Rabu, 13 Juli 2022

 

Menahan Inflasi Jaga Daya Beli

Editorial :  Administrator Media Indonesia

MEDIA INDONESIA, 12 Juli 2022

 

                                                

 

LONJAKAN harga komoditas pangan dan energi di tingkat global mulai berdampak ke Indonesia. Dampaknya ialah inflasi atau kenaikan harga umum per Juni 2022 mencapai 4,35%, tertinggi dalam lima tahun terakhir dan telah melampaui target inflasi sebesar 3% plus minus 1% tahun ini.

 

Banyak faktor yang memengaruhi terkereknya inflasi di Indonesia. Yang dominan ialah tekanan global akibat situasi perang Rusia-Ukraina yang telah menyulut kenaikan harga komoditas. Situasi ini masih bisa berlangsung hingga tahun-tahun mendatang.

 

Pemerintah dan Bank Indonesia perlu memperkuat koordinasi dalam menyinkronkan kebijakan demi pengendalian inflasi. Para pemangku kebijakan harus bisa meredam tingginya tekanan inflasi global sehingga daya beli masyarakat serta momentum pemulihan ekonomi nasional masih tetap dapat dijaga.

 

Di sisi lain, keuangan negara tidak bisa terus-terusan menanggung beban subsidi akibat lonjakan harga minyak dunia. Dengan kondisi saat ini, total subsidi yang ditanggung anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun ini diproyeksikan mencapai Rp578,1 triliun.

 

Sebuah situasi dilema yang kini dihadapi pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Apakah akan terus membiarkan subsidi melonjak atau menjaga daya beli masyarakat yang dibayangi tsunami inflasi?

 

Jika harga bahan bakar minyak (BBM) dipertahankan, subsidi bakal terus membengkak. Sebaliknya, jika dilepas ke harga pasar, inflasi pasti menanjak.

 

Pemerintah jelas dituntut untuk tidak mengambil salah satunya. Yang perlu dipikirkan ialah menjaga daya beli masyarakat dengan mengontrol inflasi di satu sisi, juga harus mengelola subsidi agar tepat sasaran di sisi lainnya.

 

Jika subsidi ratusan triliun tersebut dibiarkan untuk menahan harga energi, potensi tidak tepat sasaran sangat besar. Subsidi ditengarai hanya untuk memanjakan warga masyarakat mampu yang semestinya tidak berhak menikmatinya.

 

Saat ini, harga minyak brent melampaui US$100 per barel, yang membuat sejumlah negara pun mau tak mau mengerek harga BBM. Kondisi ini jelas memberatkan keuangan negara. Pasalnya, lebih dari separuh kebutuhan BBM dalam negeri yang mencapai 1,5 juta barel per hari masih diimpor.

 

Yang jelas, penaikan harga BBM tidak akan membuat senang masyarakat. Hal itu karena efek dominonya akan membuat harga-harga komoditas kian melambung. Dalam konteks itulah dipahami kebijakan penaikan harga BBM nonsubsidi mulai 10 Juli 2022. Belum lagi dampak penaikan harga gas elpiji nonsubsidi Rp2.000 per kilogram, yang juga telah menekan daya beli rakyat.

 

Urusan elpiji ini juga perlu mendapat atensi pemerintah agar tidak ada persoalan dalam pelaksanaannya, terutama dampak penyelewengan seperti praktik pengoplosan dan memantik konsumen pengguna elpiji nonsubsidi pindah ke elpiji bersubsidi.

 

Namun, jika ketidakpastian global akibat perang Rusia-Ukraina masih terus terjadi, tentu harga-harga komoditas pangan dan energi tidak bisa ditahan. Karena, jika dipaksakan, subsidi akan terus membengkak dan defisit APBN bakalan jebol.

 

Jika memang harga-harga komoditas dilepaskan ke harga pasar, rakyat perlu paham beban APBN. Sebaliknya pemerintah juga harus memikirkan kondisi masyarakat dengan mengeluarkan kebijakan yang bisa menjadi bantalan ekonomi agar daya beli terjaga.

 

Selain itu, pemerintah pun harus lebih selektif dalam melakukan pembangunan. Proyek yang membutuhkan modal besar, tapi urgensinya tidak mendesak, bisa ditunda hingga kondisi ekonomi stabil. Urusan perut dan hajat hidup rakyat jelas lebih genting jika dibandingkan dengan pembangunan proyek lainnya.

 

Sumber :   https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2706-menahan-inflasi-jaga-daya-beli

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar