Enigma
Pencapresan di 2024 Gun Gun
Heryanto: Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta,
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute |
KOMPAS, 12 Juli 2022
Proses
pengusungan calon presiden dan calon wakil presiden di Pemilu 2024 bukanlah
perkara mudah, terutama bagi seluruh partai politik yang sedang menghitung
peluang mereka di kekuasaan mendatang. Pola acak
kongsi politik membuat seluruh elite utama partai politik berhati-hati
mengambil keputusan. Enigma adalah kata yang tepat menggambarkan situasi saat
ini. Semua kekuatan
berhitung potensi figur yang akan dimajukan, skema komunikasi dan negosiasi
yang sifatnya aksi-reaksi di antara partai-partai politik yang akan
bertarung, serta dinamika penerimaan publik. Komunikasi
politik elite Michael Gallagher
dan Michael Marsh di buku yang mereka edit, Candidate Selection in
Comparative Perspective: The Secret Garden of Politics (1988), memberikan
ilustrasi yang gamblang tentang rumitnya proses seleksi kandidat, yang
disebutnya sebagai kebun rahasia politik (the secret garden of politics).
Bisa jadi ilustrasi ini mengacu pada prosesnya yang sering kali menghadirkan
enigma, sulit tersentuh publik, meski dramaturgi panggung depan kerap
dipertontonkan ke khalayak luas. Menarik
mengidentifikasi sejumlah faktor mengapa proses pengusungan kandidat
capres/cawapres jadi sangat kompleks dan menghadirkan enigma. Faktor
menentukan dalam proses pengusungan kandidat adalah relasi personal yang
mewarnai komunikasi politik elite dalam pengusungan. Faktanya, partai di Indonesia
secara umum masih bergantung pada figur. Misalnya, relasi personal Megawati
Soekarnoputri dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menyebabkan rumitnya
menyatukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dengan Partai
Demokrat dalam satu kongsi. Relasi personal
jelang Pemilu 2024 ini bisa kita lihat dalam konteks hubungan Megawati dengan
Surya Paloh (Partai Nasdem) yang merenggang meski partai mereka sama-sama
menjadi bagian dari Kabinet Indonesia Maju. Saling sindir
antara Surya Paloh dan Megawati soal diksi partai sombong, meski tak
eksplisit menyebut nama, melihat konteks panggung komunikasi di antara
keduanya sulit untuk mengatakan tidak ada hubungan aksi-reaksi di antara
pernyataan mereka. Penyebutan tiga
nama, termasuk nama Ganjar Pranowo (kader PDI-P) di panggung Rakernas Partai
Nasdem (17/6/2022), bisa memperkuat ketidaknyamanan komunikasi. Ini yang
disebut oleh James McCroskey dalam Stephen W Littlejhon, Theories of Human
Communication (1998) sebagai fenomena communication apprehension, yakni
keengganan berkomunikasi yang disebabkan keadaan tertentu. Namun, jangan
terlalu prematur membuat simpulan. Bisa saja komunikasi antarpribadi mereka
berubah arah ke pemahaman dan keuntungan bersama (mutual benefit) seiring
munculnya simpul nama capres atau cawapres yang bisa menyatukan kekuatan dua
partai ini dan menghadirkan kejutan. Belajar dari
fenomena Pilpres 2019, faktor relasi antarpribadi ini pula yang disinyalir
menggagalkan Mahfud MD menjadi cawapres Joko Widodo (Jokowi) jelang diumumkan
ke publik. Kejutan mengemuka di pengujung waktu pengusungan karena disinyalir
ada keberatan dari beberapa elite utama partai penyokong Jokowi sehingga
akhirnya pilihan harus beralih ke KH Ma’ruf Amin. Singkatnya, faktor
dialektika relasional ini masih akan mewarnai proses pengusungan yang penuh
kejutan. Leslie Baxter
dalam A Dialectical Perspective of Communication Strategies in Relationship
Development (1988) menjelaskan dialektika relasional sebagai simpul
kontradiksi hubungan antarpribadi yang membuat proses interaksi cenderung
saling menentang terus-menerus. Kondisi multipartai yang terfragmentasi dan
cairnya pola hubungan kuasa politik di Indonesia menjadi pembeda. Komunikasi
politik, terutama di antara elite utama, masih mungkin beru- bah dan menghadirkan
banyak kejutan. Keuntungan
politik Faktor lain
yang menentukan adalah motif keuntungan dalam kekuasaan. Politik bukanlah
matematika dan kerap tak berjalan linear. Di tahap pemunculan skema seperti
sekarang, bisa saja banyak orang menghitung peluang besar terbentuknya empat
poros pada Pilpres 2024. Sebut saja
poros pertama bisa dimotori PDI-P dengan memajukan nama Puan Maharani atau
Ganjar Pranowo. Jika pun mengajukan keduanya menjadi paket pasangan, PDI-P
tidak memiliki kendala di tahap pengusungan. PDI-P memiliki 128 kursi (22,26
persen) di DPR. Artinya, sudah melampaui syarat presidential treshold 20
persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional. Poros kedua
bisa dimotori Gerindra dengan 75 kursi (12,3 persen) dan PKB 58 kursi (9,6
persen). Jika kedua partai ini bergabung sudah 133 kursi atau 21,9 persen,
bisa mengusung satu paket pasangan. Poros ketiga, dimotori Koalisi Indonesia
Bersatu (KIB), gabungan Partai Golkar (85 kursi), PAN (44 kursi), dan PPP (19
kursi) dengan 148 kursi, sudah mengantongi satu tiket pencapresan. Poros keempat,
bisa dimotori oleh Partai Nasdem (59 kursi), Partai Demokrat (54 kursi), dan
PKS (50 kursi). Jika mereka berkongsi dengan 163 kursi, bisa mengusung paket
pasangan. Akan tetapi,
semua itu hitungan di atas kertas! Politik pengusungan paket capres dan
cawapres justru lebih sering diwarnai oleh titik temu skema keuntungan dalam
kekuasaan. Idealnya
Pilpres 2024 bisa menghadirkan lebih dari dua pasangan, tetapi
pengonsolidasian kekuatan menjadi dua poros juga masih mungkin terjadi. Misalnya, KIB
meskipun sudah mendeklarasikan diri cukup lama, belum tentu benar-benar bisa
mengusung pasangan calon. Mereka hingga saat ini belum memiliki nama dari
internal partai masing-masing yang menjadi magnet elektoral. Jika tidak
hati-hati mengelola komunikasi dengan timpangnya kepentingan dari ketiga
partai yang berkongsi, sangat mungkin juga koalisi ini bisa bubar jalan atau
mengayun (swing) ke pasangan yang diusung oleh poros lain. Gerindra belum
tentu mulus berkongsi dengan PKB, terutama jika di pengujung masa pengusungan
akhirnya partai yang dipimpin Prabowo Subianto ini berkoalisi dengan PDI-P
dan memajukan paket pasangan Prabowo-Puan. Koalisi Nasdem, Demokrat, dan PKS
juga masih akan sangat ditentukan oleh nama capres dan cawapres yang bisa
diterima semua. Nasdem sudah menyebut tiga nama, yakni Anies Baswedan, Andika
Perkasa, dan Ganjar Pranowo. Berkongsi dengan PKS dan Demokrat tentu harus
menegosiasikan tiga nama tersebut yang paling bisa diterima mereka sekaligus
membuka ruang kemungkinan siapa cawapresnya, mengingat Partai Demokrat juga
sudah pasti berkehendak mengajukan nama Agus Harimurti Yudhoyono. Yang jelas, di
Pemilu 2024, partai yang teramat sulit berkongsi itu hanyalah PDI-P dengan
Demokrat dan PKS. Selain itu juga PKS akan sulit berkongsi dengan Gerindra
karena hambatan psikopolitis pasca-Pilpres 2019 dan konstelasi pengisian
jabatan wakil gubernur DKI yang ditinggalkan Sandiaga Uno. Semua partai
politik sangat memahami bahwa salah satu keuntungan jika memiliki wakil
partai mereka di paket pasangan capres-cawapres biasanya akan turut
mendongkrak perolehan suara partai di pemilu legislatif. Hal ini bisa kita
lihat dari peningkatan suara Partai Gerindra dan PDI-P di dua pemilu
terakhir, juga Partai Demokrat saat SBY menjadi capres pada Pemilu 2009. Pengubah
permainan (game changer) dalam proses pengusungan kandidat pada Pilpres 2024
masih akan diwarnai kiprah Megawati. Nama capres PDI-P yang akan ditentukan
oleh Megawati sebagai pemilik hak prerogatif bisa mendinamisasi opsi-opsi
yang akan diputuskan oleh poros-poros lain. Nama Jokowi
juga patut diperhitungkan sebagai bandul pengubah permainan. Meskipun dia
tidak akan menyebutkan secara terbuka dukungannya pada satu nama, Jokowi
sangat mungkin mengonsolidasikan kuasa politiknya untuk turut menaikkan daya
tawar figur yang didukungnya. Jokowi
berkepentingan menjaga keberlanjutan ragam program yang sudah dilaksanakan
dan dicanangkan di dua periode kekuasaannya. Enigma
pencapresan juga sangat mungkin diwarnai kelompok di balik layar yang
memiliki kuasa ekonomi. Peran mereka kerap tak tampak di permukaan, tetapi
terasa di gelanggang karena turut memiliki andil dalam skema pembiayaan dalam
pemenangan. Bonnie N Field
dan Peter M Siavelis dalam tulisan mereka, Candidate Selection Procedures in
Transitional Polities (2008), menegaskan seleksi kandidat sebagai salah satu
fungsi penting partai. Tradisi dalam proses pemilihan kandidat jadi cerminan
pelembagaan politik. Proses ini
sekaligus menjadi indikator di mana sesungguhnya lokus kekuasaan partai
politik berada. Apakah masih bersifat oligarkis, feodal, dan transaksional,
atau tidak. Partai politik harus berbenah dalam menyeleksi figur yang layak
untuk meneruskan kepemimpinan nasional, bukan semata-mata ditentukan oleh selera
pribadi elite utama.اَ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/11/enigma-pencapresan-di-2024 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar