mengedepankan hak azasi masyarakatnya, dan
mesti disukai rakyatnya. Yang begini ini
tentu tidak perlu melanglang buana hingga ke Soho. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar