Dahlan
Iskan dan Jurnalisme Bela Diri
Sirikit Syah ;
Mantan wartawan; Dosen
Stikosa-AWS; Pendiri LKM Media Watch
|
JAWA POS, 31 Oktober
2016
PERISTIWA penahanan Dahlan Iskan, tersangka
korupsi aset BUMD yang pernah dipimpinnya, memiliki beberapa dimensi yang
menarik untuk dicermati, terutama bagi pembelajar ilmu
komunikasi-jurnalistik.
Pada dimensi jurnalistik, Jawa Pos Group,
artinya semua surat kabar milik kelompok ini di seluruh Indonesia dan itu
jumlahnya lebih dari 100, menyikapi penahanan tersebut dengan melakukan jurus
’’serangan balik’’.
Jawa Pos Group secara efektif membangun opini
publik bahwa DI dizalimi. Strategi itu juga menumbuhkan sense of common
enemy, perasaan memiliki musuh bersama, yakni penguasa yang lalim, yang diwakili
oleh lembaga kejaksaan.
Saya terdorong menulis artikel ini setelah
mendapat SMS dari sahabat saya Ninok Leksono, wartawan senior grup Kompas
yang kini menjadi rektor Universitas Multi Media milik Kompas Group di
Tangerang.
Menurut Ninok, gaya/model ’’jurnalisme
pembelaan’’ atas penahanan DI tersebut amat layak dikaji. ’’Apakah ini bisa
disebut partisan, dominasi owner, arogansi pers, atau justru jurnalisme
kesatria dan berimbang?’’ tanya Ninok. Dia menambahkan, pemberitaan gaya baru
itu menarik untuk bahan skripsi atau tesis, baik ditinjau dari bahasa maupun
standar jurnalistik.
Saya pada pendirian bahwa pemilik koran bebas
saja memuat berita. Toh, itu kertas sendiri (tidak seperti radio dan televisi
yang menggunakan ranah publik). Apalagi, kita menganut pers bebas sejak era
reformasi. Rambu-rambunya juga jelas: asal tidak memfitnah, tidak mencemarkan
nama baik, menghasut untuk berperang, serta mengumbar sadisme dan pornografi.
Jadi,
ketika Jawa Po Group mengelaborasi dugaan-dugaan korupsi
sang jaksa dengan nada ’’serangan balik’’ dan mungkin kurang seimbang, ujian
bagi berita Jawa Pos hanyalah: apakah semua laporannya
dapat dipertanggungjawabkan. Bila terbukti laporannya salah atau ngawur, Jawa
Pos pasti sudah
tahu konsekuensinya: diminta untuk memuat hak jawab dan/atau dilaporkan
dengan pasal pencemaran nama baik (KUHP).
Di
ranah media sosial, hashtag #savedahlaniskan menjaditrending viral beberapa hari belakangan ini.
Membaca pesan diFacebook ibarat membaca obituary Dahlan
Iskan. Orangnya masih hidup, segar bugar, masih tersenyum lebar saat saya
jumpai di Rutan Medaeng pada Sabtu kemarin. Namun, masyarakat riuh rendah
menulis hal-hal baik tentang DI. Dini Rahim (PR SCTV pada 1990–2000-an), misalnya,
bercerita: ’’Pak Dahlan orangnya very humble. Pernah
bertemu di bandara, eh, dia mohon izin nunut mobil saya ke Graha Pena. Saya
tentu senang dinunuti Pak Dahlan. Banyak ceritanya.’’
Supandi
Syahrul (mantan wartawan SCTV, kini pengusaha)
terkesan ketika pada suatu hari dia menjumpai Dahlan Iskan tidur di sofa
kantornya. DI melarang staf Supandi menelepon bahwa Dahlan bertamu. Dahlan
mau menunggu saja, sampai tertidur. Ternyata Supandi hanya diminta untuk
mengantar ke Stadion Tambaksari untuk nonton sepak bola. Tentunya sambil
bercerita banyak hal di perjalanan.
Zed
Abidin (wartawan senior Surabaya Post dan Tempo di Mojokerto) mengisahkan bagaimana
pada 1994 Dahlan dimarah-marahi oleh Goenawan Mohammad karena korannya tidak
memuat berita perlawanan wartawan atas diberedelnya majalah Tempo, Detik,
danEditor.
Dahlan hanya berkata: ’’Saya tidak bisa apa-apa.’’ Maksudnya mungkin, ’’Ini
rezim Orba. Pemerintahan Soeharto. Kami bisa apa?’’ Namun, tidak lama
kemudian Zed Abidin mencatat, Dahlan menampung cukup banyak wartawan jebolan Tempo di media grupnya. ’’Mungkin itulah
cara dia berjuang, cara dia menolong kami,’’ kenang Abidin.
Posting-an
banyak orang di Facebook mirip obituary.
Dalam obituary, seseorang
hanya dikenang segala hal yang baik dalam hidupnya. Oke, Dahlan bukan manusia
sempurna dan jelas bukan malaikat. Kita juga sudah sering mengecam atau
mengkritik dia. Tetapi, saat seperti ini kita perlu mendengarkan
komentar-komentar baik.
Arief
Afandi (mantan Pemred Jawa Pos dan direktur PWU) mem-posting: ’’Saya saksi
hidup bahwa dia, insya Allah, tidak pernah ambil uang negara. Apalagi hanya
aset BUMD. Sebagai Dirut PWU selama sepuluh tahun, dia tidak digaji dan tidak
menerima fasilitas apa pun. Yang pasti, kekayaan PWU bertambah di tangan
dia.’’
Dahlan
Iskan, di mata saya, adalah wartawan pekerja keras yang patut diteladani. M.
Cholil, dosen senior Stikosa-AWS, juga tidak pernah bisa melupakan jasa
Dahlan Iskan. ’’Beliau menyelesaikan persoalan di Stikosa-AWS saat genting
pada 1995. Pada 2003, beliau juga menyumbang sebuah mobil untuk
operasional.’’ Dahlan Iskan kemudian menempatkan Dhimam Abror sebagai ketua
harian yayasan yang membawahkan Stikosa.
Saya dan Supandi juga
tidak akan pernah lupa, pada 1997, ketika kami mendirikan sekolah
broadcasting pertama di Surabaya (Centris), Dahlan mengulurkan tangan memfasilitasi
kantor kami. Ketika pada 1999 saya dan beberapa kawan mendirikan media watch
pertama di Indonesia, LKM, Dahlan menyediakan kantor, mengirimi buku-buku
yang berkaitan dengan pekerjaan kami, bahkan membantu keuangan penerbitan
jurnal bulanan melalui Pemrednya waktu itu, Arief Afandi.
Ini memang bukan obituary.
Dahlan Iskan masih hidup dan sehat. Tetapi, ini saat yang tepat untuk
mengatakan bahwa dia bukan warga negara biasa. Dia membangun literasi baca di
seluruh Indonesia dengan menerbitkan koran-koran daerah, termasuk daerah
terpencil yang minat bacanya rendah. Dia menyelamatkan Stikosa-AWS, dia
mengapresiasi gerakan kecil yang dianggapnya signifikan, misalnya sekolah
broadcasting dan media watch.
Dimensi ketiga yang akan
menutup tulisan ini adalah persoalan hukumnya. Dia ditahan dengan
tergesa-gesa atas sangkaan kerugian negara yang belum dikalkulasi jumlahnya,
dengan fakta bahwa BUMD yang dipimpinnya malah menambah aset di bawah
kepemimpinannya, dan kesalahannya hanya menandatangani dokumen yang disiapkan
anak buahnya. Kalau itu memang salah, tetap saja dia tidak layak diperlakukan
seperti koruptor yang benar-benar korup.
Kisah Dahlan mengingatkan
saya kepada novel Victor Hugo Les Miserables. Betapa gigihnya polisi mengejar
pencuri yang mencuri karena lapar. Sampai sang pencuri hidup sukses, berubah
menjadi tokoh dermawan yang disegani, tetap saja dia dikejar atas kesalahan
kecilnya pada masa lalu.
Dahlan punya kesalahan
kecil. Mungkin penguasa akan terus mengejar dia hingga ke ujung hidupnya,
atau –seperti di kisah Hugo– hingga akhir hidup sang polisi. Terjemahan saya:
akhir rezim penguasa yang ini. Pers memang harus independen dan objektif.
Namun, dalam keadaan darurat, pers berhak melakukan perlawanan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar