Di rubrik Bahasa ini dua pekan lalu André Möller menulis tentang bermacam-macam akronim baik yang berasal dari bahasa-bahasa Eropa–seperti Swedia, Eslandia, Inggris, Jerman, dan Belanda–maupun yang dari bahasa kita sendiri. Daripada akronim glamping (glamorous camping), katanya, lebih baik kita memakai padanannya saja:  kemah mewah. Mengapa akronim Inggris itu tidak dipadankan dengan akronim juga? Kemah mewah dapat diakronimkan menjadi kewah.
Glamping  dapat kita buat lebih afdol dengan memadankannya dengan kewahGlamorous dalam akronim glamping itu adjektiva; nominanya ialah glamour. Kata dalam bahasa Perancis ini pelafazannya kira-kira sama dengan lafaz “glamur” bila kita memakai lafaz lidah kita.
André Möller membuka dan memungkasi tulisannya dengan mempersoalkan istilah “karbon dioksida” untuk senyawa kimia yang lambangnya CO2. Menurut Möller, istilah yang lebih tepat ialah “dioksida karbon”, sesuai dengan kaidah tata bahasa, yakni hukum DM: nomina yang Diterangkan diikuti oleh adjektiva yang Menerangkan. Pendapatnya  itu benar sepanjang menyangkut kata majemuk atau frasa biasa. Namun,  untuk istilah teknis-ilmiah, aturannya berbeda. Yang benar, CO2 itu “karbon dioksida” atau “karbon dwioksida”, sesuai dengan urutan lambangnya, yakni C (karbon) dan O (oksigen).
Istilah MOS (metal-oxide semiconductor)  diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai  “semipenghantar oksida logam” sebab oxidekita terjemahkan menjadi “oksida”. Terjemahan ini juga patuh kepada hukum DM. Namun,  baik dalam fisika maupun dalam elektronika, MOS itu tidak kita terjemahkan atau kita carikan padanannya. MOS kita pungut apa adanya. Biarlah kepanjangan singkatan ini, dan artinya, dicari sendiri oleh para mahasiswa di buku teks atau di kamus istilah.
Mereka yang berminat menggeluti masalah terminologi teknis-ilmiah sebaiknya memperhatikan kaidah-kaidah dalam PUPI (Pedoman Umum Pembentukan Istilah) terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, yang sekarang sudah naik statusnya menjadi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Istilah atau nama “dioksida karbon” yang diusulkan Möller terdiri atas dua kata dan kedua-duanya nomina, tetapi nomina yang kedua, yakni “karbon”, berfungsi sebagai adjektiva. Karena itu, “karbon” dalam “dioksida karbon” itu disebut kata benda menyifat, adjectival noun. Kata majemuk seperti itu mengikuti kaidah yang kita sebut Hukum  DM.
Sebutan “karbondioksida” untuk senyawa kimia yang berlambang CO2 tidak mengikuti Hukum DM sebab “karbon” dalam CO2 itu bukan adjektiva, melainkan bentuk penggabung. Kata-kata yang berbentuk penggabung mengikuti Hukum MD. Berbeda dengan adjektiva yang terpisah  dari dan mengikuti nomina yang diterangkan sifatnya, bentuk penggabung terangkai dengan dan mengawali nomina yang diterangkan sifatnya. Contoh-contoh lain yang seperti “karbon-dioksida” banyak: inframerah (infrared), adidaya (superpower), dirgantara (airspace), dsb. Kepala daerah ada yang disebut “bupati”; kepanjangannya ialah “bumipati” (bumi  ‘tanah/daerah’, pati  ‘raja/penguasa’). Di sini “bu” juga bentuk penggabung. Begitu pula “dirga” ‘panjang’ dalam “dirgantara”.
Demi jelasnya, keserangkaian “karbon” dan “dioksida” dapat ditunjukkan dengan sempang, hyphen, “karbon-dioksida”. Demikian pula pada “mikro-organisme” ‘jasad renik’.
L Wilardjo, Fisikawan yang Pendekar Bahasa