Tembakau
sebagai Obat
M. Sobary, ESAIS, ANGGOTA PENGURUS MASYARAKAT BANGGA
PRODUK INDONESIA
Sumber : SINDO, 12 Desember 2011
Kelihatannya, tulisan John Josselyn
tentang pemanfaatan tembakau sebagai obat, yang dikutip Wanda Hamilton untuk
bukunya, Nicotine War, dari tulisan CA Weslager, Magic Medicine of the Indian,
kita menemukan informasi yang berkebalikan dengan sikap pihak-pihak yang
antitembakau.
Josselyn menyebutkan, tembakau bisa melancarkan pencernaan, meringankan encok, sakit gigi, mencegah infeksi, bisa membikin badan hangat, tapi sekaligus bisa menyejukkan mereka yang berkeringat, memulihkan semangat yang sudah loyo, serta mencegah nafsu makan.
Tembakau bahkan bisa membunuh kutu rambut dan telurnya,dan tumbukan daunnya yang masih hijau bisa menyembuhkan luka, bisa dibikin sirup untuk aneka penyakit, dan bisa dijadikan asap untuk sakit tuberkolusis, batuk paru-paru dan rematik, dan semua penyakit akibat hawa dingin yang lembab. Selama berabad-abad, suku Indian,yang memiliki peradaban canggih,menggunakan tembakau untuk obat sebagaimana disebutkan di atas.
Tradisi pengobatan itu terpelihara dalam lintas abad yang panjang. Namun,kepentingan bisnis farmasi Amerika,dengan dukungan dokter-dokter ahli yang meyakinkan, menyatakan tembakau berbahaya.Orang harus berhenti merokok. Obat yang dipakai menghentikan merokok dibuat pabrik farmasi. Dan pabrik farmasi bisa membikin rokok sintetis tanpa tembakau.
Di halaman 111 buku Hamilton, Nicotine War tadi, kita temukan kesangsian: argumen untuk membangun kesehatan publik, yang ditempuh Amerika Serikat, lama-lama menimbulkan pertanyaan: ini program menyelamatkan nyawa manusia apa memaksakan obat dan agenda? Setelah para ahli mempelajari kekuatan tembakau sebagai obat, orang bisa membuat obat lain—yang bukan tembakau—dan menjadikan obatnya sebagai satu-satunya rujukan obat bagi penyakitpenyakit tertentu.
Sekali lagi, temuannya bisa diracik dari kandungan tembakau,tapi untuk memusuhi dan membunuh tembakau. Perhitungan daganglah— dan kepentingan politik dagang— yang menjadi penyebab gencarnya ‘perang melawan tembakau’. Argumen kesehatan publik diutamakan.Faktor ekonomi—bahwa orang miskin bisa makin miskin karena merokok— menjadi argumen tambahan.
Agar lebih dramatis, disebutlah ‘baby smokers’, dan banyak labeling yang membunuh harkat tembakau yang pada hakikatnya—seperti dipertahankan berabad-abad di masyarakat suku Indian—merupakan obat, disebut sumber penyakit. Dengan membaca uruturutan logis argumen Hamilton di dalam Nicotine War tadi,kita menjadi tahu bahwa tradisi hebat suku Indian itu bukan mati dalam perjalanan melintasi abad ilmu pengetahuan, melainkan dibunuh secara semena- mena,dengan kebohongan ilmiah, untuk kepentingan dagang.
Sekali lagi, tradisi hebat itu bukan mati, melainkan dibunuh. Apa yang sampai di negeri kita, usaha membunuh tembakau— artinya membunuh kebenaran ilmiah juga—dibantu dengan kekuatan rohaniah. Karena argumen kesehatan tak terlalu meyakinkan,dan argumen ekonomi tak membikin guncangan yang diharapkan, berikutnya digunakan argumen moral untuk mengharamkan tembakau—di sini bahasa teknisnya mengharamkan merokok—dan perang total melawan tembakau pun meluas ke seluruh dunia.
Pedagang itu jenis manusia yang menempatkan kata hemat pada urutan nomor satu bagi prioritas nilai hidupnya. Tapi pedagang besar, berskala besar, memperlihatkan pada kita semangat murah hati, mengucurkan dana besar seolah tanpa memikirkan untungrugi. Siapa saja yang memiliki potensi untuk membantunya membunuh tembakau dibantu. Semua pihak yang menguntungkan diperlakukan sebagai sahabat.
Dan sahabat lebih penting daripada keuntungan. Sikap kapitalis tulen kelihatan lebih manusiawi daripada sikap pedagang biasa. Rangkul sana rangkul sini, pesta sana pesta sini,anggur, kemabukan, makanan mewah, dan bau parfum yang lembut, menandai “persahabatan” dengan semua pihak. Betul mereka tak menghitung untung-rugi? Semua dihitung. Sudah pasti dengan sangat cermat agar jangan sampai rugi.
Sikap menyebar dana ke seluruh dunia bukan sikap orang mabuk, melainkan sikap kapitalis yang sangat waras. Di seluruh dunia ada lembaga-lembaga yang didanai untuk membantunya membunuh tembakau. Di seluruh dunia ada tokoh-tokoh— ilmuwan, aktivis, rohaniwan, atau yang agak kelihatan seperti rohaniwan dan para pejabat negara maupun para anggota DPR—yang sukarela menjadi sahabat “orang kaya” ini.
Dan kelihatannya mereka inilah yang mabuk karena bantuan tersebut.Mereka sedemikian mabuk, sampai lupa bahwa “persahabatan”mereka dengan “orang kaya” itu menghancurkan kepentingan negerinya, bangsanya, dan rakyat, yang semula. Rakyat, baik petani tembakau, buruh-buruh tani tembakau, buruh pabrik kretek, pengecer kretek, dan berjutajuta warga yang bergantung pada mereka,dirugikan oleh sikap bersahabat dari “orangorang kaya” tadi, dan kita dirugikan oleh orang mabuk, hanya karena merasa bersahabat dengan orang kaya.
Bagaimanapun, kelihatannya ini cerminan mentalitas kuli.Watak kuli—maaf—biarpun kelihatan agak terpelajar, dan pernah menikmati pendidikan tinggi, termasuk di luar negeri, tetap minder biarpun diam-diam. Jiwanya mudah terpukul oleh pihak yang lebih kaya.Mereka tunduk pada pemilik uang yang menjamin kehidupan mereka menjadi lebih baik.
Mentalitas kuli itu juga tampak pada semangat hidupnya untuk “menelan tanpa mengunyah”, argumen para pemilik pabrik farmasi bahwa rokok berbahaya, dan produk pabriknya yang sehat.Mereka menerima tanpa “reserve” argumen para pedagang besar yang mencelakai kita itu sebagai kebenaran. Selebihnya, sikap rendahan juga tampak pada mereka. Melawan “orang kaya”—apalagi bule yang memberi uang—tidak mungkin.
Maka, mereka gigih melawan bangsanya sendiri. Mereka gencar mengancam petani. Mereka sebarkan perda, dan ancaman kriminal kepada bangsanya sendiri. Kepatuhan sudah tumpah seutuhnya pada bos Amerika. Maka, tembakau sebagai obat, tak boleh disebut, tak boleh diingat, tak boleh hidup dalam kesadaran. Yang dipompakan ialah kebohongan: tembakau sebagai sumber penyakit. Dan “koeli-koeli”itu pun patuh. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar