Memantau
”Hilal” Kenaikan Bunga Acuan Irman
Faiz: Ekonom
Bank Danamon Indonesia |
KOMPAS, 12 Juli 2022
Pembukaan
kembali aktivitas ekonomi di tengah disrupsi rantai produksi global serta
perang antara Rusia dan Ukraina telah menyebabkan harga-harga barang di
berbagai belahan dunia meningkat. Kenaikan
harga barang secara umum yang dikenal dengan istilah inflasi ini mulai
mengkhawatirkan. Sebab, tren peningkatan inflasi terus berlanjut meskipun
bank-bank sentral di beberapa negara telah melakukan normalisasi, bahkan
pengetatan kebijakan moneternya. Terlepas
dari dinamika inflasi global dan pengetatan kebijakan moneter dunia, Bank
Indonesia (BI) sebagai bank sentral Republik Indonesia tetap menahan suku
bunga acuan. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bahwa BI tidak buru-buru
menaikkan suku bunga mengingat inflasi inti yang rendah. Lalu,
sampai kapan BI akan menahan suku bunga acuan? Untuk
menjawab hal tersebut, dua indikator utama yang perlu diperhatikan adalah
inflasi inti dan nilai tukar, sejalan dengan mandat tunggal BI untuk menjaga
stabilitas nilai tukar rupiah. Dalam
siklus peningkatan suku bunga terakhir sepanjang Mei-November 2018, tekanan
terhadap rupiah menjadi faktor utama. Rupiah pada saat itu dari bulan ke
bulan konsisten mengalami pelemahan sekitar 3 persen. Tekanan
terhadap rupiah disebabkan oleh siklus peningkatan suku bunga acuan bank
sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed) yang telah terjadi sejak
akhir 2017. Pada
saat itu, indikator eksternal Indonesia cukup rentan. Kerentanan tersebut
ditunjukkan, antara lain, oleh angka kepemilikan asing pada obligasi domestik
yang sekitar 38 persen dan neraca transaksi berjalan yang mengalami defisit
sekitar 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Pada
Mei 2018, BI melakukan rapat Dewan Gubernur (RDG) sebanyak dua kali dalam
satu bulan dan meningkatkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin (bps)
dari 4,25 persen pada April 2018 menjadi 4,75 persen pada Mei 2018. Inflasi
inti Dalam
kondisi saat ini, pelemahan rupiah cenderung lebih ringan. Nilai tukar rupiah
pada akhir Juni 2022 melemah sebesar 4,1 persen jika dibandingkan dengan
posisi akhir tahun 2021. Pelemahan tersebut berlangsung dengan perlahan,
tidak seperti 2018. Selain
BI yang aktif dalam menerapkan triple intervention—meliputi intervensi di
pasar spot, pasar domestic non-deliverable forward (DNDF), dan pembelian
surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder—untuk menjaga stabilitas
rupiah, indikator eksternal sekarang lebih baik. Kepemilikan
asing pada obligasi pemerintah tersisa sekitar 16 persen pada akhir Juni
2022. Neraca transaksi berjalan juga mencatatkan surplus sebesar 0,1 persen
dari PDB pada kuartal I-2022. Dari
sisi inflasi, angka inflasi inti cenderung berada di atas 3 persen year on
year (yoy) selama periode kenaikan suku bunga tahun 2018. Pada saat pandemi
Covid-19 melanda, dinamika inflasi domestik berubah signifikan. Turunnya
permintaan domestik akibat mobilitas yang menurun telah menekan inflasi
Indonesia lebih rendah daripada batas bawah target inflasi BI dan pemerintah.
Angka inflasi inti pada akhir tahun 2021 tercatat 1,56 persen yoy. Seiring
dengan perbaikan ekonomi domestik Indonesia, tahun ini inflasi inti merangkak
naik. Inflasi inti tercatat 2,63 persen yoy pada Juni 2022. Dengan demikian,
wajar jika BI tidak terburu-buru dalam menaikkan suku bunga acuannya. Namun,
arah dari inflasi dan nilai tukar mata uang ini penting untuk dicermati.
Inflasi inti terlihat konsisten meningkat sejak Oktober 2021 dari level 1,33
persen. Peningkatan
inflasi inti akan terus terjadi mengingat kondisi perekonomian domestik yang
terus membaik. Tekanan
dari biaya produksi produsen mencapai 9,1 persen yoy pada kuartal I-2022,
tertinggi dalam satu dekade terakhir. Artinya, jika permintaan domestik terus
membaik, produsen akan mulai meningkatkan harga barang untuk mengompensasi
kenaikan biaya produksi. Selain
itu, inflasi harga bergejolak dan harga yang diatur pemerintah juga memiliki
dampak lanjutan terhadap inflasi inti. Jika sekarang kategori inflasi
tersebut naik, itu akan diikuti oleh kenaikan inflasi inti juga. ”Hilal”
makin dekat Dari
sisi nilai tukar, rupiah melemah sebesar 2,2 persen pada akhir Juni
dibandingkan dengan akhir Mei seiring dengan semakin agresifnya The Fed dalam
menaikkan bunga acuannya. Level pelemahan rupiah ini mulai mengarah ke
episode 2018, dengan tingkat pelemahan bulanan mencapai sekitar 3,1 persen. Memasuki
semester II-2022, rupiah kembali melemah, hampir menembus level Rp 15.000 per
dollar AS. Ke
depan, ruang pelemahan nilai tukar rupiah masih ada mengingat surplus neraca
transaksi berjalan Indonesia yang mulai tergerus di tengah The Fed yang
semakin agresif. Harga komoditas ekspor yang selama ini menopang surplus
tersebut mulai terkoreksi. Hal ini menandakan bahwa likuiditas valuta asing
juga akan mulai menurun. Melihat
perkembangan inflasi dan nilai tukar yang mulai mengarah pada kondisi siklus
kenaikan suku bunga 2018, hilal peningkatan suku bunga acuan BI semakin
terlihat. Terlebih
lagi, dampak suku bunga acuan kepada inflasi memiliki waktu tunda untuk
tersalurkan secara penuh (sekitar dua kuartal). Artinya, untuk mencegah
inflasi terlalu tinggi, BI juga perlu menyesuaikan suku bunga lebih dahulu
(pre-emptive).● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/11/memantau-hilal-kenaikan-bunga-acuan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar