Rabu, 13 Juli 2022

 

Filantropi dan Anatomi Kapitalisme Relijius

Zulfan Tadjoeddin :  Associate Professor in Development Studies, Western Sydney University

REPUBLIKA, 12 Juli 2022

 

 

                                                           

Kasus kapitalisasi pengumpulan donasi oleh ACT terus ditelisik oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) dan Bareskrim (Badan Reserse Kriminal) Polri. Praktik kapitalisasi donasi ala ACT adalah salah satu contoh dari kapitalisme relijius. Kapitalisme adalah proses akumulasi dalam sistem pasar terbuka. Kapitalisme menawarkan insentif, mewakili sifat alamiah manusia untuk bertumbuh dan meraih kemakmuran, walau rawan eksploitasi.  

 

Secara sederhana, kapitalisme relijius bisa diartikan sebagai praktik kapitalis dengan nuansa kesalehan. Proses akumulasi dan eksploitasi berlangsung dengan mengkapitalisasi aspek-aspek kesalehan tersebut.

 

Ada dua model besar dari kapitalisme relijius (KR). Mari kita lihat anatominya. Yang pertama dan paling tinggi kadar KR-nya adalah “kapitalisasi donasi”. Di bawah itu, ada model kedua, yaitu “kapitalisasi barang normal (produk/jasa) bernuansa reliji".

 

Kita mulai dari yang bawah ini dulu. Segala sesuatu dengan embel-embel syariah masuk kategori ini. Begitu pula dengan berbagai macam produk perjalanan spritual ke tanah suci (holy land). Labelisasi halal-pun masuk kategori ini. Produk bernuansa reliji ini tidaklah unik untuk satu agama tertentu, ia berlaku umum.

 

Tak ada yang salah dengan semua ini. Barang normal bernuansa reliji masih berupa produk. Ada wujud nyatanya. Ada permintaan, ada penawaran. Ada rupa, ada harga. Pasar ini pun menuntut inovasi dan kreatifitas, dan semua itu mendatangkan kompensasi (reward). Begitulah pasar bekerja.

 

Sayangnya, penggunaan nuansa reliji tersebut terkadang kebablasan. Acapkali, atas nama kesalehan, konsumen bersikap tidak kritis dan menjadi objek ekploitasi dan penipuan. Banyak contoh kasusnya, terutama di masyarakat dengan tingkat relijiusitas yang tinggi, seperti Indonesia.

 

Sekadar menyebut beberapa misal: ditilapnya uang peserta umrah oleh First Travel, penipuan perumahan berkedok syariah yang sudah sering terjadi, dan berbagai kasus investasi bodong berbalut agama. Ketika terjadi fraud (penipuan), jargon “ikhlas” dan “toh sesama saudara se-iman” sering terdengar. Agama menjadi penenang (comforter), seperti disinyalir Marx dua abad lalu.

 

Sebaliknya, proses kapitalisasi barang normal tanpa nuansa reliji terasa lebih jujur. Yang jelek akan dihukum pasar. Yang baik dicari orang. Umpan balik (feedback) bekerja cepat. Satu contoh, Apple sangat responsif atas feedback konsumen. Layanan purna jualnya sangat memuaskan. Spesifikasi produk selalu diperbaharui (upgrade). Konsumenpun rela merogoh kocek lebih dalam.

 

Sekarang kita bahas model pertama, “kapitalisasi DONASI”, yang lebih tinggi kadar KR-nya. Di sini, ada dua kasta. Kasta pertama adalah donasi dalam model filantropi Barat. Donasi bersumber dari hasil akumulasi para kapitalis sukses seperti John D. Rockefeller dan Bill Gates.

 

Orang-orang seperti ini telah selesai dengan dirinya. Mereka telah sampai pada tahapan kehidupan dengan keinginan berbagi untuk kemanusiaan dan dunia yang lebih baik. Umumnya, orang-orang seperti ini tak begitu percaya dengan akhirat, tak begitu mengimani hidup setelah mati.

 

Filantropi Barat ini mulai dari proses akumulasi yang super sukses, lalu beralih ke redistribusi. Tentunya dengan consent (persetujuan) dari pemilik hasil akumuasi. Begitulah instinct baik manusia. Ruhnya adalah nilai-nilai kemanusiaan.

 

Organisasi filantropi Barat bersifat sangat profesional. Menganut model yang berkelanjutan, baik secara proses manajerial, maupun finansial. Dana abadi diinvestasikan secara hati-hati (prudent) dan profesional, menghasilkan pendapatan (return) untuk membiayai program-program amal kemanusiaan. Yang dibelanjakan adalah buahnya, bukan batangnya.

 

Rockefeller Foundation yang didirikan oleh raja minyak John D. Rockefeller masih berkibar kokoh setelah lebih satu abad berdiri. Saat ini, asetnya lebih dari 4 milyar dolar AS, dengan pengeluaran donasi pertahunnya mencapai ratusan juta dolar AS. Sejatinya, hal ini sangatlah relijius. Mengembalikan akumulasi kapitalisme untuk tujuan-tujuan kemanusiaan (humanity). Bukankah, hakikat semua agama akan bertemu pada dataran humanisme? Begitu filosofinya.

 

Kasta kedua adalah kapitalisasi donasi model ACT dan KITABISA yang mengakumulasi serta sekaligus mengkapitalisasi semangat berderma dari orang-orang dengan tingkat relijiusitas tinggi. Mereka mengumpulkan apa saja dari orang banyak, termasuk receh. Persetujuan (consent) dari donatur yang banyak itu, cenderung diabaikan.

 

Agen kapitalis relijius seperti ACT dan KITABISA menjual “pahala” kepada para donatur dengan mengeksploitasi penderitaan dari orang-orang/kelompok calon penerima donasi. “Pederitaan” dikomodifikasi, memanfaatkan teknik pemasaran, narasi hiperbolis, dan dukungan teknologi informasi (IT). Jika “pahala” adalah “produk”, maka donasi yang diberikan adalah “harga”nya. Sayangnya (atau malah, “untungnya”), “pahala” tidaklah berwujud nyata. Ia gaib. Mekanisme berkerjanya pasar barang gaib berbeda dengan pasar barang normal/nyata.

 

Pahala tidak memerlukan layanan purna jual, tidak bisa dihukum oleh feedback konsumen. Menjualnya pun relatif mudah di tengah masyarakat yang relijius, suka menolong, dan ekonominya tumbuh.

 

Soal kedermawanan dan relijiusitas, Indonesia adalah juaranya. Ini pasar empuk. Jika ada fraud, agama menjadi comforter. Di sinilah timbulnya persoalan moral hazard.

 

ACT dan KITABISA hidup dari donasi orang banyak. Ini bertolak belakang dengan kasta pertama, filantropi Barat, yang donasinya bersumber dari akumulasi para kapitalis sukses dan baik. Secara substansi, model filantropi Barat terlihat lebih mulia.

 

ACT dan KITABISA mengkapitalisasi, mengakumulasi, dan mengeksploitasi semangat berderma masyarakat relijius: Kapitalisme relijius yang sangat telanjang. Sangat telanjang, sehingga urusan kambing pun dimanipulasi, dari 12 ribu menjadi 2 ribu. ●

 

Sumber :  https://www.republika.co.id/berita/rewctu282/filantropi-dan-anatomi-kapitalisme-relijius

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar