Industri tanpa Industrialisasi (industry without industrialization) tepat disematkan untuk industri sawit nasional.
Memiliki keunggulan komparatif, seperti lahan, tenaga kerja, dan pasar, tetapi tak bisa dimanfaatkan untuk membangun industrialisasi sawit yang kompetitif dan berdaya saing. Awan mendung masih belum beranjak dari industri sawit di Tanah Air. Terbukti, sampai pertengahan 2019, harga minyak sawit mentah (CPO) terus tertekan menuju titik terendah sejak 2011. Penyebabnya, pelemahan permintaan global, perang dagang, dan kelebihan produksi.  Gejala penurunan harga sebenarnya sudah bisa diprediksi. Setelah berakhirnya era bonanza komoditas, yang ditandai oleh menurunnya permintaan global akibat dari pelemahan ekonomi, satu per satu harga komoditas berguguran.
CPO salah satunya. Konsumsi minyak sawit, terutama di negara importir terbesar, seperti India, China, dan Uni Eropa (UE) melambat. Hal itu berkelindan dengan maraknya perang dagang, yang melahirkan rezim proteksionisme dalam perdagangan global.
Minyak sawit dari Indonesia tak henti-hentinya mengalami hambatan dagang. AS menerapkan bea masuk (BM) tinggi terhadap biodiesel sawit dari Indonesia. India juga melakukan hal sama. Mereka menaikkan BM CPO dan produk turunannya, jauh lebih tinggi ketimbang produk sama dari Malaysia. Tak hanya hambatan tarif, hambatan nontarif pun menimpa minyak sawit Indonesia, seperti pelarangan peredaran biodiesel sawit oleh UE.
Pada saat bersamaan, produksi minyak sawit di Tanah Air meningkat signifikan. Pada 2018, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), total produksi mencapai 47 juta ton. Sekitar 12 persennya tak terserap oleh pasar. Ini imbas dari maraknya pembukaan lahan perkebunan sawit dalam satu dekade terakhir.  Industri sawit kita berada pada senja kala. Tanpa ada reorientasi tata kelolanya, industri ini akan mengikuti jejak ”saudara tuanya”, yaitu pala, cengkeh, dan karet yang pernah masygul di zamannya, tetapi sekarang merana. Sawit harus keluar dari ”kutukan” komoditas itu.
Tanpa industrialisasi
Perkembangan industri sawit nasional tak sehebat Malaysia, negeri jiran kompetitor kita. Di sana, sawit telah tumbuh lewat industrialisasi bernilai ekonomi tinggi dengan dukungan teknologi tinggi. Mereka mentransformasi komoditas sawit, dari bahan mentah menjadi high-end product, mengintegrasikan industri hulu dan hilir dengan melibatkan petani dan pelaku industrinya serta sistem tata niaga yang jadi acuan dunia. Sementara kita hanya jadi ”tukang tanam”.  Maksudnya, kita baru mampu membangun industri hulu sawit, yang hanya menanam tanaman asli Afrika itu, lantas mengolahnya menjadi CPO. Hasilnya, langsung diekspor dan hanya segelintir yang diolah menjadi produk siap konsumsi di dalam negeri.
Industri kita belum terintegrasi antar-pelaku industri. Faktanya demikian. Petani kecil dibiarkan berkebun secara tradisional, tanpa upaya pemerintah dan korporasi meningkatkan pengetahuan mereka terhadap cara bercocok tanam yang baik dan transfer teknologi. Malahan, mereka dijauhkan dalam sistem industri itu sendiri. Jadilah mereka kelompok minoritas dalam industri. Padahal, jumlah petani kecil signifikan dalam pengelolaan lahan perkebunan sawit. Akibatnya, memicu ketimpangan ekonomi. Tata niaga komoditas sawit tak dibangun serius. Meski menjadi eksportir utama minyak sawit, kita tak pernah menjadi penentu harga. Harga dikendalikan Malaysia, yang jumlah ekspornya hanya dua pertiga kita. Alhasil, industri ini sangat sensitif terhadap gejolak harga global karena kita tak mampu mengendalikannya.
Ekosistem industri
Sejarah peluang yang hilang tak boleh terulang. Industri sawit kita harus bertransformasi meninggalkan technology-less industrialization menuju high-technolgy industrialization. Kita harus membangun ekosistem industri sawit yang mumpuni dan kita memiliki modal menuju ke sana.
Sawit adalah ”pohon ajaib” yang bisa menghasilkan aneka produk bernilai tinggi, jika dikelola dengan benar; yang paling berpotensi untuk pengembangan bioenergi. Saat inilah momentumnya, roda sejarah pengembangan energi berpihak pada bioenergi karena dapat diperbarui dan ramah lingkungan. Transformasi energi menjadi peluang emas bagi Indonesia untuk mengembangkan bioenergi dari minyak sawit. Jangka pendek, tak usah dulu melirik pasar global, cukup memenuhi kebutuhan dalam negeri.  Kenapa demikian? Lonjakan konsumsi energi sudah tak terbendung, terutama untuk kendaraan bermotor. Industri BBM nasional tak bisa lagi memenuhinya. Akibatnya, tiap tahun kita selalu impor. ”Haus BBM” ini berdampak buruk ke keseimbangan neraca perdagangan. Ia menjadi biang kerok instabilitas perekonomian nasional.
”Haus BBM” bisa diatasi jika energi fosil diganti dengan bioenergi (bahan bakar nabati/BBN). Minyak sawit adalah solusinya. Hamparan tanaman sawit yang luas—menurut versi KPK mencapai 16,8 juta hektar—ibarat kebun energi yang bisa menghasilkan berbagai macam BBN berkualitas tinggi. Dari sawit bisa dihasilkan biodiesel, solar nabati (green diesel), bensin nabati (green gasoline), dan avtur nabati (bioavtur).
Mengganti BBM dengan BBN sawit berarti mengurangi defisit neraca perdagangan dan menghemat devisa. Dari program pencampuran biodiesel dan solar sebesar 20 persen atau B20 yang sudah dilakukan, bisa mengurangi impor solar 9,12 juta kiloliter pada kurun 2015- 2018 sehingga bisa menghemat devisa negara Rp 51,5 triliun (BPDPKS, 2019).
Masa depan industri hijau dari sawit sangat prospektif. Tak hanya biodiesel, sawit bisa diolah menjadi bensin nabati dengan kualitas RON 110, jauh di atas kualitas oktan Premium, Pertalite, dan Pertamax. Solar nabati pun bisa dihasilkan dengan kualitas tinggi. Kedua BBN itu memenuhi standar kelayakan Euro IV, standar bahan bakar ramah lingkungan. Industri penerbangan bisa beralih ke bioavtur dari sawit. Semua itu telah bisa diproduksi berkat teknologi katalis yang dikembangkan peneliti ITB yang diberi nama Katalis Merah Putih. Tak hanya itu, beberapa riset lain dalam tiga tahun terakhir juga sudah menghasilkan high-end product dari sawit.
Misalnya, surfactant metil ester sulfonant yang bisa dimanfaatkan untuk peningkatan produktivitas sumur minyak tua, foaming agent sebagai bahan pemadaman kebakaran, civeton dan feromonas untuk bahan aktif parfum, suplemen calcium fat untuk pakan ternak, stabilizer termal PVC serta banyak lagi produk lain. Selanjutnya, tugas pemerintah membangun ekosistem industrinya karena semua prasyarat menuju industrialisasi sawit sudah terpenuhi.
Kebijakan pemerintah
Pengembangan industrialisasi sawit membutuhkan dukungan kebijakan pemerintah. Berikut beberapa strategi kebijakan yang perlu dilakukan. Pertama, mengembangkan ekosistem riset berbasis sawit untuk menghasilkan high-end product yang terdiversifikasi dan dibutuhkan konsumen.
Keberhasilan Institut Teknologi bandung (ITB) menciptakan Katalis Merah Putih merupakan bukti pentingnya riset untuk industrialisasi.  Oleh karena itu, pembiayaan riset lewat program pemerintah harus ditingkatkan. Kita harus membangun peta jalan pengembangan riset sawit dengan berbagai skema pembiayaan. Salah satunya, memberikan insentif pemotongan pajak bagi perusahaan yang intensif berinvestasi di program riset. Memperbesar alokasi anggaran oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Dikti serta Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit.
Kedua, mengoptimalkan kebutuhan domestik terhadap produk sawit berkualitas tinggi. Kita memiliki pasar domestik yang besar, yang tak pernah optimal digarap oleh industri dalam negeri. Industrialisasi sawit harus fokus untuk memenuhi kebutuhan domestik, seperti biodiesel, green diesel, green gasoline, dan berbagai produk siap pakai lain. Untuk mempercepat pengembangan bioenergi, pemerintah perlu meningkatkan pemakaian BBN sawit, seperti penggunaan campuran biodesel menjadi B30 bahkan B100 sehingga kita tak perlu loyal lagi melakukan ekspor terhadap CPO.
Ketiga, melakukan reformasi struktural, seperti kemudahan perizinan, investasi berbasis high technology, membangun infrastruktur pendukung, peningkatan kualitas tenaga kerja, dan insentif fiskal. Semua itu membutuhkan kebijakan pemerintah yang kredibel karena kebuntuan industrialisasi terjadi karena orientasi kebijakan yang salah.
Sistem perizinan yang berbelit-belit, lama, mahal, dan birokratis telah menjadi ”benalu” dalam pengembangan industri nasional, termasuk di industri sawit. Kita beruntung, reformasi perizinan sudah mulai berjalan di pemerintahan Jokowi sekarang, tinggal memperbaiki hal-hal yang masih menjadi bottleneck, seperti sinkronisasi dan integrasi perizinan, baik antar-instansi horizontal maupun vertikal.
Perbaikan perizinan akan berimbas pada investasi. Industri sawit harus mampu menarik investasi asing (PMA) karena pengalaman membangun industri di beberapa negara maju menunjukkan peranan PMA sangat besar mendorong pengembangan high-technolgy industrialization. Saat ini, industri sawit butuh investasi seperti itu agar terjadi transfer teknologi yang berimbas pada peningkatan kualitas tenaga kerja. Untuk itu, reformasi perizinan tidak cukup, kita butuh insentif fiskal untuk menarik PMA, seperti masa bebas pajak (tax holiday), pemotongan pajak (tax allowance), dan instrumen pajak lainnya.
Pada akhirnya, kita tak boleh lagi mengulang sejarah missed opportunities. Tanpa industrialisasi sawit, potensi sawit nasional yang besar bisa lenyap ditelan kompetitor. Membangun industrialisasi sawit adalah keharusan. Transformasi industri sawit menjadi kunci menuju industrialisasi. Pemerintah dan semua pelaku usaha harus memiliki kemauan politik untuk membangun itu secara bersama. Termasuk juga dengan melibatkan para petani kecil ke dalam industrialisasi.
Wiko Saputra ; Peneliti Kebijakan Ekonomi di Auriga Nusantara