Rabu, 07 Desember 2011

Keluarga Berencana yang Manusiawi


Keluarga Berencana yang Manusiawi
Aloys Budi Purnomo, ROHANIWAN, BUDAYAWAN INTERRELIGIUS, ANGGOTA DEWAN PENASIHAT BKKBN JAWA TENGAH
Sumber : SUARA MERDEKA, 7 Desember 2011


Kepala BKKBN mengingatkan, hanya dalam satu dekade, penduduk melonjak 32 juta jiwa lebih karena kita membiarkan terbengkalainya program keluarga berencana (KB). Diingatkan pula kemungkinan penduduk naik lipat dua mendekati 500 juta jiwa dalam 50 tahun ke depan. Lonjakan jumlah penduduk dan sinyalemen kegagalan program keluarga berencana (KB) menjadi ancaman masa depan demografis kita. Namun, kegagalan dan ancaman itu masih sangat terfokus pada kalkulasi jumlah dan angka kelahiran.

Selama ini, ada anggapan, program KB kaitannya dengan lonjakan jumlah penduduk hanya dipahami pada pembatasan jumlah kelahiran. Itulah sebabnya, gagal mengerem laju pertumbuhan pendudukan akan dianggap sebagai kemunduran, bahkan kegagalan program. Benar, tanpa diimbangi kualitas, pertumbuhan penduduk tak terkendali akan menjadi beban dan menanam bencana, baik ekonomi maupun sosial politik. Benar pula, bahwa penduduk besar dengan dominasi struktur usia muda memang menjadi aset tak ternilai dan keunggulan kompetitif ekonomi.

Dalam konteks ini, pertanyaan serius harus diajukan dan dijawab. Apakah program KB hanya sekadar merupakan pembatasan kelahiran? Apakah sebetulnya yang menjadi inti pokok dari program itu yang benar dan sejati menurut perspektif moral kultural religius?

Secara moral kultural religius, adalah suatu kesalahan fundamental, bila program KB hanya dipahami pada soal pembatasan jumlah kelahiran anak. Perspektif yang sempit, maka laju pertumbuhan penduduk harus direm, merupakan sesat pikir. Ekspresinya, gagal mengerem laju pertumbuhan penduduk adalah kemunduran atau kegagalan program KB pula.

Logika selanjutnya, pertumbuhan penduduk tak terkendali adalah beban, bahkan ancaman bencana masa depan. Lonjakan jumlah penduduk identik dengan program KB yang terbengkalai, bahkan gagal! Apakah memang demikian?

Mari kita tempatkan kesejatian program KB bukan semata-mata dalam ranah pembatasan kelahiran atau jumlah penduduk. Program ini harus diletakkan dalam konteks membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera dalam semangat keadilan dan menghargai martabat kehidupan.

Program KB adalah perencanaan matang, cermat, dan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek kemanusiaan dan keadilan dalam rangka keluarga bahagia dan sejahtera.  Itulah sesungguhnya, inti dan maksud program yang sejati. Ketika suami istri merancang kehidupan keluarganya secara matang, cermat, dan manusiawi, berapa pun jumlah anak yang dianugerahkan Tuhan bukanlah beban melainkan berkat. Dengan demikian, suami istri tidak terjebak dalam upaya membatasi jumlah anak, apalagi dengan menghalalkan segala cara yang kemudian mengabaikan aspek moral dan kemanusiaan.

Pengaturan Kelahiran

Hakikat KB bukan pembatasan kelahiran, melainkan pengaturan kelahiran (birth control). Pengaturan kelahiran tidak sama dan jangan dipersempit menjadi pembatasan jumlah kelahiran anak. Salah kaprah pemahaman hakikat KB sebagai pembatasan jumlah anak, apalagi dengan penggunaan alat kontrasepsi, secara moral kehidupan justru melanggar prinsip-prinsip etis humanis religius.

Program KB yang benar, bertanggung jawab, dan manusiawi tidak hanya sekadar pembatasan kelahiran dan jumlah anak tetapi strategi merancang semua aspek dan dimensi kehidupan keluarga. Bahkan, sekiranya proses pengaturan kelahiran dilakukan, prinsip etis humanis religius harus menjadi pegangan utama.

Tanggung jawab pengaturan kelahiran lalu tidak pertama-tama diatur oleh pemerintah, tapi oleh suami istri. Merekalah yang bertanggung jawab terhadap anak yang dilahirkan dengan mempersiapkan dan menyediakan fasilitas yang diperlukan demi perkembangan masa depannya.

Prinsipnya, KB adalah upaya dan usaha mencapai kesejahteraan jasmani dan rohani bagi seluruh anggota keluarga, melalui perencanaan yang matang dan bijaksana. Lebih dari sifat etatistik, campur tangan pemerintah yang terlalu dominan, prinsip subsidiaritas dan solidaritaslah yang harus dikembangkan. Cara-cara yang bersifat abortif dan sterilisasi (pengguguran dan pemandulan) harus dihindari. Cara-cara ini merendahkan martabat kehidupan dan berlawanan dengan hidup manusiawi.

Peran pemerintah mestinya difokuskan pada penyediaan segala infrastruktur yang dibutuhkan untuk menopang penduduk agar mereka hidup bahagia dan sejahtera dari sisi ekonomi, sosial, dan politik. Infrastruktur itu tak terbatas pada aspek pangan dan air bersih, tapi juga papan dan penyediaan lapangan kerja. Benar, dalam arti ini, pemerintah memang belum maksimal mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera, untuk tidak mengatakan gagal mewujudkan program KB secara benar.

Karenanya, peran pemerintah mengatasi kegagalan program KB adalah dengan meningkatkan tersedianya berbagai fasilitas di bidang pendidikan, kesehatan, energi, dan transportasi. Propaganda program KB sebagai pembatasan kelahiran dan jumlah anak harus diganti dengan implementasi kesejahteraan dan peningkatan sarana prasarana yang menunjang perencanaan keluarga yang bahagia dan sejahtera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar