Kepahlawanan
Petani
Adig Suwandi ; Praktisi
Agribisnis
|
KOMPAS, 12 November
2016
Selaku
produsen usahatani, petani memikul beban merenda ketahanan pangan bangsa.
Tersedianya bahan pangan berkalori dan memenuhi persyaratan gizi kesehatan berkualitas
tinggi dan harga terjangkau adalah sebagian tugas melekat petani.
Mereka
juga berkontribusi menggalakkan ekspor hasil pertanian, berimbas meningkatkan
devisa dan membantu tersedianya lapangan berusaha sehingga gelombang
urbanisasi dapat dibendung. Meski kontribusi terhadap PDB cenderung menurun
seirama transformasi struktural menuju basis industrial, besaran atau nilai
absolutnya tetap dipatokmeningkat. Sayangnya, kebijakan tak berpihak dan
kontraproduktif terhadap pemberdayaan petani masih berlangsung.
Indikator
kesejahteraan
Capaian
petani selalu disandingkan dengan produk pertanian luar negeri meski semua
tahumereka bermain pada lapangan tak sama (unequal playing field).Perlakuan
tak sepadan menyangkut insentif dan subsidi diberikan banyak negara industri
maju terhadap sejumlah petani mereka yang hanya sekitar 2,5 dari total
penduduk. Meski negara-negara itu penganjur dan penganut mazhab merkantilisme
dan perdagangan bebas, atas nama kepentingan nasionalnya berbagai perangkap
demi menangkal masuknya produk pangan impor terus diberlakukan, bahkan secara
terang-terangan.
Berdalih
keamanan pangan (bio-security), rintangan masuk terhadap produk pertanian
primer melengkapi dramaketidakberdayaan struktural petani kita. Selain
penguasaan lahan rata-rata kurang dari 0,50 hektar, sejumlah kebijakan
proteksi seharusnya jadi instrumen negara untuk lebih selektif menerima
kehadiran produk impor, tak mereka terima.
Kesejahteraan
petani menjadi pertaruhan. Tampak jelas dari nilai tukar petani (term of trade/
NTP) menunjuk kemampuan tukar produk dihasilkan terhadap
barang/jasadibutuhkan untuk konsumsi rumah tangga. Secara umum, NTP pada 2012
masih di atas 100, yaitu 105,87 (Desember 2012), tetapi tak ada peningkatan
signifikan dibanding 2011 (NTP Desember 2011 sebesar 105,75). Angka ini belum
ideal karena sebagian besarpendapatan petani hanya teralokasikan untuk
pembiayaan kebutuhan primer bersifat faali.
NTP33
provinsi periode September 2016 bergerak ke posisi102,02 atau meningkat 0,45
persen dibanding Agustus 2016 sebesar 101,56. Indeks harga dibayar petani
juga naik (0,28 persen dari 124,22 menjadi 124,56), tetapi tak sebesar indeks
harga diterima. Kenaikan NTP juga dipengaruhi naiknya NTP subsektor tanaman
pangan 0,42 persen, hortikultura 0,34 persen, tanaman perkebunan rakyat0,14
persen, dan peternakan0,94 persen.Sementara subsektor yang mengalami
penurunan hanya satu, perikanan, yang turun 0,06 persen. Kenaikan NTP
subsektor peternakan 0,94 untuk keseluruhanSeptember 2016.
Sensus
Pertanian 2013 merekam, usaha pertanian di Indonesia dilakukan 26,14 juta
rumah tangga (RT), menurun 5,10 juta RT atau 16,32 persen dibanding 2003
dengan jumlah 31,23 juta atau rata-rata 1,77 persen merupakan andil terbesar
dalam kenaikan NTP secara per tahun. Ada tiga subsektor penting penopang
sektor pertanian karena paling banyak diusahakan: tanaman pangan (17,73 juta
RT), peternakan (12,97 juta RT), dan perkebunan (12,77 juta RT).
Petani
gurem pada 2013 mencapai 14,25 juta atau 55,33 persen total RT usaha
pertanian pengguna lahan. Jumlah ini turun 4,77 juta atau 25,07 persen
dibandingkan 2003 (19,02 juta). Komposisi RT petani gurem terbanyak berada di
Jawa 10,18 juta atau sekitar 71 persen dari total RT petani gurem Indonesia.
Sementara
tanaman perkebunan pada 2013 diusahakan 12,8 juta RTyang mengusahakan atau
hampir 50 persen totalRT pertanian. Untuk luas tanamnya, karet dan kelapa
sawit terbesar: rata-rata 1,57 hektar untuk karet dan 2,15 hektar untuk
kelapa sawit. Sementara tanaman perkebunan lain rata-rata luas tanamannya
kurang dari 1 hektar.
Korelasi
antara skala usaha dalam bentuk kepemilikan lahan menjadi persoalan
struktural sejaklama sehingga jika reformasi agraria tidak berjalan
signifikan, pemiskinan petani bakal menjadi bahaya laten. Konsolidasi lahan
di tangan sekelompok kecil elite desa dengan penguasaan aset produktif lebih
banyak dan akses luas tak dapat dihindari. Secara involutif, petani gurem pun
tergeser menjadi buruh tani atau mencari pekerjaan lain kota-kota besar
dengan masuk ke ekonomi informal dan menjadi tenaga kerja Indonesia di luar
negeri.
Kesejahteraan
petani
Upaya
meningkatkan kesejahteraan petani dan komunitas pedesaan pada umumnya tak
dapat dilihat semata-mata dari capaian produksi usahatani melalui introduksi
benih unggul dan penerapan agroekoteknologi ramah lingkungan yang mampu
menghadapi perubahan iklim bersifat global, melainkan juga penataan kembali
pola penguasaan aset dan kapabilitas teknis untukmencapai perbaikan
kesejahteraan lebih adil. Transmigrasi mungkin bisa jadi alternatif bagi
warga tanpa penguasaan tanah di Jawa untuk memulai kehidupan baru lebih baik.
Demikian pula pengembangan kewirausahaan pertanian (agropreneurship) yang
sudah mulai tumbuh dan banyak melibatkan kalangan muda, diyakini bakal
mendorong penguatan basis ekonomi pedesaan.
Negara
memastikan hadir untuk bersama-sama petani merekonstruksi sejumlah kebijakan
yang selama ini dirasakan kurang kondusif. Meski Indonesia terikat sejumlah
kesepakatan global dan multilateral terkait implementasi liberalisasi
perdagangan dan investasi secara menyeluruh dengan tahapan tertentu, bukan
berarti negara bisa begitu saja menyerahkan persoalan pertanian kepada
mekanisme pasar.
Selama
transaksi dilakukan secara fair, tentu Indonesia harus patuh pada kesepakatan
itu. Namun, apabila praktik tadi sarat distorsi dan perdagangan tak fair, tak
ada salahnya kita juga meminta dilakukannya peninjauan ulang sehingga
pembiaran petani dapat dihindari.Namun, juga tak menutup mata terhadap
sejumlah kekurangan melekat pada pertanian kita yang terasa begitu jauh dari
praktik budidaya terbaik dan terukur sehingga bermuara pada rendahnya daya
saing. Sayangnya banyak orang lebih suka melakukan sosialisasi implementasi
liberalisasi disbanding memperjuangkan hak-hak petani menuntut perlakuan
lebih adil terhadap profesinya.
Pengarusutamaan
pertanian tetap relevan. Sampai kapan pun dan bagaimanapun tingkat kemajuan
industri sebuah negara dicapai, tak mungkin melepaskan diri dari aktivitas
pertanian. Kesadaran bahwa menyerahkan ketersediaan pangan kepada pasar
global bagi sebuah negeri berpenduduk lebih dari 265 juta dengan sumber daya
alam berlimpah merupakan tindakan bunuh diri, hendaknya diresapi secara
filantropis dengan meningkatkankompetensi teknis manajerial para petani
ditunjang kebijakan penyediaan agro-input, sarana penunjang, dan pasar yang
berkembang dinamis.
Sumber daya lahan dan agroklimat begitu
mendukung upaya nyata percepatan peningkatan produksi hingga terenda
swasembada, bahkan ekspor, tetapi semuanya tersandera sejumlah regulasi
tumpang tindih yang merefleksikan masih berlanjutnya ego sektoral
antarkementerian dan tarik ulur antara pusat dan daerah. Redesain peran nyata
untuk bisa berkontribusi dalam percepatan terwujudnya kedaulatan pangan
bangsa dengan efek berantai berupa meningkatnya kesejahteraan warga desa,
berkembangnya agroindustri, dan secara bertahap merebut kembali kemerdekaan
pasar dari produk impor tercakup di sini.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar