Rabu, 13 Juli 2022

 

Keadilan Distributif Bidang Pertanahan

Sudjito Atmoredjo :  Guru Besar Ilmu Hukum UGM

REPUBLIKA, 12 Juli 2022

 

 

                                                           

Untuk menjamin keadilan dalam pemilikan dan penguasaan tanah, penyusun UU Pokok Agraria (UU No 5 Tahun 1960), mempertimbangkan  sungguh-sungguh aspek keadilannya.

 

Tersurat dalam konsiderans, bagian ‘’menimbang’’ huruf a: bahwa di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur”.  Kehidupan masyarakat adil dan makmur, jadi fokus.

 

Pada bagian ‘’berpendapat’’, huruf c.: “bahwa hukum agraria nasional itu harus mewujudkan penjelmaan dari pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan. Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial, sebagai azas kerokhanian Negara dan cita-cita bangsa, seperti yang tercantum didalam Pembukaan Undang-Undang Dasar”.

 

Keadilan kepemilikan dan penguasaan tanah, kini kian sulit dihadirkan. Indikatornya, antara lain, peralihan tanah adat ke tangan investor, harga tanah semakin membubung tinggi dan tak terjangkau daya beli rakyat.

 

Selain itu, meningkatknya jumlah petani tunakisma karena kepemilikan berada di tangan elite. Akankah tren kehidupan timpang ini dibiarkan tanpa pengendalian dari pemerintah? Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu kajian teoretis maupun empiris.

 

Pada ranah teoretis, Aristoteles mengonsepkan keadilan sebagai, “justice consists in treating equals equally and unequalls unequally, in proportion to their inequality”, (untuk hal-hal sama diperlakukan sama, dan yang tak sama juga diperlakukan tak sama, secara proporsional).

 

Salah satu cabang keadilan itu keadilan distributif, yakni keadilan yang menuntut setiap pihak mendapatkan yang menjadi haknya secara proporsional. Contoh, sikap dan perlakuan negara terhadap warganya, seperti kepemilikan tanah, pemberian fasilitas publik.

 

Perihal konsep keadilan distributif, UUPA telah mengaturnya. Asas nasionalisme pada Pasal 1: “(1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”,

 

Ayat (2), ”Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”

 

Sedangkan ayat  (3) menyebutkan, ”Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi”.

 

Ketiga ayat itu bermakna, pertama, bangsa Indonesia religius. Secara tulus mengakui  dan bertanggung jawab atas nikmat Allah SWT berupa tanah, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam untuk dikuasai dan dikelola demi keadilan dan kemakmuran seluruh komponen bangsa.

 

Kedua, hubungan bangsa Indonesia dengan ”bumi” Indonesia abadi. Keterputusan hubungan akibat penjajahan oleh Belanda dan Jepang di masa lalu, menjadi pembelajaran. Tak boleh ada penjajahan lain oleh siapapun di negeri ini.

 

Pada ayat (3) sekaligus ada peringatan dan amanah agar kedaulatan bangsa atas negerinya dijaga. Jangan sampai ada sejengkal tanah pun lepas dan beralih dalam pemilikan bangsa lain.

 

Lebih konkret, upaya keadilan distributif tertuang pada Pasal 9 (1) “Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan 2.”

 

Pada ayat  (2) disebutkan,’’Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”.

 

Kita prihatin, ketentuan yuridis-normatif dan empiris masih jauh panggang dari api. Pertama, pengaturan “bumi” Indonesia dalam peraturan pelaksanaan UUPA, (termasuk UU Cipta Kerja) ternyata cenderung sekuler. Tunduk pada kekuatan ekonomi kapitalistik.

 

Pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan hukum pertanahan dan hasil-hasil pengelolaannya, didominasi investor.

 

Misalnya, sejak ditetapkannya UU No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, pemerintah memberikan kemudahan perizinan kepada investor, dengan proporsi kepemilikan kapital di atas 75 persen, serta izin penggunaan tanah dari 25 tahun hingga 90 tahun.

 

UUPM untuk mengakomodir peraturan sebelumnya, seperti UU No 1 Tahun 1967 jo. UU No. 11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing, dan UU No. 6 Tahun 1968 jo UU No. 12 Tahun 1970 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.

 

Kebijakan pro investor, kini terus berlangsung, bahkan semakin hegemonik. Walaupun pada satu sisi ada bagusnya tetapi sisi negatifnya tergandaikannya tanah- tanah potensial kepada investor asing dalam kurun waktu lama.

 

Kedua, banyak tanah adat dicaplok pemerintah dan investor melalui rekayasa perizinan.

 

Padahal, secara eksplisit telah diatur UUPA bahwa: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, ... segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama” (Pasal 5).

 

Bila ditelusuri seksama, masalah keadilan distributif bidang pertanahan di negeri ini tak kunjung menyusut. Sanggupkah menteri ATR/kepala BPN mengatasi masalah rumit ini? Wallahu’alam.  

 

Sumber :  https://www.republika.id/posts/29801/keadilan-distributif-bidang-pertanahan

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar