Manusia
dan Satwa
Reza Indragiri Amriel ; Psikolog
Forensik;
Pernah Bekerja di Center for
Education, Research and Environmental Strategies
|
KORAN SINDO, 07 November
2016
Hanya
dengan melihat gerakan daun dan mendengar siulannya, aku bisa menembak burung
yang tak terlihat langsung karena terhalang dedaunan.
Yang
paling “fantastis” adalah tatkala aku membedil kelelawar yang menggelantung
di ruas daun kelapa di belakang rumah datukku. Hari itu, dengan senapan angin
yang sebetulnya masih terlalu berat untukku, peluru yang kutembakkan berhasil
melukai kelelawar itu. Beberapa tetes darahnya jatuh tak jauh dari kakiku.
Tapi
makhluk mirip tikus terbang itu mampu bertahan di tempat tidurnya. Kutembak
lagi, kelelawar itu bergerak, tetapi—lagi-lagi—ia tetap menggelayut kokoh.
Tembakan ketiga, blar! Kelelawar jatuh ke tanah. Bak polisi-polisi di film,
kuusik kelelawar itu dengan kakiku.
Tak
ada tanda-tanda kehidupan. Masih dengan kakiku, kubalik tubuh kelelawar itu,
kusibak kedua sayapnya, dan di detik itulah penghargaanku terhadap kehidupan
berbalik arah! Mataku menangkap seekor bayi kelelawar bergerak-gerak di perut
induknya yang telah terkapar. Kubayangkan bayi kelelawar itu terganggu saat
tengah asyik menyusu di tetek ibunya.
Pada
detik itulah seolah kudengar ramai jeritan pilu dari balik daun-daun kelapa
di atas kepalaku. Ribuan malaikat pun seakan seketika itu pula terkulai di
lutut mereka dan, dari atas awan, menumpahkan desah tangis ke dua kelelawar
itu sekaligus menyemburkan sumpah serapah ke diriku. Aku terpaku. Tak lama,
bayi kelelawar itu akan menyusul induknya terbang ke alam baka. Dan dengan
senapan masih di tangan, aku tersentak.
Kesenanganku
di siang bolong yang panas itu dalam tempo singkat telah membuat seekor induk
kelelawar kehilangan napasnya dan seekor bayi kelelawar menjadi yatim piatu
lalu mati pelanpelan karena tak lagi bisa mengisap susu induknya. Di kemudian
waktu, kubaca di sebuah buku, salah satu penanda kepribadian psikopat adalah
suka menyiksa binatang pada masa kanak-kanak.
Killing
for fun, menjadikan aksi mencabut nyawa sebagai sebuah hobi, sungguh tidak
ada budi perangai yang lebih biadab daripada itu! *** Bukan sekali dua kaliku
berpapasan dengan orang-orang yang menikmati sore sambil menenteng- nenteng
senapan angin. Burung-burung yang pulang ke sarang adalah incaran mereka.
Bukan
sekali dua kali pula dengan geledek yang sambar-menyambar di kepala,
kuhampiri pemburu-pemburu kampungan itu dan kutanya, “Burungnya akan
dipelihara?” Mereka menggeleng. “Atau mau dimakan?” Mulut mereka nyengir.
“Lantas, kalau bukan untuk dipelihara atau untuk dimakan, akan diapakan?
Mati, ditinggal begitu saja?” Para pembunuh itu merupakan gambaran kontras
dengan seorang pelacur yang diriwayatkan masuk surga berkat jasanya menampung
air dengan terompahnya kemudian memberikannya ke seekor anjing buduk yang
kehausan.
Tengoklah
bagaimana perempuan hina itu berikhtiar memperpanjang hidup makhluk yang
nyaris mati, sedangkan para penembak burung tadi justru mempersingkat hidup
makhluk yang sejatinya masih jauh dari mati.
Beberapa
bulan silam, ketika jerebu mengurung sekian banyak wilayah di Indonesia,
sebuah ajakan kusebar melalui sejumlah aplikasi ponsel cerdas.
Isinya
sebatas mengingatkan bahwa akibat bencana asap, binatang- binatang di hutan
pun ikut sekarat. Tragisnya, manakala satwa-satwa itu turun ke perkampungan
untuk menyelamatkan diri, masyarakat justru panik bukan alang-kepalang.
Hewan-hewan yang sesungguhnya tengah mencari pertolongan itu justru ditebas,
ditembak hingga mati.
Apa
respons yang kuterima? Tidak ada. *** Belum lama keluargaku memutuskan untuk
mengadopsi anak orangutan. Sura namanya. Dengan jumlah hampir 7.000 orangutan
Sumatera dan 36 ribuan orangutan Kalimantan, Sura menjadi 1 dari 25 jenis
satwa yang dilindungi negara. Sura masih berusia empat bulan ketika terpaksa
berpisah dari bundanya.
Sang
bunda tidak terselamatkan, sementara Sura telah kehilangan tiga jari dan
cedera parah ketika dievakuasi Borneo Orangutan Survival Foundation. “Adopsi”
benar-benar sebuah pilihan kata yang melambangkan kedekatan relasi antara
orangutan dan manusia. Walau diadopsi, Sura tetap tinggal di pusat
rehabilitasi orangutan di Kalimantan sana.
Dengan
mengadopsi Sura, keluargaku ikut serta membantu pemeliharaan
dan—kelak—pelepasliaran Sura kembali ke rumahnya yang sesungguhnya, yaitu
rimba belantara. Foto Sura, dengan jari-jarinya yang putus, kutayangkan di
media sosial. Kububuhkan tulisan: Sura kini telah menjadi bagian dari
keluarga kami.
Ya,
keluarga; kesamaan genetika antara Sura dan kami mencapai 98%. Sisanya, 2%,
termanifestasi pada rambut dan kemampuan bicara. Sayangilah yang ada di bumi,
maka engkau akan dicintai oleh Yang di Langit.
Semoga
kian banyak di antara kita yang terobsesi dengan janji Allah SWT itu. Aku
membatin, bagaimana mungkin membunuh binatang dijadikan sebagai hobi?
Bagaimana mungkin ada manusia-manusia yang seolah terobsesi ingin menghabisi
binatang-binatang yang kusebut tadi? Hampir semua orang lupa betapa hukum
Indonesia sesungguhnya memuliakan binatang.
Membunuh,
menganiaya, menelantarkan binatang secara keji dan semena-mena adalah perkara
serius yang diancam sanksi pidana. Bacalah Pasal 302 KUHP dan Pasal 21 UU
5/1990, jika tak percaya! Momen Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional yang
jatuh pada 5 Oktober lalu harusnya bisa menjadi pengingat kita.
Ada
sekian banyak peranti hukum lainnya yang hitam di atas putih menjamin
kesejahteraan hewan. Tapi apa boleh buat, semua itu laksana macan kertas!
Alhasil, persoalan paling mendasar tidak terletak pada peranti hukum.
Pembiaran terhadap para penganiaya hewan
berurat berakar pada kesemena-menaan manusia dalam memanfaatkan predikatnya
selaku sosok pilihan, khalifah, pemimpin. Akibatnya, binatang direndahkan,
hak-haknya diabaikan, tanpa perlindungan, hidup matinya seakan sepenuhnya di
tangan majikan. Pedih hati. Allahu alam
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar