Tidak
Mengutuk, Malah Dikutuk
Ahmad Syafii Maarif;
Mantan Ketua Umum Pimpinan
Pusat Muhammadiyah
|
REPUBLIKA, 25 Oktober
2016
Presiden Lawyers Club Karni Ilyas pada 11
Oktober 2016 mengundang saya untuk beri komentar tentang heboh pernyataan
Ahok yang dituduh menista ayat 51 surat al-Maidah saat kunjungan ke Pulau
Seribu. Dari studio TV One Yogyakarta malam itu undangan itu saya penuhi.
Sempat kesal sebentar karena tidak bisa segera berkomunikasi dengan Bung
Karni lantaran audio-visualnya rewel. Nyaris saja saya mau pulang. Kemudian
pulih kembali, tetapi saya tidak sempat mengikuti pendapat-pendapat keras
yang ingin memperkarakan Ahok, sekalipun yang bersangkutan sudah minta maaf
jika telah menyinggung perasaan sementara umat Islam.
Tuturan saya malam itu yang berbunyi “Ahok
bukan orang jahat” ternyata telah menuai kutukan beruntun terhadap saya dari
berbagai pihak, khususnya di dunia maya. Saya langsung dituduh membela Ahok.
Kutukan itu umumnya sangat kasar dan biadab, termasuk dari mereka yang
mengaku dari kalangan Muhammadiyah dan warga Minang. Tetapi yang membela saya
juga berjibun dari mereka yang telah mengenal saya dari jarak yang dekat.
Perkiraan saya, suasana panas ini tentu
bertalian dengan Pilkada DKI Februari 2017, di mana Ahok sebagai petahana
ingin maju lagi berhadapan dengan dua pasangan lainnya. Kemudian ada lagi
pernyataan saya: “tidak begitu mengenal Ahok,” langsung di dunia maya
ditampilkan gambar saya yang sedang makan di kantor Gubernur DKI, lalu
dilontarkanlah tuduhan pembohong kepada saya. Gambar Desember 2015 itu sudah
lama beredar dan sudah dijelaskan konteksnya.
Masalahnya sederhana saja. Maksudnya saya
tidak mengenal Ahok luar-dalam, kenal sekadarnya saja. Tetapi karena dinilai
lunak, tidak sejalan dengan arus keras yang sedang bersemangat dalam Lawyers
Club itu, maka jadilah saya dituduh sebagai seorang pembohong. Bahkan seorang
mantan menteri mengomentari gambar saya bersama Ahok itu “baru diajak makan
malam saja sudah ngeloyor.” Rupanya di mata teman ini, harga saya demikian
murah. Inilah risikonya, sekali orang memasuki ranah pinggir politik
kekuasaan, tafsirannya menjadi liar tak terkendali.
Tetapi berbagai kutukan telah berulang kali
dialamatkan kepada saya di masa lalu dalam menghadapi berbagai peristiwa.
Ingat awal tahun 2015, saat terjadi ketegangan antara KPK dan BG, saya
sebagai Ketua TIM 9, telah diserang dengan nada sangat keras oleh sementara
politisi dan oknum jenderal polisi. Dalam perjalanan waktu, publik pada
akhirnya bisa menilai siapa yang waras dan siapa pula yang kurang waras.
Bahkan Jenderal Tito Karnavian sudah tiga kali tahun ini saja bersama
rombongan berkunjung ke rumah saya di Yogya, belum lagi Komjen Suhardi Alius
yang pernah dituduhkan sebagai keponakan saya telah beberapa kali datang ke rumah.
Saya rasa polisi yang waras tidak punya kecurigaan apa pun pada sikap
kebangsaan saya yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan pribadi.
Oleh sebab itu tuduhan kepada saya membela
Ahok rasanya salah alamat, dan tidak akan pernah mempan. Saya bukanlah
sejenis orang oportunis, mengais cari makan dengan mengorbankan martabat
kemanusiaan saya. Dalam istilah Alquran, tuduhan itu barangkali tidak lebih
dari al-zabad, buih sebagai lambang kebatilan, tidak punya hakekat. Akan
sirna secara sia-sia. Mari kita saling menghargai dalam perbedaan, karena di
sanalah bertenggernya nilai kemanusiaan yang tertinggi. Jangan habiskan
energi bagi desakan kepentingan politik sesaat dengan menyeret nama Tuhan,
karena cara semacam itu jauh dari kearifan.
Bukankah gejala Ahok ini sebagai pertanda
keras dari kegagalan partai-partai Muslim menampilkan pemimpin yang dipercaya
rakyat? Belajarlah berfikir jernih. Dan saya akan sangat mendukung sikap agar
bangsa ini, khususnya Presiden Jokowi dan Ahok agar mewaspadai bahaya kekuatan
kuning yang semakin menguasai dunia ekonomi Indonesia. Jika cengkeraman ini
semakin tidak terbendung, akibatnya sudah pasti: nasib Nawacita yang ingin
berdikari di bidang ekonomi akan lumpuh di ujung perjalanan.
Kita sedang berada di persimpangan jalan dalam
masalah berat ini. Dengan semakin mendekatnya Presiden Filipina Rodrigo
Duterte ke kubu Beijing seraya mengucapkan sayonara kepada patron
tradisionalnya Amerika Serikat, maka politik luar negeri Indonesia yang bebas
aktif sedang dihadapkan kepada ujian berat yang kritikal. Oleh sebab itu,
dari pada menguras energi untuk mengutuk seseorang, akan lebih elok untuk
memandang dengan tajam nasib bangsa ini ke depan yang bisa kehilangan
kedaulatannya. Hilangnya kedaulatan sama maknanya dengan pengkhianatan terbuka
terhadap Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar