Sopan
Santun
James Luhulima ; Wartawan
Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 12 November
2016
“Tunjukkan
rasa hormat!” Itu diucapkan oleh
Presiden Amerika Serikat Barack Obama untuk menghentikan pendukung Hillary
Clinton yang menunjukkan rasa permusuhan terhadap seorang veteran perang AS
pendukung Donald Trump menyelinap ke pertemuan Partai Demokrat di Charlotte,
North Carolina, AS, 5 November lalu.
Orangtua
itu membawa poster bertuliskan ”Trump”, dan dengan nekat menyuruh para
pendukung Hillary Clinton untuk diam. Para pendukung Clinton langsung
meneriakkan ”wuuu…” kepada pendukung Trump yang muncul di acara kampanye
mereka. Namun, Presiden Obama yang pidatonya sempat terpotong karena ulah
pendukung Trump itu tidak marah, malah segera mencoba menghentikan teriakan
”wuuu…” itu.
Ketika
massa menjadi tidak terkendali, Obama dengan suara tegas meminta agar massa
menahan diri. Ia dengan suara keras mengatakan, ”Tenang, tenang!”, sebelum
meminta mereka untuk diam. ”Hei! Dengarkan! Saya meminta kalian untuk fokus,
tetapi kalian tidak fokus saat ini. Dengarkan apa yang saya katakan. Tenang!
Tenang! Tenang! Tenang! Semua duduk, dan diamlah untuk sesaat,” ujar Obama.
Setelah
berhasil mendapatkan perhatian dari massa kembali, Obama dengan suara lantang
mengatakan, ”Kalian menghadapi seorang tua yang mendukung calonnya. Ia tidak
berbuat apa-apa. Oleh karena kalian tidak perlu mengkhawatirkan dia. Inilah
yang saya maksud dengan orang-orang yang tidak fokus.”
Presiden
Obama kemudian membela hak orang tua itu untuk memprotes dan mengingatkan
mereka bahwa Amerika Serikat adalah negara yang menghormati kebebasan untuk
berbicara. Itu yang pertama dan yang kedua, ia telah membaktikan diri sebagai
militer, serta kita harus menghormatinya.
Yang
ketiga, ia adalah orang tua dan kita harus menghormati orang tua. Dan, yang
keempat, itu berhubungan dengan pemilihan umum, yakni berikan suara kalian,
jangan hanya meneriakkan ”wuuu…”.
Pensiunan
tentara yang dipercaya sebagai anggota 101st Airborne itu dengan penuh hormat
dikawal meninggalkan tempat pertemuan itu.
Sikap
yang diperlihatkan Presiden Obama itu sangat menarik. Ia mengajarkan secara
langsung bagaimana rasa hormat itu harus ditunjukkan. Pelajaran itu sangat
penting bagi kita semua. Oleh karena dalam beberapa tahun terakhir ini, kita
menyaksikan sendiri dalam kehidupan sehari-hari bagaimana rasa hormat itu
seakan sudah hilang dari adat istiadat orang Indonesia. Tidak semua memang,
kita tidak boleh menggeneralisasi, tetapi dalam keseharian kita sangat mudah
kita temui orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk menunjukkan rasa
hormat, terutama di media sosial. Mungkin karena tidak berkomunikasi secara
langsung atau tidak bertatap muka, orang cenderung melampiaskan perasaannya
tanpa rasa hormat sedikit pun.
Kritik
itu perlu
Di
Indonesia, jangan kan orang tua atau veteran tentara, seorang presiden pun,
yang seharusnya dihormati, sering kali tidak mendapatkan penghormatan
sebagaimana layaknya. Padahal, seorang presiden itu dipilih untuk menjadi
pemimpin oleh sedikitnya 70 juta suara pemilih. Oleh karena itu, tidak
berlebihan jika kita diminta untuk memperlakukan presiden dengan rasa hormat.
Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Sejak Presiden Jokowi dilantik
sebagai Presiden pada 20 Oktober 2014, tidak terhitung lagi banyaknya kritik
yang dilontarkan kepadanya tanpa rasa hormat sama sekali.
Ungkapan
ini jangan diartikan bahwa Presiden tidak boleh dikritik. Boleh, bahkan
kritik harus disampaikan agar Presiden mendapatkan gambaran yang utuh tentang
akibat yang ditimbulkan oleh kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Namun,
tentunya kritik itu disampaikan dengan cara-cara yang pantas. Kritik itu
mungkin tidak perlu konstruktif karena tidak semua bisa melakukannya, tetapi
menyampaikan kritik dengan rasa hormat semua orang seharusnya dapat
melakukannya.
Bangsa
kita dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah dan penuh sopan santun. Di dalam
sopan santun, tercakup sikap saling menghormati, menggunakan bahasa yang baik
dan tutur kata yang halus. Kita sungguh tidak boleh kehilangan jati diri
bangsa Indonesia itu.
Dalam
pembukaan Musyawarah Nasional VIII Lembaga Dakwah Islam Indonesia di Balai
Kartini, Jakarta, 9 November lalu, Presiden Joko Widodo mengungkapkan
kegundahannya terhadap percakapan yang saling menghujat, saling mengejek,
saling menjelekkan, dan saling memaki di media sosial. Bahkan juga antar-umat
Islam.
Menurut
Presiden Jokowi, debat atau diskusi tak beretika antar-umat Islam sudah
terlalu sering terjadi di media sosial. ”Jika hal itu dibiarkan, tidak akan
ada yang sadar ketika infiltrasi terjadi,” ujar Presiden.
Presiden
Jokowi juga menekankan bahwa debat tak beretika di media sosial itu tidak
sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia, yang dikenal penuh sopan santun.
Dalam kesempatan itu, Presiden Jokowi juga
mengungkapkan bahwa dirinya sudah meminta Kementerian Komunikasi dan
Informatika membuat aturan atau etika berinternet. Namun, ia juga menegaskan,
”Saya kira, kalau kita bersama-sama, melakukan itu, saya yakin yang
jelek-jelek di media sosial akan menjadi baik.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar