Gejolak
Korona dan Urgensi Booster Kombinasi Perigrinus
H Sebong: Dosen Fakultas Kedokteran Unika Soegijapranata; Analis Kesehatan
Global |
KOMPAS, 12 Juli 2022
Walaupun
tidak seheboh saat awal kemunculannya, fenomena timbul tenggelamnya korona
jangan sedikit pun membuat kita lengah. Sebab, masuknya dua subvarian ke
negara kita terbilang cepat, sementara informasi spesifik tentang keganasan
mereka masih dalam penyelidikan. Lalu, apa saja informasi yang bisa kita
petik dari fenomena Omicron sejauh ini? Jejak
Omicron Informasi
tentang keganasan subvarian Omicron sampai sekarang cukup memberi rasa tenang
bagi masyarakat. Namun, menurut penulis, informasi yang beredar masih sebatas
jawaban sementara. Berbahaya atau tidaknya dua subvarian baru harus ditakar lebih
komprehensif mengikuti perkembangan bukti ilmiah terkini. Untuk itu, mari
kita cermati konteks jejak Omicron sejauh ini. Pertama,
keganasan subvarian baru bisa ditakar dari kondisi kekebalan baik individu
maupun masyarakat atau herd immunity. Kekebalan bisa didapatkan lewat
vaksinasi ataupun setelah sembuh dari infeksi korona. Temuan
riset terhadap empat jenis vaksin yang berbeda di beberapa negara mengatakan,
vaksin efektif mengurangi jumlah pasien Covid-19 yang masuk rumah sakit
hingga 80 persen. Ini termasuk juga untuk pasien dengan konfirmasi subvarian
BA.4 dan BA.5. Namun,
keampuhan vaksin untuk melindungi tubuh dari korona tidak semata-mata karena
jenis dan dosis vaksinnya. Vaksin akan jauh lebih efektif melindungi apabila
semakin banyak penduduk yang telah divaksin. Bahkan terbukti bisa memberikan
perlindungan optimal apabila cakupan vaksinasi masyarakat menembus 93 persen
atau lebih (Liu dkk, 2021; GAVI, 2022). Kedua,
kemampuan menular. Jika dibandingkan dengan Delta, beberapa subvarian Omicron
lebih gampang menular terutama di dalam rumah dan tempat padat densitas
seperti perkantoran. Akibatnya, ketika kita kontak erat dengan penderita,
maka peluang terjangkit korona sangat terbuka. Infeksi
sekunder subvarian Omicron juga bisa mencapai 22 persen, jauh lebih besar
dari Delta (10,7 persen). Selain itu, subvarian Omicron sering menyebabkan
seseorang yang telah sembuh terinfeksi kembali (reinfection). Ini bisa
dimaklumi karena memang reproduction number (R0) Omicron rata-rata 5,08
(Leung, 2022). Meskipun
angka R0 bervariasi antarnegara, tetapi indikasinya jelas, subvarian baru
lebih gesit menginfeksi. Kondisi ini bisa semakin buruk manakala banyak dari
kita yang masih suka berkerumun dan mengabaikan protokol kesehatan. Ketiga,
fleksibilitas pelayanan dan perlindungan kelompok rentan. Dalam kondisi
krisis, fleksibilitas pelayanan kesehatan sangat penting untuk menjamin
perawatan kesehatan tetap berjalan sebagaimana mestinya. Walaupun
riset menemukan penderita Omicron memiliki risiko rawat inap hanya sekitar
1,2 persen dibandingkan dengan Delta (1,5 persen), tetapi risiko keseluruhan
terkait dengan Omicron jangan dianggap enteng. Sebab, munculnya subvarian
BA.4 dan BA.5 membuktikan Omicron memiliki pertumbuhan lebih signifikan. Meskipun
tidak menimbulkan gejala berat, kita harus ekstra waspada. Penelitian terbaru
di Jepang mengindikasikan subvarian baru lebih banyak bereplikasi di
paru-paru (Kimura dkk, 2022). Agar
tidak ada korban berjatuhan, maka fleksibilitas pelayanan kesehatan harus
ditingkatkan. Fungsinya untuk menjangkau mereka yang secara kesehatan lebih
rentan, misalnya warga lansia dan penderita komorbid yang mungkin akan lebih
terancam ketika menderita Covid-19. Keempat,
konsistensi menjalankan prokes. Seperti yang sudah diketahui, korona menular
lewat berbagai cara. Hasil riset terbaru mengatakan bahwa kemampuan menular
lewat aerosol dan stabilitas bertahan di permukaan benda yang lebih lama
semakin membuat korona gampang berpindah dari orang ke orang (CDC, 2022).
Apabila kita tidak becus menjalankan prokes selama gelombang subvarian baru,
bukan mustahil akan menambah kluster baru Covid-19. Kelima,
kualitas literasi kesehatan masyarakat. Sejak tahun 2000-an, popularitas
media sosial dan online telah mengubah cara orang Indonesia memburu
informasi. Sekitar 74 persen masyarakat Indonesia saat ini aktif memakai
internet dengan berbagai keperluan. Namun, ironisnya tingginya jumlah pemakai
internet tidak sama tingginya dengan tingkat literasi digital. Meskipun
sudah terlihat upaya nyata dari pemerintah, makin ke sini terkesan makin
senyap gaungnya. Jika kita tidak giat melawan momok berita bohong tentang
korona di tengah pusaran subvarian baru, fokus kita akan terbagi. Dengan
demikian, kita akan butuh lebih banyak energi dan sumber daya untuk memerangi
kabar hoaks seputar korona. Lalu, apa langkah kita selanjutnya? Perlindungan
ekstra Hingga
kini, kita layak memberi aplaus bagi pemerintah yang tak kenal lelah dan
selalu sigap mengurus pandemi. Namun, mencuatnya subvarian BA.4 dan BA.5 di
Indonesia dengan prediksi jumlah kasus terus meninggi butuh perlindungan
ekstra dari kita semua. Gejolak korona menyiratkan bahwa semua celah
penularan yang sebelumnya berhasil kita tutup sekarang telah jebol lantaran
kendurnya konsistensi prokes kita. Oleh
sebab itu, sekarang adalah waktu yang pas untuk melakukan proteksi ekstra
lewat kombinasi vaksin booster dan ”vaksin sosial”. Reminder dan penguatan
literasi masyarakat tentang korona dan subvariannya ibarat vaksin sosial yang
sama faedahnya dengan vaksin booster menangkis korona. Vaksin
sosial bisa duwujudkan dalam beberapa cara. Pertama, menstimulasi kembali
aksi promosi waspada Covid-19 di lingkungan kita. Tujuannya agar orang
sekitar kita lebih memahami informasi subvarian dan lebih waspada. Selain itu,
upaya ini juga mendorong masyarakat untuk mempraktikkan anjuran pencegahan
dan pengobatan yang disampaikan pemerintah. Intinya sebisa mungkin kita
menghimpit korona agar tidak leluasa. Kedua,
memberi booster untuk meningkatkan kembali kepatuhan prokes. Booster ini
berfungsi memicu kemauan secara sadar (willingness) yang sebelumnya sempat
loyo agar kembali bergairah untuk tertib prokes dimanapun kita berada secara
konsisten. Ini penting karena walaupun vaksinasi dosis kedua kita telah
mencapai 80,72 persen (Kompas, 13 Juni 2022), faktor perilaku dan lingkungan
juga memiliki andil dalam penyebaran korona. Ketiga,
”menyuntik” booster untuk menaikan animo kewaspadaan bersama mulai dari
keluarga, sekolah, kampus, perkantoran, tempat kerja, dan tempat-tempat umum.
Konkretnya, misalnya sebelum mulai kerja atau pembelajaran selalu diawali
dengan pengarahan atau briefing update kondisi korona di daerah kita. Di sini
perlu kehati-hatian agar pesan yang disampaikan tidak terkesan
menakut-nakuti. Dengan
demikian, komitmen menjalankan vaksin booster tambahan dibarengi vaksin
sosial secara paralel saat ini adalah mendesak. Sembari pemerintah
menggencarkan vaksin booster, masyarakat bisa menjadi pelopor gerakan vaksin
sosial di mana pun berada. Pada
akhirnya perlindungan ekstra ini menjadi modal besar gerakan kesehatan
masyarakat kita sekaligus booster untuk berhadap-hadapan dengan korona
beserta kroni-kroninya yang mungkin sudah menunggu kita di depan. Salam sehat● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/11/gejolak-korona-dan-urgensi-booster-kombinasi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar