Resakralisasi Politik Kiai
Fariz Alniezar; Peneliti di Lembaga Penelitian, Pengabdian
dan Pengembangan Masyarakat (LP3M) STAINU Jakarta
dan Pengembangan Masyarakat (LP3M) STAINU Jakarta
SUMBER
: SUARA KARYA, 04 Mei 2012
Sebagaimana dikatakan Muhammad Muhibuddin bahwa seharusnya sorang
kiai lebih-lebih dalam kostelasi percaturan politik yang notabene adalah
seorang yang mempunyai peran sentral dalam kehidupan bermasyarakat - karena
pandangan, wejangan serta petunjuknya - maka para kiai tersebut harus kembali
ke khittah, Yaitu, tidak terlalu ngurusi serta berkecimpung langsung dalam
ranah perpolitikan secara praktis. (Muhibuddin, 2009)
Seorang kiai diandaikan lebih baik mengaji, konsentrasi bagaimana
mendidik para santri daripada sekedar grudak-gruduk tidak jelas ikut alur
perpolitikan yang semakin sengkarut di negeri ini.
Memang, secara pragmatis seorang kiai idealnya adalah sebagai
pencerah umat dari kegelapan (darkness)
menuju pencerahan (lightness), baik
yang bersifat kognitif maupun intuitif, Ia seharusnya konsentrasi mengatur
akhlak para santri generasi penerus tongkat estafet pembangunan bangsa. Akan
tetapi, alih-alih ngurusi santri, para kiai masa kini banyak yang banting setir
menjadi penasihat, pengurus partai bahkan banyak yang menjadi peserta pemilihan
calon legislatif atau ikut politik praktis. Meski tidak dilarang, hal itu
seharusnya tidak perlu dilakukan.
Cara pandang tentang politik kiai telanjur keliru, meski
rasa-rasanya kurang tepat karena menimbang beberapa hal. Pertama, seorang kiai,
menurut Rojiful Mamduh, jelmaan dari alim dan ulama. Alim dalam hal ini lebih
dikonotasikan sebagai ahli ilmu. Sedangkan ulama adalah lebih berasosiasi
kepada semangat untuk meneruskan perjuangan para nabi, semangat untuk selalu
berjuang menyebarkan ajaran-ajaran Tuhan kepada umat manusia. Kedua istilah
inilah (alim-ulama) yang menyatu dalam kata 'kiai'. (Rojiful Mamduh, 2004)
Atau, bisa juga dikatakan berdasarkan kajian antropologis bahwa
kiai adalah gelar agung yang diberikan oleh masyarakat secara tulus karena
kontribusinya di masyarakat dan mampu menjadi rujukan masyarakat atas
permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Sehingga, kiai bukanlah gelar yang
dikejar, melainkan yang didapatkan. Berdasarkan hal itu kiai adalah seorang
yang alim. Kata 'alim' dalam kajian leksikologi berarti memahami secara komprehensif.
Ia paham akan sesuatu secara menyeluruh.
Emha Ainun Nadjib mengatakan bahwa alim adalah to understand, mengerti dan tidak hanya
sebatas mengetahui. Jika ia hanya mengetahui berarti hanya sebatas arif atau to know. Dan, hal itulah yang menjadi
pijakan bahwa sorang kiai - terlebih di era demokratisasi sekarang ini - ia
punya pandangan yang matang, punya keilmuan yang menyeluruh dan juga punya
kapasitas, kredibilitas, kapabelitas dan akseptabilitas yang mumpuni.
Oleh karena itu, wajar jika banyak para calon pemimpin daerah,
termasuk Alex Noerdin, Jokowi dan Hidayat Nur Wahid, misalnya, sowan kepada
sorang kiai, pemimpin salah satu ormas terbesar di Indonesia. Maksudnya, untuk
sekedar meminta arahan, nasihat atau juga dukungan karena dalam peta
perpolitikan negara kita, sorang kiai apa pun skalanya, baik kiai kampung
maupun kiai pesantren bahkan kiai ormas, mereka mempunyai bergaining position
yang cukup besar, dan massa yang tidak sedikit.
Kedua, sosiolog muslim Ibnu Khaldun mengatakan bahwa hal mendasar
yang paling mempengaruhi pola pikir manusia adalah lingkungan serta alam
sekitarnya (Ibnu Kholdun, 1988). Artinya, jika kita flash back ke masa Orde Baru, kiai yang berkecimpung dalam
percaturan politik sangatlah sedikit dan bahkan bisa dikalkulasi dengan
hitungan jari.
Mereka, para kiai beserta santrinya cenderung menerapkan politik
'isolasi diri'. Hal itu wajar karena alam demokrasi pada masa itu belum
terbuka, dan apabila kita tilik masa sekarang di mana kran demokrasi dibuka
lebar-lebar maka pesantren sudah open mind terhadap percaturan politik dan hal
itulah yang kemungkinan besar membangkitkan gairah para kiai untuk ikut andil
dalam membangun serta meluruskan perpolitikan Indonesia.
Ketiga, kiai adalah sorang ulama. Ia punya semangat yang
menggebu-gebu dalam meneruskan perjuangan Rasul karena Nabi sendiri juga
mengatakan bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Dan, Nabi sendiri sebagai mana
terekam dalam berbagi literatur sejarah, bukan saja seorang yang diutus untuk
memperbaiki akhlak manusia dan menyampaikan wahyu, akan tetapi beliau juga
seoarang negarawan dan politikus. Beliau adalah diplomat ulung yang mampu
menyatukan penduduk muslim-nonmuslim melalui Piagam Madinah. Artinya,
berdasarkan hal itu wajar jika para kiaipun banyak yang mengikuti jejak Rasul.
Mereka tidak berjuang lewat pesantren saja akan tetapi juga merambah dunia
politik.
Toh, walaupun banyak para calon pemimpin daerah yang sebelum
dilaksanakannya pemilihan, mereka meminta dukungan para kiai, belum tentu hal
itu punya pengaruh besar. Karena, - sebagaimana dikatakan oleh Kacung Maridjan
- bahwa golongan pemilih berbasis pesantren (santri) sudah banyak yang memilih
berdasarkan rasionalitas dan tak jarang juga berdasarkan besar-kecilnya
'imbalan' yang diberikan seorang calon pemimpin daerah tersebut. (Kacung
Maridjan, 2011)
Hal ini terbukti sebagaimana dikatakan oleh Akhmad Zaini bahwa
pendapat seorang kiai sudah mengalami desaklarisasi. Artinya, banyak santri
yang tidak mensakralkan anjuran politiknya dan berbelok memilih berdasarkan
hal-hal yang pragmatis, seperti berdasarkan besar kecilnya shadaqah dan lain
sebagainya. (Zaini, 2009)
Maka, ini adalah momentum yang tepat untuk meresakraliasikan politik
kiai. Seorang kiai harus menjaga pandangan-pandangan serta wejangan politiknya
agar masyarakat tidak kabur membedakan mana kiai yang 'sungguh-sungguh
berpolitik' dan mana kiai yang berpolitik sungguh. Wallahu A'lam Bis Showab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar