Agar
Pemilihan Rektor Tidak Kotor
Amzulian Rifai ; Ketua
Ombudsman RI
|
KORAN SINDO, 07 November
2016
Isu
suap pemilihan rektor di perguruan tinggi negeri (PTN) mencuat di antaranya
karena adanya laporan maladministrasi ke Ombudsman.
Misalnya
ada laporan ijazah calon rektor di luar kewajaran, tuduhannya menempuh studi
S-3 lewat jalur online, tetapi tetap dipaksakan. Laporan di PTN lainnya
jumlah anggota senat universitas yang tidak wajar, membengkak. Bahkan belasan
anggota senat yang sedang menempuh pendidikan di provinsi lain tetap memiliki
hak pilih.
Gaung
isu suap ini diperkuat oleh Ketua KPK Agus Rahardjo yang secara
terang-terangan di hadapan publik menyampaikan secara langsung kepada
Menristek Dikti soal isu suap ini. Hal itu diungkapkan dalam acara Corruption
Summit di UGM, Yogyakarta. Dipertegas pula oleh Direktur Pendidikan Tinggi
Bappenas ketika sebagai narasumber dalam diskusi Perspektif Indonesia
beberapa waktu lalu.
Sungguh
pun harus dibuktikan, informasi ke Ombudsman tidak kalah mencengangkannya.
Ada informasi bahwa untuk menjadi rektor ada yang memberikan uang pelicin
Rp1,5 miliar-5 miliar. Bagi Ombudsman ini sekadar informasi yang bukan
menjadi kewenangan lembaga negara ini untuk mendalaminya. Ombudsman RI hanya
fokus pada perbuatan maladministrasi saja.
Lembaga
ini tidak memiliki kewenangan penyelidikan dan penyidikan korupsi. Soal
pembuktian ada tidaknya korupsi dalam pemilihan rektor perguruan tinggi milik
pemerintah menjadi ranah penegak hukum, termasuk KPK. Informasi soal dugaan
suap ini pun sudah masuk ke KPK dan menjadi kewenangan lembaga ini untuk
menuntaskannya. Wajar saja jika Ketua KPK menyampaikan langsung soal ini
kepada Menristek Dikti ketika acara antikorupsi di Yogyakarta itu.
Pastilah
banyak pihak menyangkal adanya suap pemilihan rektor. Namun merebaknya soal
ini memunculkan dua hal yang tidak baik. Pertama, cerita adanya suap dalam
pemilihan rektor ini sudah menjadi bahan cerita di banyak tempat. Bukan lagi
bisik-bisik, tetapi dalam banyak kesempatan sudah terangterangan ceritanya.
Selain
itu isu adanya suap dalam pemilihan rektor sangat merugikan perguruan tinggi
dan Kemenristek Dikti serta dunia pendidikan tinggi pada umumnya. Betapa
tidak, selama ini perguruan tinggi dinilai sebagai tempat yang identik dengan
nilai-nilai moral. Apalagi perguruan tinggi pula yang mengajarkan nilai-nilai
demokrasi dan antikorupsi. Bagaimana jadinya jika ternyata ada di antara
pemilihan rektor sebagai hasil dari praktik menyimpang dalam bentuk suap?
Atasi
Akar Masalahnya
Di
masa lalu, tidak pernah terdengar adanya isu suap dalam pemilihan rektor di
perguruan tinggi milik pemerintah sebagaimana yang terjadi sekarang ini.
Jabatan rektor hanyalah sebagai tugas tambahan bagi seorang dosen yang masih
memiliki kemampuan untuk mengembannya. Salah satu sebabnya mungkin di masa
lalu itu kampus memiliki otonomi dalam pemilihan rektornya, tidak ada campur
tangan dari pihak luar.
Jikapun
menteri berhak menentukan siapa yang dilantik di antara calon yang terpilih
oleh senat universitas, akan sangat langka menteri berpendapat lain, tidak
sama dengan yang diputuskan oleh para anggota senat. Namun kemandirian
perguruan tinggi negeri dalam memilih pimpinan tertingginya berubah sangat
signifikan ketika diterbitkannya peraturan menteri yang menjadikan menteri
sangat dominan.
Ketentuan
itu adalah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 24
Tahun 2010 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur pada
Perguruan Tinggi yang Di-selenggarakan oleh Pemerintah. Memang kemudian
diperbaharui dengan Permenristek Dikti No 1 Tahun 2015. Selanjutnya
diterbitkan lagi Permenristek Dikti No 1 Tahun 2016.
Namun
esensi untuk mekanisme pemilihan rektor dalam dua peraturan menteri perubahan
tersebut sama saja, yaitu memberikan suara mayoritas kepada Menristek Dikti.
Dalam Permenristek Dikti No 1 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan
Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur pada Perguruan Tinggi Negeri, Pasal 7
menegaskan: (e) pemilihan rektor/ketua/direktur dilakukan melalui pemungutan
suara secara tertutup dengan ketentuan: (1) menteri memiliki 35% (tiga puluh
lima persen) hak suara dari total pemilih; dan (2) senat memiliki 65 (enam
puluh lima persen) hak suara dan masing-masing anggota senat memiliki hak
suara yang sama.
Mungkin
sebagian besar publik tidak memahami bahwa dalam pelaksanaannya, Menristek
Dikti sesungguhnya memiliki jumlah suara di atas 50%. Menteri menerbitkan
aturan dan cara hitung-hitungan sendiri dalam soal pembagian suara 35% versus
65% tersebut. Saya awam soal matematika karena membayangkan 35% dari 100
kertas suara itu sama dengan 35 kertas suara.
Artinya,
anggota senat 100 lembar kertas suara dan menteri 35 kertas suara. Ternyata
dalam praktik, hitung-hitungannya tidak demikian. Ada rumus tersendiri yang
saya juga tidak pahami. Kebetulan saya pernah dua periode menjadi sekretaris
senat universitas dan pernah pula memimpin prosesi pemilihan rektor. Rumus
yang disampaikan kepada panitia pemilihan untuk diikuti ada tersendiri lagi.
Cara
menghitungnya adalah 35 dibagi 65 lalu dikalikan n (jumlah anggota senat).
Artinya jika anggota senat suatu PTN adalah 100 orang, menteri me-miliki
kertas suara sebanyak 54 lembar. Sesuai ketentuan calon rektor yang masuk final
itu tiga orang sebelum menteri menggunakan hak suaranya. Biasanya 100 suara
anggota senat itu akan menyebar kepada tiga calon.
Tidak
pernah menumpuk hanya kepada satu kandidat saja. Sementara suara menteri
sudah menunggu 54 suara. Artinya kepada siapa suara menteri ini dibagikan,
“sudah pasti” dialah yang bakal menjadi rektor. Pokok pangkal masalah
sesungguhnya adalah pada hak suara 35% (dalam praktik lebih dari 50%) ini
yang menjadi persoalan.
Itu
sebabnya cara paling ampuh mengatasi masalah ini adalah dengan mencabut
peraturan menteri tentang hak suara tersebut. Berikan saja 100% suara kepada
anggota senat universitas. Kementerian lebih fokus pada pengembangan
universitas dari aspek fasilitas dan akademiknya.
Bukan
Era Mohammad Nasir
Saya
ingin menegaskan bahwa terbitnya ketentuan 35% suara (dalam praktik
sesungguhnya lebih dari 50% suara) diterbitkan oleh menteri periode
sebelumnya, bukan oleh Menteri Mohammad Nasir. Salah juga jika ada yang
menuduh bahwa beliau yang sengaja membuat aturan ini untuk kepentingannya.
Saya menilai Menteri Mohammad Nasir sangat terbuka dengan perbaikan-perbaikan
mengenai mekanisme pemilihan rektor yang dipersoalkan itu.
Menteri
secara tegas menyatakan “silakan lapor ke polisi” terhadap siapa saja yang
terlibat. Kita mendukung sikap tegas beliau. Hanya saja, dalam soal hak suara
35% (dalam praktik lebih dari 50%) ini ada perbedaan mendasar antara menteri
era kini dan masa sebelumnya. Di era menteri sebelumnya suara lebih disebar.
Ada pembagian “agak merata” antarkandidat.
Di
era sekarang ini, suara menteri tumplek blek diserahkan kepada satu kandidat
saja. Tentu ada plus-minus dengan cara fokus kepada satu kandidat saja, tidak
satu pun diberikan kepada kandidat lain.
Pertama,
cara inimemungkinkankandidat dengan suara paling rendah di tingkat
universitas terpilih sebagai rektor karena mengantongi semua suara Menteri
yang lebih dari 50% tadi.
Akibat
“tidak sehatnya” juga cukup nyata. Rektor terpilih mengantongi suara
minoritas di tingkat grass root. Akibatnya sangat mungkin bakal agak kewalahan
melaksanakan program-programnya karena dukungan yang tidak penuh. Selain itu,
ini celah masuknya, suara 50% lebih yang dimiliki menteri dan mutlak
diberikan kepada satu calon menjadi sangat menggiurkan. Menggiurkan bagi “tim
sukses” rektor dan menjanjikan pula bagi mereka yang mampu memanfaatkan
peluang ini untuk melakukan berbagai manuver yang berujung pada urusan
finansial.
Kampus
sebagai Teladan
Selama
ini perguruan tinggi itu menjadi rujukan banyak hal, terutama soal moralitas
dan kredibilitas. Jika benar apa yang dirumorkan, moralitas dan kredibilitas
itu runtuh sudah. Tidak sejalan dengan topik yang sering dikuliahkan. Selama
ini perguruan tinggi paling lantang meneriakkan soal rendahnya moralitas dan
kredibilitas dalam pilkada, misalnya.
Pihak
luar sekarang dapat juga mengarahkan telunjuknya ke perguruan tinggi
sekaligus dengan cibirannya. Itu sebabnya harus segera diambil langkah nyata
mengatasi persoalan ini. Setidaknya ada dua hal yang membuat kita mengapresiasi
apa yang telah dilakukan oleh Mensristek Dikti.
Pertama,
komitmen beliau untuk memproses hukum siapa saja yang benar-benar terbukti
terlibat dalam suap pemilihan rektor tersebut.
“Lapor
saja ke aparat hukum,” demikian berkali-kali diucapkan dalam berbagai
kesempatan, termasuk ketika saya kontak beliau menginformasikan soal ini.
Selain itu Menristek Dikti telah pula mengundang Ombudsman, KPK, dan KASN
membicarakan aturan pemilihan rektor. Dibicarakan bagaimana sebaiknya aturan
pemilihan ke depan dengan cara merevisi ketentuan yang ada. Sebagaimana juga
banyak suap di negeri ini, mungkin hanya sebagian kecil saja yang mampu
dibongkar.
Sulit
mencari orang yang berani memberikan kesaksian. Boleh jadi karena di antara
mereka menjadi bagian dari tindak pidana itu. Seandainya benar-benar ada,
mana mungkin “rektor terpilih” berkenan bercerita apa adanya. Kita
mengapresiasi “langkah cepat” Menristek Dikti yang segera merespons temuan
Ombudsman RI yang juga di-echo oleh KPK.
Saya yakin bakal ada rumusan-rumusan
perbaikan aturan. Namun haruslah tuntas revisi aturan pemilihan rektor itu.
Langkah penting menuntaskan isu kotor pemilihan rektor ini dengan to the
point saja, batalkan hak suara menteri 35%. Apalagi dalam praktiknya, suara
menteri tersebut dengan kalkulasi khusus, sesungguhnya sekitar 54%, bukan
35%. Inilah satusatunya cara cepat agar pemilihan rektor tidak kotor dan
tidak terus menjadi rumor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar