Jumat, 09 Desember 2011

ASEAN di Tengah Percaturan Dunia

ASEAN di Tengah Percaturan Dunia
Faustinus Andrea, PEMERHATI MASALAH KEAMANAN ASIA PASIFIK, STAF CSIS JAKARTA
Sumber : KORAN TEMPO, 9 Desember 2011



Pernyataan Kimihiro Ishikane, Deputi Direktur Jenderal Kawasan Asia dan Oseania Kementerian Luar Negeri Jepang, tentang ASEAN akan menjadi pusat percaturan
terbesar kedua di dunia setelah kawasan Timur Tengah, menarik dicermati. Pada persiapan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-19 dan KTT terkait lainnya di Bali, pertengahan November 2011, Ishikane juga mengatakan kini banyak negara dan kelompok kepentingan ingin bermain di ASEAN, setelah kawasan ini mengalami
perubahan dramatis sejak 2003.

Pertumbuhan ekonomi yang pesat di kawasan Asia Tenggara telah membuat negara-
negara yang tergabung dalam ASEAN menjadi salah satu pusat kekuatan dunia. Perkembangan kerja sama secara multilateral di kawasan Asia-Pasifik, seperti APEC, G-20, KTT ASEAN, KTT ASEAN+1, KTT ASEAN+3, dan KTT Asia Timur, dalam dekade sekarang ini telah mengembalikan pamor Asia, khususnya ASEAN. Arsitektur ASEAN dan arsitektur lainnya, seperti ASEAN Regional Forum, Shangri-La Dialogue, dan Jakarta International Defence Dialogue, makin memperkuat ASEAN sebagai organisasi regional di mata dunia.

Meski demikian, di tengah harapan besar tersebut, dan saat ASEAN sedang menghadapi tantangan untuk mempertahankan sentralitasnya agar tidak terjebak
di tengah-tengah pertarungan politik negara-negara besar, seperti Amerika Serikat
dan Cina, ASEAN tampak “limbung” sebagai kekuatan penyeimbang dan pemersatu
di kawasan. ASEAN tampak kewalahan dengan berbagai manuver politik Amerika dan Cina dalam unjuk kekuatan militer di Asia-Pasifik. Akankah ASEAN masuk percaturan
sengit kedua negara itu? Bagaimana ASEAN adaptif menghadapi pertarungan itu dan makin memperkuat integritas internalnya sebagai kekuatan dunia?

Rivalitas Amerika-Cina

Dalam kondisi dunia yang tidak menentu seperti sekarang ini, manuver Amerika dan Cina membuat tingkat eskalasi konflik di kawasan Asia-Pasifik meningkat. Penempatan
2.500 anggota pasukan marinir Amerika di Darwin,Australia utara, dan latihan perang Angkatan Laut Pasukan Pembebasan Rakyat (PLA) Cina di Samudra Pasifik Barat dapat memicu perang baru di kawasan.

Kebijakan Presiden Barack Obama tentang penempatan pasukan, yang diumumkan secara resmi beberapa hari menjelang kedatangannya di Bali untuk menghadiri KTT Asia Timur, 19 November 2011, itu mengundang reaksi banyak kalangan. Tapi, bagi Obama, kehadiran militer Amerika di Asia-Pasifik untuk kekuatan Pasifik. Sebelumnya,
Obama malah menyalahkan Cina sebagai biang keladi sengketa di Laut Cina Selatan (LCS). Cina sering bersitegang dengan Vietnam dan Filipina terkait dengan soal perbatasan di LCS, serta dengan Jepang di Laut Cina Timur. Bahkan, kata Obama, konflik LCS dapat menjadi “titik api” perang baru di Asia.

Sementara itu, melalui Perdana Menteri Wen Jiabao, Cina mengecam kebijakan Obama yang mengungkit soal sengketa di LCS dan pendekatan kekuatan terkait dengan sengketa itu bisa menjadi bumerang yang membahayakan kawasan. Kantor berita Xinhua memberitakan, masalah LCS harus diselesaikan secara langsung oleh
negara-negara berdaulat melalui “konsultasi dan negosiasi bersahabat”tanpa turut
campur Amerika.

Amerika tidak bergeming atas sikap Cina itu. Bahkan, jauh sebelumnya, melalui Menteri Luar Negeri Amerika Hillary Clinton, di Thailand telah ditandatangani Pakta Kerja Sama dan Persahabatan (TAC) pada Juli 2009. Penandatanganan TAC ini dapat diartikan sebagai politik pembendungan pengaruh Cina di Asia Tenggara, yang akhir-akhir ini semakin kuat. Sementara itu, penempatan pasukan prajurit marinir Amerika di Darwin dinilai sebagai antisipasi agresi Cina di Asia-Pasifik. Dengan kata lain, kehadiran Amerika paling tidak dapat mengurangi kekhawatiran banyak negara akan meningkatnya pengaruh Cina di kawasan.

The Big Three

Dalam artikel Kompas yang ditulis I.Wibowo, yang menyitir Parag Khanna (majalah
NYT, 27 Januari 2008), disebutkan, dunia yang memasuki abad ke-21 akan dikuasai
The Big Three, yaitu Amerika, Uni  Eropa, dan Cina. Adapun negara-negara lain yang sering disebut sebagai the emerging markets disebutnya sebagai second world, yang akan menjadi tempat persaingan dan pertarungan The Big Three tersebut. Lebih jauh disebutkan bahwa tiaptiap kekuatan itu akan beroperasi di wilayah mereka sendiri, meski tidak tertutup kemungkinan mereka juga saling menyusupi wilayah tersebut. Uni Eropa bergerak di Afrika dan Timur Tengah, Amerika di Amerika Utara dan Amerika Selatan, sedangkan Cina bergerak di Asia Timur.

Selain Amerika, Uni Eropa, dan Cina, menurut Robert Kagan, kekuatan lain sebagai
negara yang dianggap punya pengaruh adalah Rusia, Jepang, India, dan Iran. Dalam buku The Return of History and the End of Dreams (2008), Kagan menghitung bahwa dunia akan dikuasai oleh negara-negara itu. Negara-negara kecil tidak masuk dalam hitungan. Baik Khanna maupun Kagan sepakat pengaruh Amerika kini tidak lagi sebesar pada masa lalu. Amerika kini bukan lagi sebagai hegemon dunia, meski masih dianggap sebagai adikuasa (superpower). Adapun kekuatan lain, yang disebut sebagai great powers, yang dilihat menjadi pemegang kekuatan nyata, baik secara ekonomi maupun militer, adalah Cina (I.Wibowo, 2009).

Perisai Ekonomi

Bagaimana ASEAN makin asertif di tengah struktur dunia yang multipolar menjadi tantangan tidak ringan. Baik Amerika maupun Cina saat ini berusaha menjadi negara paling berpengaruh di kancah perekonomian global. Karena itu, rivalitas ekonomi dan politik antara Amerika-Cina harus dimanfaatkan dan diarahkan untuk keuntungan ASEAN, bukan untuk diserahkan, apalagi dikuasai oleh mereka.

ASEAN, dengan jumlah penduduk 558 juta, pertumbuhan ekonomi 7,5 persen pada 2010, jauh di atas pertumbuhan ekonomi dunia yang hanya 4,8 persen, secara paralel dapat tumbuh bareng dengan negara Asia lainnya, mengingat 60 persen dari 7 miliar penduduk dunia tinggal di Asia. Jika komunitas ASEAN 2015 diimplementasikan secara konsisten, ASEAN akan menjadi pasar tunggal raksasa dengan tenaga kerja dan kekayaan alamnya yang menjadi basis produksi yang menjanjikan. Integrasi ekonomi ASEAN akan berarti dihapuskannya semua hambatan investasi dan perdagangan, baik tarif maupun nontarif, serta diharmonisasi dan disederhanakannya berbagai regulasi. Konektivitas ASEAN dengan memperbaiki infrastruktur transportasi juga menjadi bagian penting yang harus dikembangkan.

Dengan integrasi dan interdependensi yang makin solid dengan kekuatan-kekuatan
ekonomi besar di Asia, seperti Cina, India, Jepang, dan Korea Selatan, ASEAN berpeluang menjadi bagian penting dari emerging economies yang akan menjadi alternatif pertumbuhan ekonomi dunia pada saat ekonomi Amerika dan Uni Eropa masih terus dibayangi krisis (Syamsul Hadi, 2011). Dengan demikian, di tengah percaturan dunia saat ini, kekuatan ekonomi ASEAN yang sedang tumbuh dapat menjadi perisai dan bagian penting dari Asia sebagai pusat globalisme baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar