Tindak pidana kebencian amat berbahaya bagi Indonesia. Sebagai negara yang majemuk dalam banyak hal, seperti ras dan etnisitas, budaya, agama, antarkelas sosial, dan berbagai aspek kehidupan lain, Indonesia rawan sekali terhadap kejahatan kebencian.
Jika kejahatan kebencian tidak ditangani serius, Indonesia bisa mengalami disintegrasi yang membuat negara ini berkeping-keping.
Memang, skenario gelap tentang Indonesia sangat majemuk yang bisa terpecah belah sudah lama beredar, baik di kalangan akademisi maupun politisi. Tetapi, Indonesia yang masih tetap utuh bersatu jadi keajaiban bagi banyak pengamat asing.
Namun, perkembangan politik domestik dan luar negeri dalam dua dasawarsa terakhir cenderung menumbuhsuburkan benih-benih disintegrasi di Indonesia. Selain bisa terkait dengan kesenjangan ekonomi, potensi disintegrasi bisa meningkat dengan kian menyebarnya kejahatan kebencian, khususnya dalam bidang politik, agama, dan rasial-suku.
Peningkatan kejahatan kebencian di Indonesia sangat terasa belakangan ini, terutama terkait dengan politik. Fenomena kejahatan kebencian dalam politik—pada pilkada, pemilu legislatif, apalagi pilpres—terutama terjadi lewat penggunaan dan penyalahgunaan isu agama.
Peningkatan kejahatan kebencian terkait agama dan politik difasilitasi media sosial. Media sosial bertanggung jawab dalam penyebaran ujaran kebencian, provokasi, dan fitnah, terutama dengan menggunakan atau menyalahgunakan agama. Inilah fenomena sangat menonjol sepanjang Pilpres 2019.
Kini, pidana kejahatan kebencian meluas ke ranah ras atau etnis. Sekali lagi, Indonesia yang menurut Sensus Penduduk BPS 2010 memiliki 1.331 suku bangsa (besar dan kecil) sangat potensial bagi tumbuhnya pandangan stereotipikal negatif, prasangka, dan bias di antara satu suku dengan suku lain.
Gejala meningkatnya kejahatan kebencian menyangkut ras atau suku kontras dengan proses ”menjadi Indonesia” yang juga menguat dalam dua atau tiga dasawarsa terakhir, terutama berkat penyebaran informasi dan ilmu pengetahuan lebih merata di seluruh Tanah Air—khususnya melalui media elektronik dan dunia maya.
Namun, seperti ditegaskan Gubernur Papua Lukas Enembe, ”orang Papua belum diindonesiakan”. Dengan kata lain, proses ”menjadi Indonesia” tidak atau belum berhasil di kalangan etnis Papua (termasuk Papua Barat).
Oleh karena itu, persepsi stereotipikal, prasangka, dan bias sosio-kultural yang menjadi sumber rasisme masih tetap bertahan, khususnya terhadap etnis Papua. Sikap psiko-sosial seperti ini agaknya juga ada terhadap suku atau etnis lain. Namun, karena tidak terkait dengan masalah politik dan ekonomi, dia tidak meledak ke permukaan.
Akibatnya, sikap psiko-sosial yang menjadi sumber rasisme merupakan hal laten di kalangan warga anggota etnis tertentu. Kelatenan itu dapat meledak jika ada faktor pemicu (triggering factor) yang muncul tiba-tiba.
Kelatenan itu berlipat ketika tumpang tindih dengan tingkat kebudayaan dan peradaban di antara suku-suku bangsa Indonesia yang berbeda; sebagian kecil warga sudah berada dalam kebudayaan digital; lalu kian banyak hidup dalam kebudayaan industri; sementara mereka yang hidup dalam kebudayaan agraris semakin berkurang; tetapi juga masih cukup banyak warga yang masih berada di kebudayaan pra-agraris.
Peristiwa rasisme terhadap kelompok mahasiswa asal Papua dan Papua Barat di Surabaya dan Malang agaknya dapat dipahami dalam konteks berbagai gejala kontradiktif itu. Secara lahiriah, aksi rasisme bermula ketika asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan No 10, Surabaya, didatangi sejumlah orang yang terdiri dari oknum TNI, polisi, Satpol PP, dan anggota ormas (16/8/2019).
Kedatangan mereka ini mendapat pemicu terkait dugaan perusakan tiang bendera dan pembuangan bendera Merah Putih di depan asrama tersebut. Selain menggedor pintu, beberapa oknum TNI bersangkutan disebutkan juga mengucapkan kata-kata rasis kepada mahasiswa Papua. Hal itu tak lain adalah ekspresi prasangka sosio-kultural laten.
Tak perlu diskusi panjang lebar, kejadian yang dialami mahasiswa asal Papua (dan Papua Barat) di Surabaya dan Malang merupakan hate crimes. Penggunaan nama-nama binatang dalam aksi bersumber dari persepsi, mispersepsi, dan prasangka rasial, etnis, dan sosio-kultural yang menjadi motif atau dasar kejahatan kebencian.
Juga tidak perlu diulangi di sini tentang berbagai reaksi keras terhadap kejadian kejahatan kebencian tersebut. Singkatnya, ada aksi kekerasan di Manokwari dan Sorong, Papua Barat; dan reaksi massa yang damai di Jayapura, Papua.
Kita patut bersyukur, keadaan cepat kembali normal. Permintaan maaf Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa kepada Gubernur Papua Lukas Enembe dan imbauan Presiden Joko Widodo agar pihak-pihak terlibat dapat saling memaafkan berhasil mene- nangkan suasana sehingga kekerasan akibat kejadian rasisme tidak sampai berkepanjangan dan meluas yang dapat secara serius mengancam NKRI.
Meski demikian, ancaman rasisme tetap laten. Berbagai faktor menjadi penyebab kelatenan kejahatan kebencian tersebut masih nyata; sejak dari kesenjangan ekonomi-sosial, format dan proses politik yang belum sepenuhnya terselesaikan, kesenjangan budaya-sosial, sampai proses menjadi Indonesia yang belum tuntas.
Oleh karena itu, upaya sistemik dan komprehensif perlu dilakukan pemerintah pusat dan daerah beserta kepemimpinan masyarakat suku dan ormas serta masyarakat sipil. Hanya melalui kerja sama semua pihak, dapat dilakukan berbagai upaya guna mencegah kelatenan dan merebaknya rasisme.
Termasuk paling mendesak adalah sosialisasi dan kampanye sejumlah ketentuan hukum untuk mencegah rasisme. Walaupun belum ada undang-undang khusus tentang pidana kejahatan rasisme, sudah ada, misalnya, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis untuk menangkal bermacam bentuk pidana kejahatan kebencian. Ada juga UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta berbagai ketentuan pidana pada UU lain. Semua ketentuan hukum itu dapat dimaksimalkan untuk mencegah pidana rasisme. ***