Kanalisasi
Perang Informasi
Gun Gun Heryanto ; Direktur
Eksekutif The Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta
|
KORAN SINDO, 08 November
2016
Banjir
informasi kini terjadi di hampir seluruh kanal komunikasi warga. Sama seperti
halnya banjir bandang, informasi yang meluap dan deras menerjang bisa
meluluhlantakkan ragam barang kepemilikan serta membuat situasi tak nyaman.
Unjuk
rasa warga di 4 November lalu bukan peristiwa biasa, situasi penuh paradoks
yang menjadi gejala ada anomali dalam konstelasi politik kita. Informasi
berhamburan dan dipertukarkan nyaris tanpa takaran. ”Hujan deras” informasi
yang membanjiri media massa dan media sosial tanpa jeda. Butuh langkah
konkret pemerintah, penegak hukum, tokoh agama, dan tokoh masyarakat agar
curah hujan informasi bisa dikanalisasi dengan baik sehingga tak berpotensi
melahirkan tsunami.
Media
Sosial
Kini
banjir informasi yang harus diwaspadai ada media sosial. Media ini penetratif
ke ruang-ruang personal nyaris tanpa batas. Blumler dan Kavanagh sebagaimana
dikutip oleh Ward & Cahill dalam tulisan mereka Old and New Me-dia: Blogs
in The Third Age of Political Communication (2007) menyadari era kemunculan
komunikasi di mana media cetak dan penyiaran mulai kehilangan tempatnya
sebagai saluran utama komunikasi politik di era melimpahnya informasi. Ide,
informasi, dan berita politik disebarluaskan melalui media online.
Pertarungan
informasi luar biasa. Setiap saat, warga terpapar ”berita” yang dipertukarkan
lewat jejaring sosial media mereka. Polanya sama, memancing warga untuk
terlibat dalam bauran antara fakta dan fantasi, berita dan opini, data dengan
rumor dan gosip, serta antara jurnalisme warga dan propaganda.
Pola
acak komunikasi dimainkan dengan titik tekan pada ”tawuran opini” dan
pengaburan arti penting verifikasi. Publik dibuat tak berdaya menggunakan
nalarnya, sehingga sadar atau tidak sadar menjadi mata rantai kebohongan dan
manipulasi psikologis ala viral media sosial. Harus disadari bahwa situasi
ini nyaris sempurna menggambarkan sosial media bisa dipakai dalam operasi
second hand reality atau realitas buatan.
Meminjam
istilah C. Wright Mills dalam buku klasiknya The Power Elite (1968) fenomena
ini sebagai penyajian dunia” pulasan”. Jika Mills dulu melihat dunia pulasan
ada di media massa, saat ini nyaris sempurna ada di media sosial warga.
Benang merah pertarungan biasanya sama, yakni operasi propaganda dengan ragam
tekniknya. Informasi dan isu diproduksi, direproduksi, dan didistribusikan
sehingga media sosial disesaki gelembung isu (bubble issues) yang mengaburkan
faktanya itu sendiri. Unjuk rasa 4 November sudah dibawa ke mana-mana.
Jelas
ada perang di dunia siber (cyber war) dan menjadikan media sosial warga
sebagai medan perang asimetris. Kelompok warga dibentur-benturkan dengan
kelompok lainnya dengan isu berdaya ledak tinggi yakni isu suku, agama, ras,
dan antargolongan (SARA). Di situasi seperti ini yang harus diwaspadai adalah
para penunggang bebas (free rider) yang memanfaatkan chaos sebagai cara
berlindung mereka.
Demonstrasi
adalah komunikasi yang dilindungi konstitusi. Tetapi, provokasi dan stimulasi
perang opini di media dan media sosial menjadikan demonstrasi bisa berpotensi
menjadi tsunami yang memorak- porandakan keindonesiaan kita.
Stimulan
Positif
Meski
sulit, semua pihak harus turut menganalisasi informasi di media sosial. Hal
ini bisa dilakukan dengan stimulan informasi positif terutama oleh para gate
keeper.
Pertama,
pemerintah merupakan pihak pertama yang harus memiliki tanggung jawab sosial
atas informasi di masyarakat. Jangan asal tuduh tanpa bukti memadai.
Presiden
sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan harus menyampaikan
pernyataan yang terukur, bukan ngawur. Tuduhan bahwa ada aktor yang
menunggangi demo 4 November harus berbasis data verifikatif bukan
mengira-ngira. Selain itu, juga harus ada niat baik dan niat politik yang
kuat untuk mendorong penegakan hukum atas dugaan adanya penistaan agama yang
dilakukan Basuki Tjahaja Purnama tanpa intervensi dan kesan melindungi.
Wakil
Presiden sudah mengikrarkan waktu dua pekan untuk kasus Ahok. Pernyataan
tersebut harus jelas peran informasinya, apakah yang dimaksud adalah
kejelasan status Ahok atau apa yang dimaksud?
Kedua,
para tokoh ulama dan tokoh masyarakat yang menjadi public figure umat yang
berdemonstrasi wajib memastikan bahwa mereka menyampaikan
pernyataan-pernyataan yang benar, terukur dan tidak menabrak etika, hukum
serta keadaban publik.
Saat
ini, pernyataan mereka akan menjadi panduan, sekaligus asupan tak hanya pada
level kognisi melainkan juga pada gerak tindakan warga akar rumput. Pernyataan
tokoh yang provokatif apalagi mengumbar ujaran kebencian bisa turut
memanaskan situasi dan berdampak destruktif jika dikutip dan sebar luaskan
melalui media sosial milik warga.
Ketiga,
warga punya tanggung jawab sosial untuk berkomunikasi dengan cerdas dalam
menyikapi pola acak di media sosial. Jangan cepat larut dalam histeria massa.
Nalar
politik dan melek informasi digital sangat berguna untuk menyaring mana
informasi yang baik dan benar, serta mana informasi yang sesat dan
menyesatkan. Saat mengakses informasi di media sosial, harus ada komparasi
lebih dari satu sumber. Jangan sampai mudah teperdaya oleh viral di media
sosial dan menjadi bagian dari mata rantai informasi tak bertuan.
Karakter kuat warga rasional tak mudah
mempercayai berita tanpa verifikasi data. Ikut menyebarkan kebohongan,
fitnah, dan informasi tak jelas, membuat siapa pun yang melakukannya akan
merusak kohesi sosial dan politik yang ujungnya merusak rumah besar
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar