Pelajaran
Kearifan dari Kasus Ahok
Muhbib Abdul Wahab;
Dosen Pascasarjana FTIK UIN
Syarief Hidayatullah
dan UMJ
|
KORAN SINDO, 02 November
2016
Islam merupakan agama paling toleran dan cinta
damai karena visi pembumian Islam adalah mewujudkan rahmat (kasih sayang)
bagi semua di alam raya (rahmatan li
al-alamin). Kendati demikian, Islam sering difitnah sebagai agama teror
dan terorisme. Padahal, teror bisa dilakukan siapa saja, termasuk oleh negara
terhadap rakyatnya atau teror negara terhadap negara lain. Karena itu, Islam
menolak dan melarang umatnya melakukan kekerasan dan terorisme atas nama apa
pun, lebih-lebih atas nama agama.
Selain itu, Islam dan umat Islam di seantero
dunia, tidak terkecuali di Indonesia, juga sering diperlakukan secara tidak
adil. Sudah tidak terhitung jumlahnya, berapa kali Nabi Muhammad SAW dihina,
dinistai, dan dicaci maki. Alquran dirobek dan dibakar oleh mereka yang
membenci Islam. Umat Islam masih sabar dan bisa menahan diri.
Bahkan, boleh jadi masih bisa memaafkan karena
ketika Nabi SAW dilempari batu oleh penduduk Thaif saat hendak berdakwah,
beliau tidak marah, tidak emosi, dan tidak pula membalas dendam. Ketika
ditawari malaikat Jibril untuk ”membumi hanguskan” Thaif dengan melongsorkan
Gunung Thaif, Nabi SAW menolak, bahkan mendoakan: ”Ya Allah, berilah petunjuk
kepada kaumku karena mereka memang tidak memahami (Islam)”.
Kasus dugaan penistaan kitab suci agama Islam
yang dilakukan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) secara moral keagamaan
sesungguhnya sudah selesai dengan permohonan maaf dari Ahok. Namun, masalah
hukumnya memang tidak bisa diselesaikan dengan hanya minta maaf. Proses hokum
penista agama (Islam) tetap harus diproses demi tegaknya keadilan hukum.
Dalam konteks ini, aparat penegak hukum,
kepolisian, wabil khusus Presiden Jokowi, harus bersikap arif, bijak, dan
adil. Yang menyulut ”kemarahan dan kegeraman” publik, khususnya umat Islam,
adalah lambannya penanganan kasus penistaan agama yang diduga dilakukan Ahok.
Suara dan aspirasi umat Islam seolah diabaikan, tidak direspons positif,
bahkan cenderung dianggap seperti ”anjing menggonggong, kafilah tetap
berlalu”.
Publik bertanya, ada apa sesungguhnya dengan
Ahok dan di belakang Ahok? Apakah Ahok itu kebal hukum? Apakah demi membela
seorang Ahok, semua kepentingan negara dan republik ini harus dikorbankan?
Mengapa hingga detik ini Presiden RI sama sekali tidak merespons kasus Ahok?
Kekuasaan dan Keadilan
Kasus Ahok ini merupakan ujian berat penegakan
keadilan hukum di Indonesia. Rakyat, khususnya umat Islam, sudah sangat sabar
menunggu aparat penegak hukum bersikap objektif, fair,jujur, dan adil
menangani dan memproses kasus hukumnya. Publik banyak bertanya, apakah Ahok
dan Jokowi sedang ”main mata” dan ”saling sandera” terkait masalah hukum?
Kasus Ahok ini bisa menjadi seperti ”bola liar” yang berpotensi menimbulkan
keresahan dan ketidaknyamanan kehidupan masyarakat dan bangsa.
Jika kasus ini tidak ditangani secara
objektif, jujur, adil, dan transparan, tidak tertutup kemungkinan ”bola liar”
ini menjadi ”bom waktu” yang mengancam masa depanpersatuan, kesatuan, dan
keharmonisan bangsa. Sesungguhnya kasus Ahok itu tidaklah sulit untuk
diselesaikan selama pemimpin bangsa dan aparat penegak hukum bersungguh-sungguh
menunjukkan political will dan law inforcement yang jujur, adil, dan
transparan.
Sudah banyak laporan masyarakat yang
dialamatkan kepada Kepolisian RI, mengapa tidak segera ditindak lanjuti?
Diyakini bahwa jika Ahok segera dipanggil oleh Bareskrim untuk dimintai
keterangan sebagaiterlapor, lalu diproses hukumnya, dan dinyatakan sebagai
tersangka karena melanggar undang-undang tentang penistaan agama, dapat
dipastikan ”luka umat Islam” yang belum mendapatkan keadilan sedikit
terobati.
Jika kasus ini terus dibiarkan dengan
mengulur-ulur waktu, pengalihan isu, dan pencitraan palsu, dikhawatirkan ”bom
waktu” itu akan meledak. Ledakan kemarahan publik atas ketidakadilan dalam
penegakan hukum itu boleh jadi dampak dan ongkos sosialnya jauh lebih dahsyat
daripada peristiwa Mei 1998? Apakah demi seorang Ahok, Presiden akan
membiarkan negeri ini mundur ke belakang dan menjadi ”pemantik Indonesia
Spring ”, sebagaimana Arab Spring yang mengerikan dan meluluhlantakkan
sendi-sendi pembangunan peradaban? Menurut Ibn Taimiyah, negara dan kehidupan
bangsa itu akan aman, damai, dan penuh toleransi jika kebenaran dan keadilan
(hukum) ditegakkan.
Kekuasaan yang diberikan oleh rakyat melalui
proses demokrasi itu sejatinya merupakan mandat untuk menegakkan keadilan.
Jika mandat rakyat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan diabaikan oleh
pemegang kekuasaan (pemerintah dan aparat penegak hukum), dampak dari
pengabaian dan ketidak hadiran negara dalam penegakan kebenaran dan keadilan
hukum itu akan sangat mengancam ketertiban dan keamanan negara dan bangsa.
Sebab itu, kekuasaan (negara) harus hadir dan
tampil terdepan dalam penegakan kebenaran dan keadilan hukum. Pemimpin negeri
ini harus bersinergi membangun dan menegakkan kebenaran dan keadilan hukum
tanpa tebang pilih dan tanpa pandang bulu. Sila kelima Pancasila dengan jelas
dan tegas menyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Artinya, tidak ada manusia kebal hukum di
negeri ini, lebihlebih pejabat publik yang seharusnya menjadi teladan
masyarakat, tetapi malah menghina dan menista bukan hanya ulama, tetapi juga
kitab suci umat Islam. Menghina dan menista kitab suci sesungguhnya identik
dengan menghina dan menista Allah dan Rasul-Nya.
Pelajaran Kearifan
Diakui bahwa kasus Ahok ini sarat pelajaran
kearifan yang penting dijadikan sebagai bahan refleksi bersama.
Pertama, kekuasaan yang diberi mandat oleh
rakyat harus berani menegakkan kebenaran dan keadilan hukum terhadap siapa
pun yang melakukan pelanggaran hukum di negeri ini.
Jangan ada dusta di antara pemimpin dan
penegak hukum. Supremasi hukum harus benar-benar ditegakkan, tidak
dipermainkan, apalagi ”diperjual belikan dan diintervensi” pihak asing dan
aseng. Jika keadilan tidak ditegakkan terhadap kasus Ahok ini, berarti
lonceng kematian keadilan hukum sudah dibunyikan.
Kedua, kemaslahatan (kepentingan) bangsa dan
negara harus diutamakan daripada ”membela” dan ”melindungi” seseorang yang
diduga bersalah dan melanggar hukum.
Suara dan aspirasi keadilan hukum dari
masyarakat harus didengar dan direspons secara positif karena negara ini
didirikan antara lain untuk menegakkan keadilan demi terwujudnya ketertiban,
keamanan, kedamaian, kesatuan, dan persatuan bangsa.
Ketiga, penegakan keadilan hukum secara
objektif, jujur, adil, dan transparan adalah jalan perdamaian dan keadaban.
Yakinlah, umat Islam Indonesia sudah memaafkan
Ahok secara moral, tapi mereka hanya menuntut agar kasusnya diproses secara
hukum dengan seadil-adilnya dan sejujur-jujurnya, tidak pandang bulu dan
tebang pilih. Karena, kasus Ahok ini bukan hanya melukai hati umat Islam,
khususnya para ulama, tapi juga telah menista kitab suci, Allah, dan Rasul-Nya.
Keempat, hikmah dari kasus Ahok juga
”menyadarkan” umat Islam untuk membaca dan terus membaca Alquran.
Kesadaran back
to Alquran itu hendaknya menjadi momentum strategis dan titik balik untuk
meningkatkan pemahaman, penghayatan, pemaknaan, dan pengamalan nilai-nilai
Alquran oleh umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kelima, kasus Ahok juga menjadi pelajaran yang
sangat berharga bagi pejabat publik dan pemimpin negeri ini, betapa
pentingnya menjaga ucapan, perkataan, kebijakan, dan komunikasi publik yang
santun dan berkeadaban.
Bangsa ini ditakdirkan Allah SWT sangat
majemuk (plural) sehingga kesantunan dan keadaban pemimpin dalam bertutur
kata dan mengambil kebijakan haruslah senantiasa mempertimbangkan kearifan
publik dan nasional.
Tanpa kesantunan, keadaban, dan kearifan,
pemimpin tidak akan pernah menjadi pelayan bagi rakyat yang dipimpinnya, tapi
hanya akan sibuk pencitraan, pengembalian ”modal finansial” pencalonannya,
pembagian ”kue-kue kekuasaan” kepada pendukung dan mitra koalisinya, bahkan
boleh jadi sibuk mengabdi untuk kepentingan ”cukong-cukong” pemodal yang
mendanai kampanyenya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar