Menyampaikan pesan yang tegas dan lugas memperjuangkan gagasan mulia tak perlu berpenampilan sebagai singa podium. Dalam pembukaan Kongres V Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Bali, 8 Agustus lalu, Megawati Soekarnoputri tampil luwes, tanpa beban, dan banyak bergurau dalam suasana yang sangat cair serta bersahabat. Ia tak menyembunyikan kebahagiaannya.
Mungkin itu jurus yang disebutnya memukul angin; tidak terasa, tetapi hasilnya telak, berkat aji-aji lamun menang ojo mateni. Pemimpin (penguasa) jangan sewenang-wenang (Kompas, 12/8/2019). Kehadiran Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto makin menambah suasana yang lumer.
Meski disampaikan dalam suasana renyah dan gembira, isi pidato Megawati sarat dengan bobot ideologis. Selain menegaskan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi bangsa dan negara, ia juga ”mengaum” untuk mengingatkan kader, pendukung, dan simpatisannya serta masyarakat agar tergugah dan menyadari adanya ancaman yang sangat agresif mencabik-cabik bangsa, melukai batin masyarakat, serta membawa racun pembunuh ideologi yang mematikan. Daya tular toksin maut yang mampu melumpuhkan persendian kehidupan berbangsa dan bernegara itu sangat cepat karena menyalahgunakan sentimen primordial dan jurus politik identitas.
Tekad meneguhkan Pancasila dikukuhkan dalam sikap politik PDI-P: ”PDI Perjuangan solid bergerak bersama rakyat menghadapi ancaman konflik dan disintegrasi bangsa yang dipicu oleh gerakan radikalisme, terorisme, penyeragaman tafsir, dan klaim kebenaran tunggal serta pemaksaan kehendak oleh segelintir kelompok masyarakat yang bertentangan dengan ideologi Pancasila, termasuk gerakan khilafah yang hendak menggantikan Pancasila”.
Seruan partai pemenang Pemilu 1999, 2014, dan 2019 ini diharapkan mampu menggelorakan semangat mayoritas diam. Selama ini mayoritas warga seakan membisu. Sementara itu, mereka yang berhasrat menghapus Pancasila di Indonesia sangat agresif dan bersuara lantang. Mereka kecil, minoritas, tetapi terorganisasi baik, militan, dan fanatik sehingga mampu mendominasi ruang publik. Warga mayoritas sepertinya mengalami gangguan kecemasan kolektif yang menakutkan dan membikin panik.
Perjuangan mewujudkan gagasan mulia tak boleh berhenti pada retorika. Beberapa agenda perlu dilakukan. Pertama, PDI-P sebagai partai pelopor perlu mengonsolidasikan koalisinya agar kemenangan di Pemilu Presiden 2019 menjadi milik seluruh rakyat Indonesia.
Kedua, menaklukkan ”iblis” yang selalu bersembunyi di setiap upaya melaksanakan gagasan besar. ”Iblis” itu biasa disebut dalam maksim: the devil is in the detail.
Ketiga, PDI-P harus menyusun strategi jangka panjang, program yang rinci dan implementable tentang pendidikan karakter bagi generasi muda, khususnya kadernya.
Keempat, memperkuat institusi politik (partai), lembaga-lembaga negara, dan pemerintahan. Tanpa adanya pembenahan, hampir dipastikan institusi-institusi yang menyelenggarakan keadilan akan membusuk. Akibatnya, rakyat tak akan memercayai lembaga-lembaga yang diproduksi oleh ideologi Pancasila.
Kelima, perlawanan terhadap kebohongan yang dipelintir dengan terminologi kebenaran alternatif juga harus ditingkatkan. Perjuangan ini butuh kegigihan karena keyakinan pada kebenaran alternatif tak mempan lagi dilawan dengan data. Fakta telah dimanipulasi oleh insting kolektif masyarakat dan kepentingan kekuasaan para elite politik. Dalam kondisi seperti ini, literasi digital mutlak diintensifkan.
Keenam, meningkatkan kesejahteraan rakyat agar dapat memitigasi jurang antara kaya dan miskin. Ketimpangan yang tidak terkendali dapat menjadi pintu masuk agenda-agenda politisasi sentimen primordial. Kekecewaan ekonomi sangat mudah dimanipulasi dan dieksploitasi oleh pemilik kapital dan pemburu kekuasaan untuk memanipulasi politik identitas. Oleh karena itu, peranan modal dalam perpolitikan Indonesia harus diakhiri agar warga negara tidak sekadar menjadi konsumen, tetapi juga ikut menentukan terwujudnya kesejahteraan. Transparansi keuangan partai juga menjadi keharusan.
Terakhir, agenda mengamendemen konstitusi perlu dilakukan dengan pemikiran mendalam dan mengikutsertakan berbagai kalangan agar mendapatkan legitimasi publik dan politik. Amendemen harus menjadi bagian dari pemikiran tentang penataan kekuasaan negara serta asas konstitusionalisme guna menghasilkan pemerintahan yang kuat, bersih, bermartabat, dan membela rakyat. Tanpa paradigma yang jelas, amendemen seperti membuka kotak pandora yang akan menebarkan racun ideologi konservatisme dan mengobarkan hasrat untuk membangun kekuasaan yang otoritarian.
Tekad PDI-P menjadi pelopor patut dihargai. Tekad tersebut harus disertai dengan agenda yang rinci dan dilaksanakan dengan sepenuh hati untuk mewujudkan kesejahteraan bagi semua anak negeri di Negara Kesatuan Republik Indonesia. ***